Senin, 31 Januari 2011

Pacasila

MAKALAH PPKN TENTANG PANCASILA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah.
B. Batasan Masalah
Untuk menghidari adanya kesimpangsiuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis membatasi masalah-masalah yang akan di bahas diantaranya:
1. Apa arti Pancsila?
2. Bagaimana pengertian Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia?
3. Bagaimana penjabaran Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia?
4. Bagaimana penjabaran tiap-tiap sila dari Pancasila?
C. Tujuan Yang Ingin Dicapai
Dalam penyusunan Makalah ini, penulis mempunyai beberapa tujuan, yaitu:
1. Penulis ingin mengetahui arti Pancasila sebenarnya
2. Pada hakikatnya, Pancasila mempunyai dua fungsi yaitu sebagai pandangan hidup dan sebagai dasar negara oleh sebab itu penulis ingin menjabarkan keduanya.
3. Penulis ingin mendalami / menggali arti dari sila – sila Pancasila
D. Sistematika Penulisan
Dalam penyelesaian penyusunan makalah ini penulis menggunakan study kepustakaan, yaitu penulis mencari buku-buku yang berhubungan dengan Pancasila dan kewarganegaraan.
BAB II
PANCASILA DASAR NEGARA
A. Pengertian Pancasila
Pancasila artinya lima dasar atau lima asas yaitu nama dari dasar negara kita, Negara Republik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV yang terdapat dalam buku Nagara Kertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular, dalam buku Sutasoma ini, selain mempunyai arti “Berbatu sendi yang lima” (dari bahasa Sangsekerta) Pancasila juga mempunyai arti “Pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu sebagai berikut:
1. Tidak boleh melakukan kekerasan
2. Tidak boleh mencuri
3. Tidak boleh berjiwa dengki
4. Tidak boleh berbohong
5. Tidak boleh mabuk minuman keras / obat-obatan terlarang
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. sebagai dasar negara maka nilai-nilai kehidupan bernegara dan pemerintahan sejak saat itu haruslah berdasarkan pada Pancasila, namun berdasrkan kenyataan, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila tersebut telah dipraktikan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan kita teruskan sampai sekarang.
Rumusan Pancasila yang dijadikan dasar negara Indonesia seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia
Kelima sila tersebut sebagai satu kesatuan nilai kehidupan masyarakat Indonesia oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dijadikan Dasar Negara Indonesia.
B. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Dalam pengertian ini, Pancasila disebut juga way of life, weltanschaung, wereldbeschouwing, wereld en levens beschouwing, pandangan dunia, pandangan hidup, pegangan hidup dan petunjuk hidup. Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai petunjuk arah semua semua kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan dalam segala bidang. Hal ini berarti bahwa semua tingkah laku dan tindakn pembuatan setiap manusia Indonesia harus dijiwai dan merupakan pencatatan dari semua sila Pancasila. Hal ini karena Pancasila Weltanschauung merupakan suatu kesatuan, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, keseluruhan sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan organis.
C. Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai falsafah negara (philosohische gronslag) dari negara, ideology negara, dan staatside. Dalam hal ini Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan atau penyenggaraan negara. Hal ini sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945, yang dengan jelas menyatakan “……..maka sisusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu udang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suat susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…..”
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia mempunyai beberapa fungsi pokok, yaitu:
1. Pancsila dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945 dan yang pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum. Hal ini tentang tertuang dalam ketetapan MRP No. XX/MPRS/1966 dan ketetapan MPR No. V/MP/1973 serta ketetapan No. IX/MPR/1978. merupakan pengertian yuridis ketatanegaraan
2. Pancasila sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat sosiologis)
3. Pancasila sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam mencari kebenaran (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat etis dan filosofis)
D. Sila – Sila Pancsila
A. Sila Katuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manuasia percaya dan taqwa terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
B. Sila kemanusian Yang Adil dan Beradab
Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan –kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan. Sadar bahwa manusia adalah sederajat, maka bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkanlah sikap hormat dan bekerja sama dengan bangsa –bangsa lain.
C. Sila Persatuan Indonesia
Dengan sila persatuan Indonesia, manusia Indonesia menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan. Persatuan dikembangkan atas dasar Bhineka Tunggal Ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan persatuan bangsa.
D. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan
Manusia Indonesia menghayati dan menjungjung tinggi setiap hasil keputusan musyawarah, karena itu semua pihak yang bersangkutan harus menerimannya dan melaksanakannya dengan itikad baik dan penuh rasa tanggung jawab. Disini kepentingan bersamalah yang diutamakan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pembicaraan dalam musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur. Keputusan-keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Dalam melaksanakan permusyawaratan, kepercayaan diberikan kepada wakil-wakil yang dipercayanya.
E. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk menciptakan keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam rangka ini dikembangkan perbuatannya yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong.
Untuk itu dikembangkan sikap adil terhadap sesama, menjaga kesinambungan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.
B. Saran-Saran
Berdasarkan uraian di atas kiranya kita dapat menyadari bahwa Pancasila merupakan falsafah negara kita republik Indonesia, maka kita harus menjungjung tinggi dan mengamalkan sila-sila dari Pancasila tersebut dengan setulus hati dan penuh rasa tanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Srijanto Djarot, Drs., Waspodo Eling, BA, Mulyadi Drs. 1994 Tata Negara Sekolah Menngah Umum. Surakarta; PT. Pabelan.
2. Pangeran Alhaj S.T.S Drs., Surya Partia Usman Drs., 1995. Materi Pokok Pendekatan Pancasila. Jakarta; Universitas Terbuka Depdikbud.
3. NN. Tanpa Tahun. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila. Sekretariat Negara Republik Indonesia Tap MPR No. II/MPR/1987.

Minggu, 30 Januari 2011

Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, maka dilakukan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah satu pilar kekuatan.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak swasta yang mengalami perkembangan adalah dibidang perdagangan otomotif (mobil).
Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatkan perdagangan mobil, yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk memasarkan mobil, sementara konsumen membutuhkan mobil untuk mendukung kecepatan dalam mobilitasnya.
Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan mobil adalah sistem beli sewa (Hire Purchase-Huurkoop), jual beli dengan angsuran ataupun sewa (Renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian mobil yang dibeli sewa.
Lembaga beli sewa dalam bentuk sebagaimana yang dikenal dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih baru. Namun demikian perkembangan beli sewa dalam tahun-tahun terakhir ini semakin memainkan peranan yang penting bagi perkembangan ekonomi nasional pada umumnya.
Beli sewa mula-mula timbul dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimana caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan untuk membeli barang dagangannya tetapi pembeli tidak mampu membayar harganya sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima pembayaran harga benda itu secara angsuran, tetapi dia memerlukan jaminan bahwa bendanya (sebelum dibayar lunas) tidak akan dijual kembali oleh pembeli. Sebagai jalan keluarnya ialah dibuat perjanjian, yaitu selama harga belum dibayar lunas, pembeli menjadi penyewa dari benda yang ingin dibelinya itu. Harga sewa sebenarnya adalah angsuran harga benda tersebut. Dengan dijadikan sebagai penyewa, pembeli itu terancam oleh tindak pidana penggelapan apabila dia sampai berani menjual bendanya (Abdulkadir Muhammad, 1992:110).
Dengan perjanjian seperti itu kedua belah pihak tertolong, artinya pihak penjual tetap dapat menjual barangnya, dan pihak pembeli tetap dapat membeli barang karena jumlah angsuran masih ada dalam jangkauannya. Selain itu penjual merasa aman karena bendanya tidak akan dihilangkan oleh pembeli selama harga belum dibayar lunas (dia takut pada ancaman pidana). Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran yang terakhir, dengan cara pernyataan saja karena sudah berada dalam kekuasaan pembeli dalam kedudukannya sebagai penyewa (Abdulkadir Muhammad, 1992:110).
Sistem beli sewa belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, sehingga termasuk dalam kategori perjanjian tak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Mengenai perjanjian tak bernama ini diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyebutkan perjanjian yang sudah diatur dalam KUH Perdata disebut sebagai perjanjian bernama (Bonoemde) atau (Nominaat Contracten) dan perjanjian yang belum diatur dalam KUH Perdata disebut perjanjian tak bernama (Innominaat) (Salim, 2004:7). Walaupun belum diatur dalam KUH Perdata, perjanjian tak bernama ini timbul dalam praktik perjanjian yang terjadi dalam masyarakat (Salim, 2004:5).
Pada dasarnya adanya praktek perjanjian tak bernama, termasuk di dalamnya perjanjian beli sewa, menurut Hatta (1999:2) disebabkan adanya asas kebebasan berkontrak di dalam sistem hukum perdata Indonesia, yaitu para pihak bebas melakukan perjanjian dalam bentuk apapun sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1320 KUH Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian sedangkan Pasal 1338 ayat (1) mengatur bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Dengan demikian sepanjang perjanjian beli sewa yang dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan KUH Perdata, maka perjanjian itu mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya.
Dalam prakteknya karena perjanjian beli sewa tidak diatur dalam KUH Perdata, maka para pihak mempedomani ketentuan-ketentuan perjanjian jual beli dan sewa-menyewa sejauh itu dapat diterapkan. Hal ini harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari (Abdulkadir Muhammad, 1992:117).
Satu-satunya peraturan yang mengatur mengenai beli sewa adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/1980 tentang Perjanjian Kegiatan Usaha Beli Sewa (hire-purchase). Peraturan ini menetapkan bahwa hubungan beli sewa antara pihak-pihak harus diikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian dapat diketahui bahwa untuk melaksanakan perjanjian beli sewa dalam masyarakat harus didahului dengan pembuatan perjanjian beli sewa yang harus mengatur hak, kewajiban dan hubungan hukum antar pihak-pihak yang bersangkutan.
Perlu diperhatikan pula bahwa hanya benda-benda golongan tertentu saja yang dapat dibelisewakan. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/1980, barang-barang yang boleh dibelisewakan adalah barang niaga tahan lama yang baru, dan tidak mengalami perubahan teknis, baik berasal dari produksi sendiri maupun hasil perakitan luar negeri. Pada umumnya benda yang dibelisewakan adalah kendaraan bermotor, barang-barang elektronik, alat-alat rumah tangga, alat-alat berat, dan sebagainya.
Selain Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/1980 tersebut di atas yang dijadikan dasar dalam perjanjian beli sewa adalah asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal 1320 dan 1338 BW, yurisprudensi yang ada, serta praktik bisnis yang telah berkembang dan lazim digunakan.
Untuk melaksanakan perjanjian beli sewa, pihak pembeli sewa harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Yakob Kadam (2006:4), dalam koran Cendrawasih Pos Papua, mengatakan bahwa pembeli sewa yang mengambil mobil diwajibkan melengkapi surat identitas diri (KTP, Kartu Tanda Keluarga, rekening koran dan slip gaji), kelengkapan itu untuk survei dan transaksi angsuran. Penjual sewa tidak mengeluarkan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) kepada pembeli sewa kecuali angsuran sudah lunas dan setelah pembayaran lunas maka pembeli sewa akan mendapatkan surat BPKB tersebut.
Jika pembeli sewa tidak melakukan angsuran sama sekali atau terlambat melakukan angsuran maka dalam hal-hal yang demikian ini pembeli sewa melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini membawa akibat yang berat bagi penjual sewa, yaitu mobil yang menjadi objek beli sewa ditarik oleh penjual sewa. Mengenai hal ini sudah ditetapkan sebelumnya di dalam perjanjian beli sewa.
Adanya ketentuan hak penjual sewa untuk menarik barang ini merupakan antisipasi dari wanprestasi yang dilakukan pembeli sewa. Hal ini dikarenakan penjual sewa tidak mau dirugikan dari adanya wanprestasi yang dilakukan pembeli sewa (Syamsudin Meliala, 1985:26). Ketentuan ini adalah wajar apabila diiringi dengan pemenuhan hak pembeli sewa di sisi yang lain, yaitu dalam hal terjadi penarikan mobil pembeli sewa berhak mendapat pengembalian dari biaya sewa yang telah dibayarnya diperhitungkan dari harga jual mobil. Akan tetapi dalam prakteknya penjual sewa tidak pernah memenuhi hak ini. Sementara pembeli sewa tidak dapat menolak jika dilakukan penarikan atas mobilnya, walaupun dia sudah membayar lebih dari separuh angsuran.
Di satu sisi ketentuan penjual sewa boleh menarik kembali barang yang dibeli sewa apabila terjadi wanprestasi, dapat melindungi kepentingan penjual sewa. Akan tetapi di sisi yang lain ketentuan ini dipandang berat sebelah oleh pembeli sewa yang telah membayar dengan tertib dan telah membayar lebih dari setengah jumlah harga keseluruhan beli sewa tetapi mengalami kesulitan pada akhir pelunasan. Bagi pembeli yang demikian, penarikan mobil dapat dirasakan tidak adil karena dia sudah memenuhi lebih dari separo angsuran dengan tertib. Apalagi dalam penarikan mobil ini uang angsuran yang sudah diterima dari pihak pembeli sewa dianggap sebagai pengganti kerugian atau sewa atas pemakaian kendaraan mobil sebelumnya.
Namun menghadapi masalah seperti ini pembeli sewa tidak berdaya, karena penarikan dapat langsung dilakukan tanpa melalui perintah hakim dan pembeli sewa sudah menandatangani perjanjian beli sewa yang menetapkan demikian. Sebagaimana diketahui dalam praktek beli sewa, sistem penarikan barang dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu putusan hakim. Walaupun menurut undang-undang penarikan barang memerlukan waktu yang relatif lama karena harus melalui perintah hakim, namun dalam praktek beli sewa untuk menghindari risiko kerugian lebih besar akibat waktu yang terlalu lama, maka pihak penjual sewa mencantumkan dalam perjanjian beli sewa bahwa penarikan dapat dilakukan tanpa menunggu putusan hakim. Bahkan sering kali penarikan dilakukan dengan menggunakan aparat keamanan untuk mempercepat proses penarikan kendaraan. Tindakan penjual sewa tersebut walaupun dicantumkan dalam perjanjian, dapat diidentifikasi sebagai praktik perampasan. Namun menghadapi semua ini pembeli sewa tidak berdaya karena sudah menandatangani perjanjian beli sewa yang sudah disiapkan oleh penjual sewa. Tanda tangan itu menunjukkan pembeli sewa sudah sepakat dengan ketentuan yang disebut dalam perjanjian. Padahal semua isi perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pembeli sewa, sehingga cenderung berat sebelah. Dalam hal inilah dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap pembeli sewa di Indonesia masih sangat lemah dirasakan.
Adanya kenyataan tersebut di lapangan, menunjukkan pelanggaran atas asas itikad baik yang dimuat dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menentukan bahwa ”Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Syamsudin Meliala, 1985:19)”. Pelanggaran yang dimaksud adalah bahwa asas itikad baik menuntut adanya keseimbangan kedudukan antara para pihak, namun pihak penjual sewa dengan segala kelebihannya telah menentukan secara sepihak isi perjanjian yang sifatnya melemahkan kedudukan pembeli sewa. Akhirnya semua itu berakibat tidak terjadinya pemenuhan hak pembeli sewa sebagaimana

Kamis, 27 Januari 2011

ManaJemen pemerintahan

layanan publik sebagai salah satu tujuan
rganisasi pemerintahan, merupakan problem pemerintahan yang tidak pernah dapat memperoleh pertautan secara maksimal dengan tingkat penerimaan dari masyarakat. Perkembangan masyarakat yang terpengaruh dari dalam karakter pergaulan dunia global yang dimotori oleh paradigma Anglo Saxxon dan Continental ataupun pergulatan sudut pandang secara ideologis antara mashab ositivis dengan Marxis.Pergulatan perkembangan akan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat tersebut, menjadi paradigma yang silih berganti saling mempengaruhi. Ekspektasi masyarakat yang dibangun oleh kuatnya sistem globalisasi mencengkram berbagai aspek kehidupan masyarakat bangsa diseluruh dunia, menjadi duplikasi pengelolaan manajemen peemerintahan yang dijadikan sebuah orientasi. Akibatnya paradigma yang berkembang menjadi sebuah arah pengembangan, sementara dilema birokrasi pemerintahan yang hierarkis mengakibatkan tidak tersimpulnya antara harapan masyarakat dan kenyataan yang dihasilkan dari kehidupan budaya strukturalisme birokrasi yang masih tercengkram dengan model Weberian.Fenomena pelayanan publik di Indonesia, juga terpengaruh oleh hal diatas. Dalam era otonomi daerah yang kian maju, maka problematika pelayanan tidak dengan serta merta terselesiakan oleh kebijakan politik tersebut. pergeseran ke arah penciptaan birokrasi yang semakin tidak jelas terutama dalam manajemen pengelolaan yang dibutuhkan masyarakat, semakin disulitkan oleh fenomena latah-latahan yang dikembangkan oleh birokrasi yang terjebak dalam tindakan inefisiensi yang dalam keadaan berbagai kendala keterbatasan untuk penciptaan pelayanan publik yang baik, dimana terpaut kuat pada masalah klasik dengan keterbatasan dana daerah.Kata kunci: Paradigma, Manajemen, Pemerintahan, Pelayanan Publik Setiap disiplin ilmu memiliki suatu standarisasi yang mencakup fokus dan lokus. Focus mempersoalkan tentang “what of the field”
  atau metode dasar yang digunakan   tau cara-cara ilmiah apa yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Sedangkan Lokus mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode tersebut digunakan atau diimplementasikan (Keban, 2004). Dengan dua kategoorisasi standar yang dimiliki sebuah disiplin ilmu tersebut maka setiap ilmu akan mengalami sebuah “anomalies”. Perkembangan suatu kajian, adalah perwujudan dari respons terhadap kondisi kebutuhan masyarakat sebagai suatu fenoemna kajian ilmu pemerintahan yang semakin diperhadapkan oleh kompleksitas permasalahan yang terjadi oleh perkembangan yang terdapat dalam masyarakat. Ilmu pemerintahan yang merupakan kajian ilmu yang memadukan kajian ilmu murni yang diharapkan dapat diimplementasikan sebagai reaksi terhadap kondisi kemasyarakatan yang terdapat dalam kajian formal Ilmu Pemerintahan. Ini mengharuskan birokrasi dan pengkaji pemerintahan memiliki perhatian dan komitmen terhadap berbagai sudut pandang yang memungkinkan berbagai hal yang dapat ditimbulkannya sebagai konsekwensi implementasi kebijakan dalam masyarakat terbaca. Hal ini dimungkinkan dengan metode dan cara yang tentunya  dapat secara dini dapat mengetahui eksesnya secara komprehensif.Fenomena prinsipil yang terjadi dalam kajian keilmuan yang terkait dengan pelayanan publik, juga mengalami hal tersebut. Seperti dalam kajian administrasi yang banyak dipinjam dalam beberapa metode yang digunakan oleh Ilmu Pemerintahan. Paradigma sederhana yang hanya menekankan kepada Government Bureaucratic sebagai locus, berubah kearah yang semakin kompleks sehingga memiliki kedua hal tersebut sampai kepada paradigma kekinian yang telah memasuki paradigma postmodernisme.Sangat cepatnya perkembangan tersebut, menjadi tantangan bagi institusi pemerintahan untuk tampil mengikuti lahirnya berbagai paradigma secara global. Keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia yang memiliki tingkat inovasi yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat dalam tubuh birokrasi negara dunia ketiga khususnya Indonesia, realitas tersebut merupakan sesuatu yang menjadi kondisi empirik yang tidak dapat dihindari. Sementara, kautnya perkembangan paradigma tersebut juga terjadi dimasyarakat dan menjadi harapan masyarakat Indonesia yang semakin tinggi.  Ini dapat dipahami sebagai sebuah kesuksesan dari kelompok menengah Indonesia memposisikan diri dalam dilematika kehidupan kebangsaan, dimana pada umumnya ditandai dengan keberhasilan advokasi dari berbagai kelompok NGOs, Civil Society yang secara intens melibatkan diri dalam kehidupan kemasyarakatan meskipun dengan berbagai agenda kepentingan masing-masing. Prinsip-prinsip yang hanya mengedepankan kepada perkenalan prinsip POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting And Budgeting) kemajuan paradigma terjadi ditahun 1983an dimana terjadi revisi dalam prinsip POSDCORB diatas menjadi PAHFRIER (Policy Analysis, Financial, Human Resources, Information Dan External Relations) yang menjadi perhatian utama manajemen publik (Garson & Overman,1991). Perkembangan tercanggih kemudian yang menjadi orientasi pembentukan paradigma pemerintahan di dunia adalah terjadi di era tahun 90an dimana lahir konsep wira usaha  dan pemangkasan birokrasi dari Osborne dan Gaebler, atau paradigma “Post Bureucratic Paradigm” dimana paradigma birokratik lama menekankan kepada kepentingan publik, efisiensi, administrasi dan kontrol maka paradigma ini berubah penekanan kepada hasil guna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk.Untuk keterkaitan terhadap norma paradigma lama menekankan fungsi, otoritas dan struktur paradigma baru lebih kepada misi pelayanan dan hasil akhir (out come), terkait dengan biaya maka birokratik menekankan kepada tanggung jawab (responsibility), post birokratik kepada pemberian nilai bagi masyarakat, Sedangkan untuk membangun akuntabilitas dan memperkuat hubungan kerja, birokratik mengutamakan ketaatan kepada aturan dan prosedur, paradigma post menekankan kepada pemahaman dan penerapan norma-norma, tentang hal terkait dengan identifikasi dan pemecahan masalah serta proses perbaikan yang berkesinambungan, paradigma birokratik mengutamakan berlangsungnya sistem-sistem administrasi, post lebih kepada pemisahan antara pelayanan dengan kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil dan memperkaya umpan balik (Barzelay & Armajani, 1997)Perkembangan terbaru dalam penyelenggaraan pelayanan publik hadir di Tahun 2003 (Keban, 2004) yang dibawa oleh J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt yang secara mengejutkan, menyarankan untuk meninggalkan prinsip administrasi klasik dan einventing government atau new public management dan beralih kepada prinsip New Public Service. Bagi mereka, pelayanan publik harus : 1). Serve citizen no customers (melayani warga masyarakat bukan pelanggan, 2). Seek the public interest (Mengutamakan kepentingan publik), 3). Value citizenship over enterpreneurship (lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan), 4.). Think strategically, act democratically (berpikir strategis, dan bertindak demokratis), 5). Recognize that accountability is not simple (menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah), 6). Serve rather  than steer (melayani daripada mengendalikan), 7). Value people not just productivity (menghargai orang bukan hanya karena tingkat produktifitasnya semata).Bagaimana fokus ini dapat diimplementasikan dalam Lokus birokrasi negara, yang secara ril dikatakan memiliki sistem dan struktur organisasi patronage yang kaku dengan budaya demokrasi masyarakat yang belum tumbuh dengan subur. Ini karena terkait dengan sangat kuatnya dominasi kebijakan politik dalam pengambilan kebijakan strategis dalam sebuah wilayah negara dari sebuah sistem autoritarian birookrasi masa lalu. Tetapi, secara singkat kita dapat katakan bahwa, terdapat satu sudut pandang utama (core) yang dapat dijadikan stressing point dalam tiap paradigma diatas. Perubahan dari 20 tahun terakhir  diatas, dimana tiap paradigma membawa kesadarnnya sendiri, dimana kelahirannya bagi saya, merupakan sesuatu proses yang dengan tendensi ideologis yang kuat. Ini sebagai puncak untuk meredam gerakan sistem pasar yang mengglobal yang menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan kekuatan ekonomi untuk penguasaan dan dipandang banyak menimbulkan kesenjangan. Terciptanya paradigma tersebut akan menjadi alat perlawanan terhadap sistem pasar sebagai satu-satunya sistem terbaik yang secara global telah merusak batas-batas wilayah ideologi negara bangsa menjadi sebatas satu ruang yang sempit dimana seluruh komunitas dapat berinteraksi yang penting memiliki alat untuk itu, yang didukung oleh kemajuan sistem informasi dan tekhnologi yang mengglobal. Kecemasan tersebut, kemudian melahirkan sebuah paradigma baru seperti yang telah digambarkan diatas
Sejarah Pergerakan Indonesia adalah sejarah kaum muda. Berdirinya Budi Utomo sebagai titik awal pemuda Indonesia mulai bangkit dan melek berorganisasi. Mereka mencoba mengembangkan diri dan memikirkan kemajuan rakyat di era itu. Pendidikan menjadi pintu utama untuk mencerdaskan rakyat. Dengan pendidikanlah mereka berhasil mentrasformasikan ilmu bahwa perlu adanya nilai nasionalisme dan kebersamaan. Budi Utomo merupakan organisasi pemuda yang lahir dari kaum elite ‘bangsawan’. Karena pada waktu itu hanya keturunan bagsawanlah yang hanya bisa mengecap bangku pendidikan. Namun, mereka tidak ingin melihat bangsanya terus dijajah.
eristiwa Regasdengklok yang dipelopori oleh golongan muda merupakan gambaran
betapa beraninya golongan muda menculik Soekarno dan Hatta. Mereka yang menculik
itu diantaranya Wikana, Chaerul saleh, dr Muwardi dan Sukarni. Mereka merupakan
sekelompok pemuda yang menginginkan secepatnya Indonesia merdeka. Tanpa
keberanian mereka mungkin Indonesia belum bisa memproklamasikan kemerdekaannya.
Peristiwa itu menjadi sebuah peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia.
Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan dan setelah itu
bendera merah putih dikibarkan dengan alunan lagu Indonesia raya yang diciptakan
oleh WR Supratman.

Reformasi 98’ yang terjadi 10 tahun yang lalu pun tak luput dari catanan
sejarah Indonesia yang digoreskan oleh pemuda. Reformasi yang disimbolkan
jatuhnya rezim Orde Baru merupakan bukti bahwa pemuda mampu mengerakkan rakyat
‘people power’ untuk bisa menuntut haknya. Walupun sampai saat ini ferormasi
total belum bisa dilaksanakan. Masih ada kerikil yang menghalanginya,
diantantaranya hukum belum sepenuhnya dijalankan, ekonomi masyarakat yang kian
tak jelas dan semakin berpihak kepada modal yang berakibat dicabutnya subsidi
untuk rakyat.

Tahun ini sebenarnya momentum yang sangat cocok untuk melakukan perubahan
social. Tahun yang bertepatan dengan 100 tahun kebangkitan nasional dan 10 tahun
reformasi. Beberapa daerah mulai dipimpin oleh kaum muda, sebuah kesempatan yang
ketika orde baru sangat sulit untuk diakses oleh gologan muda. Spirit perubahan
untuk mensejahterakan rakyat menjadi program mereka. Rakyat sudah bosan dengan
pemimpin tua atau orang yang tidak mau berubah, mereka yang haus jabatan dan
anti perubahan haruslah disingkirkan. Tidak lama lagi kita akan menyelegarakan
perhelatan demokrasi ‘pemilu’. Karena pemilu merupakan prasyarat bagi Negara
yang menganut system demokrasi. Selanjutnya pemilu sebagai salah satu ritual
demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi dari warga Negara.

Menurut Robert P. Clark, salah seorang peneliti di Universitas George Mason,
Amerika Serikat, negara dunia ketiga yang sudah mengembangkan demokrasi melalui
pemilu mempunyai tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilu rata-rata
hanya 64,5 persen. Bahkan negara yang demokrasinya sudah mapan seperti Amerika
Serikat, dalam pemilu nasional belum pernah mencapai 60 persen. Hasil penelitian
Clark tersebut menunjukkan aksioma politik bahwa semakin tinggi kesadaran
politik masyarakat, maka semakin kecil kebergantungannya pada negara. (KORAN
TEMPO, 19/09 ’04).
Kata kunci dalam proses dan sistim demokrasi adalah partisipasi warga negara
dalam bentuknya yang paling subtil, tidak hanya pada persoalan politik praktis
semisal memilih sekali atau beberapa kali dalam lima tahun dan setelah itu
menunggu lima tahun lagi untuk melaksanakan haknya sebagai warga negara.

Demokrasi adalah sistem tata kenegaraan yang menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat, maka otomatis sudah menjadi hak sekaligus kewajiban warga negara untuk
terus melakukan kontrol dan pengawasan terhadap pemerintah selaku penerima
mandat, apakah mandatnya telah dijalankan sesuai dengan amanat rakyat atau
tidak.

Mengutip apa yang dikatakan Clark, bahwa suatu negara yang kesadaran
politiknya sudah tinggi akan berbanding lurus dengan partisipasi warga negara
yang tinggi, termasuk dalam mengontrol dan mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Pemilu sebagai ritual demokrasi hanyalah salah satu variabel bukan
satu-satunya variabel yang bisa dipakai untuk mengukur keberhasilan demokrasi.
Selama 32 tahun Orde Baru sudah membuktikan bahwa pemilu pun bisa dimanipulasi
sekadar lip service dari demokrasi.

Berangkat dari pemahaman di atas maka seyogyanya rakyat mulai menjalankan hak
dan kewajibannya selaku warga negara dalam proses demokrasi ini. Karena di
manapun dan kapanpun kekuasaan akan cenderung membuat orang untuk korup dan
menyalahgunakan kekuasaan tersebut.

Rakyat harus belajar dari pengalaman selama Orde Baru dan Reformasi bahwa
mereka tidak boleh begitu saja menyerahkan mandat dan kekuasaan kepada
segelintir elite. Karena ketika mandat itu sudah diserahkan lewat kontrak sosial
(pemilu) kepada segelintir elite kemungkinan untuk diselewengkan cukup besar.
Dan satu-satunya cara untuk memastikan bahwa mandat rakyat tidak disalahgunakan
adalah dengan terus berpartisipasi dalam proses demokrasi dalam bentuk kontrol
dan pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan. Harapannya, lewat mekanisne
kontrol ini pemerintah akan tetap berjalan diatas rel yang telah disepakati
bersama dalam kontrak sosial tersebut.
Proses demokrasi tidak selesai dengan selesainya pemilu capres, tapi akan
terus berlanjut sampai lima tahun ke depan. Artinya setelah presiden sudah
dipilih, apa yang mesti kita lakukan? Jawabannya adalah terus mengontrol dan
mengawasai pemerintah agar menjalankan kontrak sosial dan tidak menyalahgunakan
mandat yang telah kita berikan

Rabu, 26 Januari 2011

Partai Politik

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Negara modern saat ini mempraktekan demokrasi perwakilan. Partisipasi masyarakat dalam demokrasi perwakilan melalui wakil-wakil yang terbentuk baik karena kesamaan kepentingan maupun untuk membentuk kepentingan bersama. Suatau kelompok terbentuk karena kesamaan kepentingan, maka organisasi yang dibentuk untuk menjamin kekepingan anggotanya. Tetapi kepentingan bisa juga terbentuk karena ada kelompok. Dalam abad ke-18 dan bahkan sampai pada abad ke-19, pembuatan kebijakan utamanya menghadirkan dialog antara para pemilih dengan wakilwakil mereka di parlemen atau di pemerintahan lokal. Saat itu jumlah penduduk lebih kecil, program pemerintah lebih terbatas, dan komunikasi lebih mudah, penduduk tidak perlu membentuk sebuah organisasi agar pandangan mereka bisa diketahui. Namun, dalam abad ke-20, masyarakat berkembang makin kompleks, dan peran pemerintah makin membesar.
Kini makin banyak masalah yang perlu disuarakan oleh pemilih, dan agar suara mereka didengar dalam masalah-maaalah spesifik, warga membentuk kelompok-kelompok lobi, kelompok-kelompok penyokong kepentingan public dan swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang khusus bekerja untuk satu masalah. Sudah ada banyak kritik internal terhadap aspek yang satu ini dari demokrasi di negara maju, dan menyatakan bahwa mereka yang punya kepentingan dengan akses uang dalam jumlah besar bisa membuat suara mereka lebih terdengar dibandingkan dengan orang-orang yang sumber dayanya lebih kecil. Ada kebenaran dalam kritik itu, namun ada juga fakta lain yaitu ada banyak organisasi ini membantu mendidik publik dan pembuat kebijakan tentang masalah tertentu, dan dengan melakukan hal ini mereka membantu banyak individu memperoleh kesempatan menyampaikan pandangan mereka terhadap para pembuat kebijakan dala era mutakhir ini. Dengan perkembangan tehnologi komunikasi, jumlah suara akan kian bertambah, dan pelbagai LSM ini akan membantu memperbaiki dan memfokuskan kepentingan warga lewat cara yang efektif.
Intelektual yang menjalankan modernisasi sekuler terhadap politik Indonesia dimulai dengan dua asumsi dasar: 4 Pertama, politik dan ekonomi adalah aspek-aspek yang erat berkaitan dengan dengan keseluruhan sistem sosial. Dengan kata lain, menurut asumsi pertama, perubahan sosial sebagian besar tergantung pada perubahan pada sub sistem ekonomi dan sub sistem politik. Asumsi ini masih relevan dan memperkuat argumentasi tentang hubungan antara politik dan ekonomi dengan sistem sosial yang lain. Modernitas serta tradisi adalah keadaan masyarakat yang berlainan, memiliki masing-masing ciri yang berbeda, meskipun seperangkat ciri tersebut saling berkaitan erat tetapi bisa dispesifikasikan. Asumsi pertama memberi perhatian besar-besaran yang diberikan oleh para modernisator pada sub sistem kepartaian, yang mereka pandang sebagai penghubung maha penting antara penguasa dan yang dikuasai. Asumsi pertama menggunakan landasan penilaian positip terhadap parpol. Penataan sub sistem pemerintahan dapat juga dijelaskan sebagai kelanjutan dari pilihan-pilihan sistem kepartaian dengan sifat-sifat yang melekat padanya. Pada sistem pemerintahan yang parlementer, maka penataan partai politik, legislative dan eksektutif merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Partai pemenang pemilu, dengan mayoritas perolehan kursi di parlemen, otomatis memegang mandat untuk membentuk pemerintahan. Ada alur yang sangat jelas antara partai politik, parlemen dan eksekutif.
Bahkan pimpinan partai mempunyai peluang yang sangat besar untuk menduduki kursi perdana menteri. Kedua, asumsi yang memberikan landasan bagi penilaian negative terhadap partai-partai yakni partai dipandang berperhatian ideologis (kesetiaan tradisional ) dan bukan pada program (pembangunan). Kesetianaan pada hal-hal yang bersifat ideologis tersebut seperti agama, suku, dan hal-hal lain yang bersifat personal. Partai politik menjadi corong dari kepentingan-kepentingan yang bersifat personal. Dalam situasi seperti ini, eksekutifpun dituntut untuk memberi respon yang cukup pada berbagai upaya untuk menjaga kepentingan-kepentingan yang bersifat personal. menjadi factor yang menjadi tantangan tersendiri. Ada keinginan untuk dominasi sesuai peribangan kekuatan-kekuatan yang bersifat personal, tetapi pada saat yang bersamaan diperhadapkan realitas kebhinekaan yang juga dasarnya adalah kepentingan yang bersifat personal. Disinilah sesungguhnya menurut saya arena krusial yang membutuhkan dialog dan kejujuran politik. Mengelola perpolitikan bukan saja pada tataran normatif konseptual tetapi realitas dan mengelola realitas politik ini menurut saya jauh lebih sulit dibandingkan dengan membangun tesis anti tesis dalam perpolitikan. Jika politik Indonesia hendak mendukung dan bukannya menghalangi usaha pembangunan, suatu sistem kepartaian baru yang akan membuat kesetiaan-kesetiaan lama dan komitmen-komitmen-pada suku, agama, kelas, pribadi–menjadi berkurang dan digantikan dengan sebuah saluran elit-massa yang diarahkan pada persoalan-persoalan pragmatis pembangunan merupakan keperluan yang mendesak, maka reformasi kepartaian perlu dilakukan untuk mencapai tujuan itu.
Berbagai taktik dan strategi yang dimainkan oleh kelompok pembaharupun dilakukan. Para reformis mengikuti ilmuwan politik Perancis Maurice Duverger, yang menganggap reformasi pemilihan umum–penggantian distrik pemilihan yang banyak merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi jumlah partai dan memaksa partai-partai yang bertahan untuk mendapatkan pengikut yang berbasis lebih luas dan kurang ideologis. Perubahan ini tentunya akan mempengaruhi pula relasi antara konstituen, partai politik, parlemen dan eksekutif.




BAB II
PERMASALAHAN

A. Latar Belakang Masalah
Proses untuk merumuskan dan kemudian menyalurkan berbagai ragam pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada di dalam masyarakat kepada pihak penguasa dinamakan artikulasi kepentingan (interst articulation). Berbagai pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada dalam masyarakat yang disalurkan oleh partai politik kepada pihak penguasa tersebut dapat berwujud tuntutan-tuntutan dan dapat pula berwujud dukungan-dukungan. Baik tuntutan dan dukungan ini lantas disalurkan kepada pemerintah.
Apabila terdapat tuntutan-tuntutan dan dukungan-dukungan dari masyarakat yang ada kesamaan-kesamaan atau pun menyangkut masalah-masalah yang sama maka tuntutan dan dukungan itu dijadikan satu. Proses pengabungan tuntutan dan dukungan ini dinamakan agregasi kepentingan (interest agregation). Dalam sebuah sistem politik demokrasi, artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan yang dilaksanakan oleh partai politik pada hakekatnya merupakan input atau masukan bagi sistem politik itu sendiri. Input atau masukan tersebut kemudian disalurkan atau disampaikan kepada badan-badan yang mempunyai wewenang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh warga negara. Badan-badan yang mempunyai wewenang itu pada umumnya diwakili oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Badan-badan tersebut mengolah setiap input yang masuk untuk dijadikan output, yaitu kebijakan-kebijakan mempunyai kekuatan mengikat segenap warga negara. Bentuk kebijakannya bisa berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, maupun kebijkan-kebijakan umum lainnya.
Realitas Parpol Kita semua menyadari bahwa instrumen kelembagaan yang paling strategis dalam mengembangkan pemberdayaan politik masyarakat menuju kedewasaan politik adalah partai politik (parpol), hal ini bisa dipahami karena partai politik merupakan jembatan antara masyarakat dengan pemerintah. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mengembangkan sistem kepartaian yang mampu menghasilkan partai politik yang profesional yang dapat menjalankan peran dan fungsinya secara baik dan bertanggung jawab, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat pada partai. Adanya partai politik yang baik diharapkan dapat berpengaruh terhadap kokohnya integrasi nasional, tingginya partisipasi, besarnya legitimasi, maupun efektifnya penyelesaian konflik.
Namun patut disayangkan, kondisi riil kepartaian yang sekarang tidak dibangunan demi kemaslahatan dan pembangunan bangsa kedepan, sebab partai-partai yang ada hanya berpikir bagaimana bisa meraih suara sebanyak-banyaknya dan bisa berkuasa selama-lamanya. Sudah bukan rahasia apabila partai-partai sekarang mendasarkan diri pada basis massa pemilih tradisional yang mudah dimobilisasi, dan hal ini tidak disadari telah mempengaruhi tingkat kohesivitas dan harmoni sosial dalam masyarakat di tingkat grassroot. Sebagai contoh bagaimana kerasnya persaingan dalam memperebutkan massa pemilih warga nahdiliyin yang merupakan komunitas Islam terbesar. Celakanya, masing-masing parpol berupaya keras untuk dapat mengamankan basis massanya dengan berbagai cara, sementara upaya untuk melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik bagi massa tidak pernah dilakukan, dan pada akhirnya tidak jarang berujung pada konflik massa di tingkat grassroot tersebut. Hal ini tidak pernah disadari atau bahkan terpikirkan oleh para elit partai politik bahwa upaya mengeksploitasi pemilih dengan cara demikian tidak kondusif bagi keutuhan serta keharmonisan bangsa. Sebab sudah tidak bisa kita pungkiri dalam kenyataan keseharian bahwa kesesuaian darah, keturunan, adat kebiasaan, agama memiliki sebuah kekuatan yang dapat melakukan paksaan dan kadang-kadang lebih kuat dari persamaan yang dimiliki secara nasional. Oleh karena itulah tidak salah apabila Geertz mengingatkan pada kita bahwa negara baru akan mengalami kesukaran dalan membangun suatu sistem politik yang baik apabila negara itu terbangun atas ikatan-ikatan primordial (primordial attachment).
Sementra kondisi riil kepartaian kita sekarang ini umumnya masih bersandar pada ikatan-ikatan primordial ini, atau dengan perkataan lain sebagaimana pernah dijelaskan oleh Herbert Feith sebagai politik aliran. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa keterikan dari pengaruh adat istiadat, bahasa, ras, daerah hubungan darah, dan agama pada saat ini masih mempunyai daya tarik tinggi untuk dijadikan komoditas politik bagi parpol. Rasa keterikatan semacam itu sering disebut pula sebagai “sub-national culture value” atau pengaruh kebudayaan politik sub nasional. Akibat pola kepartaian yang demikian, maka dapat diprediksikan pemimpinpemimpim yang muncul hasil pemilu tidak akan mempunyai sikap kenegarawanan, lemah visi nasionalitasnya, sempit wawasannya bahkan tidak mengerti apa arti dari masa depan bangsanya. Hanya satu tujuannya. Karena fungsi partai adalah mengagregasikan kepentingan masyarakat dan memperjuangkannya agar menjadi keputusan politik. Dengan demikian kepentingan, kebutuhan dan harapan masyarakat bukan harus dipenuhi oleh partai politik, tapi oleh pemerintah sebagai pelaksana (eksekutif) yang menjalankan keputusan politik. Karena pola yang terbalik ini telah menyebabkan
partai politik termasuk kader-kadernya terpogram untuk berlomba mencari income dari proses politik agar dapat memenuhi kepentingan, keinginan dan harapan konstituennya tersebut.
Akibat dari keadaan ini para kader, anggota dewan, sampai pengurus partai politik yang tertanam dalam benaknya adalah bagaimana memperbanyak “giji” politik. Keadaan ini berpengaruh buruk pada perkembangan politik di negara kita, karena proses politik menjadi disederhanakan, politik identik dengan uang sebagai contoh money politics dalam proses pemilu. Kalau dalam pemilu sudah berhambur uang, maka para wakilyang terpilih bukan berpikir untuk rakyatnya melainkan bagaimana menarik uang yang telah dikeluarkannya, dan pada akhirnya para anggota dewan lebih mencintai “uang rakyat” dari pada “rakyat yang punya uang”.
Apabila para anggota dewan sudah mencintai uang rakyat, maka penyakit kronis bangsa yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap menggerogoti atau bahkan semakin parah. Logika demikian bukan tanpa dasar sebab seperti yang diungkapkan oleh James E. Alt dan K. Alic Chrystal bahwa “the love of money is the root of evil” (Political Economics, 1983). Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa elit politik kita sering mem-(barter) idealisme politiknya dengan “setumpuk uang”, sementara disisi lain ada sebahagian rakyat yang mau menukarkan hak politik dengan “selembar uang”. Alhasil demokrasi yang seharusnya diartikan sebagai “kedaulatan rakyat” berubah menjadi “kedaulatan uang”.
















BAB III
PEMBAHASAN


Proses untuk merumuskan dan kemudian menyalurkan berbagai ragam pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada di dalam masyarakat kepada pihak penguasa dinamakan artikulasi kepentingan (interst articulation). Berbagai pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada dalam masyarakat yang disalurkan oleh partai politik kepada pihak penguasa tersebut dapat berwujud tuntutan-tuntutan dan dapat pula berwujud dukungan-dukungan. Baik tuntutan dan dukungan ini lantas disalurkan kepada pemerintah. Apabila terdapat tuntutan-tuntutan dan dukungan-dukungan dari masyarakat yang ada kesamaan-kesamaan atau pun menyangkut masalah-masalah yang sama maka tuntutan dan dukungan itu dijadikan satu.
Proses pengabungan tuntutan dan dukungan ini dinamakan agregasi kepentingan (interest agregation). Dalam sebuah sistem politik demokrasi, artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan yang dilaksanakan oleh partai politik pada hakekatnya merupakan input atau masukan bagi sistem politik itu sendiri. Input atau masukan tersebut kemudian disalurkan atau disampaikan kepada badan-badan yang mempunyai wewenang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh warga negara. Badan-badan yang mempunyai wewenang itu pada umumnya diwakili oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Badan-badan tersebut mengolah setiap input yang masuk untuk dijadikan output, yaitu kebijakan-kebijakan mempunyai kekuatan mengikat segenap warga negara. Bentuk kebijakannya bisa berupa Undangundang, Peraturan Pemerintah, maupun kebijkan-kebijakan umum lainnya.
A. Aspek legal
Awal hubungan Partai politik dengan eksekutif dapat juga dijelaskan secara lain dengan melihat realitas hukum yang berlaku di negeri ini. Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dari satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Lebih rinci, Pasal 36 PP N0. 6 Tahun 2005 menegaskan bahwa Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik secara berpasangan. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan realitas hukum yang demikian, maka peran parpol dalam mekanisme demokrasi masih strategis. Selain merupakan pintu masuk bagi setiap individu yang ingin meraih kepala daerah dan wakil kepala daerah tetapi juga semakin kuatnya daya tawar lembaga DPRD ( di mana di dalamnya duduk perwakilan Parpol) di era otonomi daerah juga turut menentukan pula stabilitas politik daerah. Namun karena tidak memenuhi ketentuan undang-undang, ada sebanyak 133 daerah yang kepala daerahnya diusung oleh koalisi partai.
B. Realitas Politik
Implikasi praktis dari kedua tesis Duverger tersebut diatas, dalam praktek saat ini dapat diihat dari Jajak Pendapat yang dilakukan Litbang Kompas September lalu. Hasilnya memperlihatkan secara nyata hubungan antara peran parpol, popularitas calon kepala daerah dengan kepentingan publik Pemilih.
C. Hubungan Eksekutif dengan Parpol
Eksekutif dalam konteks ini didefinisikan pemerintah daerah yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dicalonkan oleh partai politik dan memenangkan pilkada langsung dan perangkat daerah otonom sebagai lingkaran birokrasi dari bupati dan wakil bupati terpilih. Berdasarkan logika sebelumnya, maka menurut saya, hubungan antara eksekutif dan partai politik dibanguan dan dikembangkan di ada tiga pilar utama .
1. Konteks demokrasi, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Eksekutif dan Parpol sama-sama merupakan institusi yang bertanggung jawab atas berbagai upaya pembangunan untuk meningkatkan derajat kemakmuran dan kesejehteraan rakyat. Peran kedua institusi ini dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Eksekutif menjalankan fungsi pemerintahan untuk mengatur, melayani, memberdayakan masyarakat dan taat pada rule of game. Partai politik menjadi disatu sisi menjembatani kepentingan publik konstituennya dengan eksekutif tetapi juga melakukan pengawasan politik melalui wakilnya di DPRD terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan.
2. Konteksnya dengan realitas politik . Dalam Pilkada langsung, antara parpol dan eksekutif,sumber legitimasi kekuasaannya sama yaitu dari rakyat secara langsung. Tetapi typology hubungan antara parpol dan eskekutif dengan publik pemilih bisa berbeda. Hasil jajak pendapat Kompas dapat membantu menjelaskan perbedaan hubungan tersebut. Ketika konstituen pemilih tidak lagi menjadikan kesamaan partai sebagai dasar pilihan, maka dasar perekatnya bergeser karena popularitas eksekutif. Dengan demikian legitimasi politik ekeskutif bukan lagi dari parpol tetapi langsung dari publik konstituen. Namun demikian, Partai Politik tetap dapat memanfaatkan popularitas eksekutif atas dasar etika politik dan pemerintahan karena parpol adalah pintu masuk bagi calon terpilih. Partai politik dapat mengatakan bahwa keberhasilan dan papularitas eksekutif adalah keberhasilan dan popularitas partai politik juga, karena sesungguhnya program dan kegiatan eksekutif dibangun di atas visi dan misi bersama. Konteks etika politik dan
3. pemerintahan. Etika dalam hal ini berhubungan dengan nilai-nilai yang mendasari hubungan antara eksekutif dan partai politik. Nilai terbentuk dari suatu kesamaan pemahaman, cara berfikir, cara bersikap dan cara bertindak yang secara berkelanjutan dipahami dan dilaksanakan secara bersama-sama. Partai politik atau gabungan partai politik merelakan partainya sebagai pintu masuk bagi pribadi untuk dicalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, sesungguhnya di dasar pada ada kesamaan dalam pemahaman, cara berfikir tentang pembangunan daerahnya. Dengan kata lain, eksekutif dan parpol mempunyai kesamaan dalam visi dan misi pembangunan. Visi adalah cara pandang jauh ke depan, kemana instansi pemerintah dan seluruh kekuatan daerah dan nasional harus dibawah agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Keduanya mempunyai pemahaman yang sama tentang gambaran keadaan masa depan yang diinginkan seluruh elemen daerah, cara pandang jauh ke depan kemana instansi pemerintah harus dibawah agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Sedangkan misi adalah merupakan pernyataan tentang tujuan organisasi yang diwujudkan dalam produk dan pelayanan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi kelompok masyarakat, nilai yang diperoleh serta aspirasi dan cita-cita di masa mendatang.
Parpol dan eksekutif mempunyai kesamaan Visi dan misi maka parpol secar etis bertanggung jawab pula atas implementasinya dalam bentuk rencana dan pelaksanaan pembangunan tahunan, lima tahunan dan jangka panjang. Pad tataran yang normative, hubungan ini kemudian menjadi mendapat pengesahan secara legal dalam berbagai bentuk. Fungsi Kkontrol parpol penting sekali untuk tetap menjaga supaya eksekutif berjalan dalam visi, misi, kegiatan dan program yang sama.
D. Partai Politik Pengertian dan Fungsi

Partai politik merupakan pilar dari kehidupan politik yang demokratis. Hal ini dikarenakan partai politik menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip dasar kehidupanyang demokratis. Ada beberapa pengertian mengenai partai politik, antara lain seperti “Sementara Sigmund Neumann menyatakan bahwa partai politik sebagai organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Dengan demikian partai politik itu merupakan perantara yang besar yang menghubungakan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas Pengertian dari Neumann menunjukan bahwa partai politik hanya terdapat dalam sebuah masyarakat atau negara yang menganut paham demokrasi. Hal ini bisa ditunjukan lewat persaingan yang dilakukan oleh partai politik, dimana persaingan itu dilakukan dalam pemilhan umum. Dalam rangka membicarakan partai politik, maka kita tidak dapat melepaskan pembicaraan mengenai kelompok kepentingan (interset group). Hal ini antara lain disebabkan oleh karena partai politik tidak begitu mudah untuk dapat dibedakan dengan kelompok kepentingan yang terorganisir. Sebagaimana diketahui bahwa kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang terdiri dari sekolompok individu yang mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan yang sama; dan mereka kerja sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi tercapainya kepentingan, tujuan dan keinginan mereka.
Akan tetapi umumnya kelompok kepentingan ini berafiliasi dengan partai politik tertentu untuk dapat mengartikulasikan kepentingan mereka dan imbalannya kelompok kepentingan melakukan mobilisasi massa untuk mendukung partai politik tersebut. Partai politik yang baik baik harus mampu menjalankan fungsi-fungsi yang melekat dalam dirinya. Sebagian ahli menyebutkan bahwa fungsi partai politik adalah Serving as Intermediaries, Nominating Candidates, Contesting elections and Channeling, Organizing the government, Providing Public Accountability, Managing Conflict (John Bibby, 1992). Namun pada umumnya partai politik itu mempunyai fungsi:
1. sosialisasi politik,
2. rekruitmen politik,
3. komunikasi politik,
4. artikulasi dan agregasi kepentingan,
5. partisipasi politik,
6. pengatur konflik,
7. mengkritik rejim yang berkuasa.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bobot dan Kelanggengan hubungan antara Partai Politik dan eksekutif ditentukan oleh kemampuan kedua belah pihak untuk memanipulasi ketiga dasar hubungan diatas yaitu demokrasi, realitas politik dan etika politik dan pemerintahan .Sebaliknya, bobot hubungan menjadi merosot dan tidak langgeng apabila terjadi kemerosotan pemahaman ketiga dasar hubungan itu baik yang dilakukan secara bersama-sama ataupun oleh salah satu dari kedua komponen, yaitu parpol atau partai politik. Demikian beberapa pokok pikiran saya, semoga bermanfaat.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT

1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.
5. Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.

Tidak Pidana Penggelapan 372

A. Tindak Pidana Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering), terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Di samping penggelapan sebagaimana diatur dalam Bab XXIV, ada rumusan tindak pidana lainnya yang masih mengenai penggelapan, yaitu pasal 415 dan 417, tindak pidana mana sesungguhnya merupakan kejahatan jabatan, yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi oleh UU no. 31 Th. 1999 dan UU no. 20 Th, 2001, oleh karenanya tidak dimuat dalam Bab XXIV, melainkan dalam bab tentang kejahatan jabatan (Bab XXVIII).
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 900,00.”
Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.
Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya penjual ini menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.
Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toe.igenen), sesuatu benda (eenig goed) , yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk).
1. Unsur-Unsur Objektif
a. Perbuatan memiliki.
Zicht toe.igenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toe.igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakan tentang pencurian di muka, telah dibicarakan tentang unsur memiliki pada kejahatan itu.
Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaannya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini, ialah dalam hal memi¬ liki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.
Pada pencurian, adanya unsur maksud untuk memiliki sudah tampak dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena sebelum kejahatan itu dilakukan benda tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Lain halnya dengan penggelapan. Oleh sebab benda objek kejahatan, sebelum penggelapan terjadi telah berada dalam kekuasaannya, maka menjadi sukar untuk menentukan kapan saat telah terjadinya penggelapan tanpa adanya wujud perbuatan memiliki.
b. Unsur objek kejahatan
Dimuka telah dibicarakan bahwa dalam MvT mengenai pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa benda yang menjadi objek pencurian adalah benda-benda bergerak dan berwujud, yang dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam berbagai putusan pengadilan telah ditafsirkan sedemikian luasnya, sehingga telah menyimpang dari pengertian semula. Seperti gas dan energi listrik juga akhirnya dapat menjadi objek pencurian.
Berbeda dengan benda yang menjadi objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti menggelapkan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas. Kalaupun terjadi hanyalah menggelapkan surat rumah (sertifikat tanah ), menggelapkan tabung gas. Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan, tetapi pencurian.
Karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya. Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dulu. Lain dengan isinya, untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya, ia tidak dapat melakukannya secara langsung tanpa melakukan perbuatan lain, yakni membuka kran tabung untuk mengeluarkan/memindahkan gas tersebut.
c. Sebagian atau seluruhnya miik orang lain
Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji di kamar mandi di stasiun kereta api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk menjualnya, lalu dijualnya.
d. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.
Di sini ada 2 unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah disinggung di atas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan : menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung).



2. Unsur - Unsur Subjektif
a. Unsur kesengajaan.
Unsur ini adalah merupakan unsur kesalahan dalam penggelapan. Sebagaimana dalam doktrin, kesalahan (schuld ) terdiri dari dua bentuk, yakni kesengajaan (opzettelijk atau dolus ) dan kelalaian (culpos). Undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan mengenai arti dari kesengajaan. Dalam MvT ada sedikit keterangan tentang opzettelijk, yaitu sebagai willens en wetens, yang dalam arti harfiah dapat disebut sebagai menghendaki dan mengetahui.
Mengenai willens en wetens ini dapat diterangkan lebih lanjut ialah, bahwa orang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbuatan serta sadar (bahkan bisa menghendaki) akan akibat yang timbul dari perbuatannya itu. Atau apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam suatu rumusan tindak pidana seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau hal-hal/unsur-unsur tertentu (disebut dalam rumusan) serta menghendaki dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatan.
Setiap unsur kesengajaan (opzettelijk) dalam rumusan suatu tindak pidana selalu ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya, atau dengan kata lain semua unsur-unsur yang ada di belakang perkataan sengaja selalu diliputi oleh unsur kesengajaan itu.

b. Unsur melawan hukum
Pada saat membicarakan pencurian, telah cukup dibahas akan unsur melawan hukum ini. Karenanya di sini tidak akan dibicarakan lagi. Dalam hubungannya dengan kesengajaan, penting untuk diketahui bahwa kesengajaan petindak juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum ini, yang pengertiannya sudah diterangkan di atas. Ada beberapa perbedaan antara penggelapan dengan pencurian. Perbedaan itu adalah:
1) Tentang perbuatan materiilnya. Pada penggelapan adalah perbuatan memiliki, pada pencurian adalah mengambil. Pada pencurian ada unsur memiliki, yang berupa unsur subjektif. Pada penggelapan unsur memiliki adalah unsur tingkah laku, berupa unsur objektif. Untuk selesainya penggelapan disyaratkan pada selesai atau terwujudnya perbuatan memiliki, sedang pada pencurian pada perbuatan mengambil, bukan pada unsur memiliki.
2) Tentang beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak. Pada pencurian, benda tersebut berada di tangan/kekuasaan petindak akibat dari perbuatan mengambil, berarti benda tersebut berada- d alam kekuasaannya karena suatu kejahatan (pencurian). Tetapi pada penggelapan tidak, benda tersebut berada dalam kekuasaannya karena perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum.
B. Teori Pembuktian
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hokum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hokum perdata atau hokum acara perdata prof. Subekti berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih di klasifikasikan sebagai hokum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya dimasukan kedalam BW yang pada dasarnya hal yang mengatur hokum materil.
Akan tetapimemang ada suatu pendapat bahwa hokum dapat dibagi dalam dua bagian yakni hokum acara materil dan hokum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hokum acara perdata), yang dapat dimasukan kedalam kitab undang-undang hokum perdata materil, pendapat ini rupanya hanya dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu BW dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukan kedalam H.I.R yang memuat hokum yang berlaku di Pengadilan Negeri.
1. Pengertian pembuktian
Menurut prof. SudiknoMertokusumo Pembuktian dapat dibagi kedalam beberapa pengertian:
a. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan dalam arti logis dan ilmiah berarti memberikan kepastian mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relative sufatnya yang memepunyai tingkatan:
1) Kepastian yang berdasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction.).
2) Kepastian yang berdasarkan atas pertimbangan akal (convition rasionne)
c. Membuktikan dalam hokum acara mempunyai arti yuridis
Dalam ilmu hokum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus, pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yurudus tidak menunjukan kepada kebenaran mutlak. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hokum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah, hakim memeperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hokum acara perdata untuk memenangkan seseorang tidak perlu adanya keyakinan hakim yang penting adalah adanya alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang kalah.dengan perkataan lain, dalam hokum secara perdata cukup dengan kebenaran formil saja.
2. Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hokum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hokum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan
Dalam suatu proses perdata, sala satu tugas hakim adalah utuk menyelidiki apakah suatu hubungan hokum yang menjai dasar gugatan benar atau tidak benar. Ada hubungan hokum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatanya akan ditolak sedangkan apabila berhasil maka gugatan akan dikabulkan.
Tidak sama dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenaranya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/ keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain:
a. Hal-hal/ keadaan-keadaan yang telah di akui
b. Hal-hal /keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c. Hal-hal/keadaan-keadaan yang terlah diketahui oleh kahalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir).
Di dalam menjatuhkan beban pembuktian hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah . semua peristiwa dan keadaan yang kongkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa ‘ Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana di dasarkan suatu hak, diwajibkan memuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.
3. Teori-teori Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai . berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas bebas, artinya hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, hakim bebas menilai kesaksian atau di ikat oleh undang-undang terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berpa jauhkah hokum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwea di dalam siding yaitu :
a) Teori Pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberpa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini di khendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaranwewenamg kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian.
c) Teori Pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim, disini hakim diwajibkan tetapi dengan syarat.
C. Alat Bukti
Menurut Undang-undang, ada lima macam alat bukti yang dapat di pergunakan diantaranya yaitu :
1. Surat-surat
Menurut undang-Undang Surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani. Surat-surat akte dapat dibagi atas akte resmi (authentic) dan surat –surat akte dbawah tangan (onderhands).
Menurut undang-undang suatu akte resmi mempunyai siatu kekuatan pembuktian sempurna artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang ditulis didalamnya atau didalam akte tersebut, sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian kembali.

2. Kesaksian
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah
Perdagangan anak(trafficking ) kurang lebih dapat diartikan sebagai “segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen, transportasi, baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan,
pengiriman, dan penerimaan orang (dalam hal ini anak) dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau pelibatan hutang, untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapat baya ran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas dimana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang itu pertama kali terjadi”. Melihat besaran masalah yang sedemikian luas, bahkan nyaris tidak terukur, ten tunya langkah perlindungannya pun meliputi segala bentuk pencegahan, penanganan,dan rehabilitasi bagi mereka yang menjadi korban. Yang kesemuanya dapat dilakukan dengan tepat jika kita tahu persis akar permasalahannya, baik dari sisi supply maupun dari sisi demand  Bila dilihat secara aturan legal, terdapat banyak ‘jaminan’ perlindungan bagi anak dari perdagangan. Selain dalam Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terdapat sedikitnya 4 instrumen internasional lain yang mengatur t
entang trafficking atau perdagangan anak (dan perempuan), dan 4 instrumen nasional yaitu UU Kesejahteraan Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan UU Hukum Pidana. Tetapi sekali lagi, terutama
menyangkut instrumen nasional, persoalannya adalah seputar substansi, interpretasi, dan implementasi. Ditambah, hambatan yang dihadapi dalam menangani trafficking bukan hanya budaya hukum kita yang sangat tidak mendukung, tetapi juga sistem sosial dan sistem kultur kita yang masih sangat diskriminatif ter hadap anak (dan perempuan) Memang ada perlindungan yang cukup relevan dengan kejahatan ini, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297dan Undang-Undang Perlindungan anak Tahun 2002. Akan tetapi, kedua UU itu tidak punya definisi yang tepat sehingga tidak dapat menjaring kasus- kasus yang dikategorikan sebagai perdagangan orang.Kedua UU itu juga tidak memuat isu kejahatan terorganisasi, apalagi mekanisme pembuktiannya,dan tidak memberikan perlindungan kepada saksi korban. Karena itu, Rencana Undang- Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seharusnya menjadi prioritas. RUU itu merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2002.Pada tahun itu Presiden Megawati Soekarnoputri juga mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan anak . Sayangnya, hal yang sangat penting ini lenyap ditelan hiruk- pikuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang memecah belah perempuan. Dan seharusnya pemerintah menghapus tentang perdangan anak dan menindak tegas para pelakunya kerena telah menelantarkan anak dan anak - anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi. Dan perdangan anak juga melanggar hak asasi anak dia antaranya UNDANG– UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMER 39 TAHUN 1999TENTANG HAK ASASI MANUSIAPasal 521. setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat,dan negara Pasal 58 1. stiap anak berak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bntuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, prlakuan buruk.