Jumat, 13 Desember 2013

kejahatan terhadap Kesusilaan dalam Hukum Pidana Islam, KUHP, RKUHP

BAB I
 PENDAHULUAN 


 A. Latar Belakang.
Kejahatan atau tindak pidana selalu ada dan melekat pada masyarakat, salah satu upaya pencegahan dan pengendalian kejahatan ialah dengan memberikan sanksi kepada pelakunya, berupa pemidanaan. ”Tugas sanksi adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang dan merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melangar norma hukum, dengan demikian sanksi dapat sekaligus merupakan alat preventif, dan dalam hal telah terjadi suatu pelanggaran norma ia menjadi alat represif.” Konsep ”Tindak Pidana Kesusilaan” dalam perspektif hukum Islam menentukan dengan sangat sederhana bahwa kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, sehingga kalau memang terbukti dan diajukan dimuka hakim hukumannya tegas dan jelas. Karena menyangkut harkat dan martabat dan harga diri manusia. Dan banyak ayat menyangkut kesusilaan ini yang patut menjadi perhatian diantaranya adalah : ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra : Ayat 32).Sedemikian peringatan tentang perzinaan : tidak disebut jangan berzina, mendekati saja pun sudah termasuk larangan. Mengingat kejinya zina, ancaman hukuman bukan kepalang dilukiskan, diantaranya yaitu : ” Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya” (QS. An Nisaa’: Ayat 15). ” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS. An Nuur : Ayat 2). Sanksi pidana merupakan sanksi yang lebih berat dibandingkan jenis sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata. Penentu sanksi pidana didasarkan pada benar-benar diperlukan adanya alat pemaksa (pamungkas) tertinggi (ultimum remedium) untuk menjamin suatu norma. Oleh karena itu, hukum pidana dapat disebut sebagai benteng dari hukum. “Dalam sistem hukum islam terdapat dua jenis sanksi, yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi, yang diterima di akhirat kelah, dan sanksi duniawi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Adapun tujuan hukum pada umumnya adalah menegakan keadilan agar terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mangandung rasa keadilan agar dipatuhi masyarakat.” Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang lahir “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha kuasa”, pengakuan ini secara resmi dituangkan pada bagian pembukaan (Preambule) UUD 1945 serta lebih jauh lagi dimasukan pada Bab XI tentang Agama khususnya Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Amanat para pendiri Republik Indonesia tersebut sebenarnya adalah merupakan suatu dasar dan penentu atas kelanjutan hidup berbangsa dan bernegara, oleh karenanya falsafah pancasila haruslah dijadikan sebagai nilai-nilai dasar dalam setiap bentuk usaha guna pembangunan pada segala aspeknya yang saat ini sedang kita lakukan, termasuk di dalamnya mengenai pembangunan hukum nasional. Seperti diketahui sampai saat ini hukum positif terdiri dari unsur-unsur ; (1) hukum adat (2) Hukum islam (3) Hukum Barat dan (4) Hukum nasional yang disusun setelah proklamasi kemerdekaan berdasarkan pancasila dan UUD 1945, karena itu hukum positif Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945, maka tugas pertama pembangunan hukum nasional ialah dalam waktu dekat mencabut atau menggantikan peraturan hukum yang berasal dari kolonial itu dan yang masih berlaku di Indonesia melalui Pasal II Aturan peralihan UUD 1945 dengan peraturan nasional, dan menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan tuntutan pembangunan serta mampu bertanggungjawab atas perkembangan masyarakat baik ditingkat nasonal maupun global. Pandangan dan konsep nilai bangsa Indonesia tentu sangat berbeda dengan konsep nilai bangsa asing. Hal demikian yang menjadi salah satu latar belakang mengapa KUHP (WvS) yang merupakan warisan bangsa kolonial dan masih berlaku sampai sekarang perlu diperbaharui. Menurut Sudarto : “Dinegara kita pandangan dan konsep nilai berdasarkan pancasila, sedangkan pandangan tentang hukum pidana erat sekali hubungannya dengan pandangan yang umum tentang hukum, tentang negara dan masyarakat dan tentang kriminalitas (kejahatan)”. Adapun salah satu kajian alternatif yang mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum pidana nasional saat ini ialah kajian sistem hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dikatakan demikian karena seiring dinyatakan bahwa sistem hukum nasional disamping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembangan di dalam masyarakat. “Nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama”. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berpotensi memeberikan sumbangan bagi usaha pembahuan hukum pidana yang tengah diupayakan bangsa Indonesia. Menurut Ichtiyanto, sebenarnya hukum islam ada di dalam hukum nasional. Dalam teori “Eksistensi”-nya ia menyatakan bahwa : 1) Hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional Indonesia ; 2) Hukum Indonesia bersifat mandiri dalam arti, kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional ; 3) Norma hukum islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum dan unsur-unsur utama hukum nasional Indonesia.” 
 B. Rumusan Masalah.
 1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pidana kesusilaan di Indonesia saat ini (di dalam KUHP dan Undang undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi), serta dalam Hukum Pidana Islam dan RKUHP ?
 2. Bagimanakah Perbedaan Penerapan sanksi pemidanaan terhadap Kesusilaan menurut KUHP dan Undang undang Nomor 44 tahun 2008, serta dalam Hukum Pidana Islam dan RKUHP ?
 3. Bagaimanakah Kontribusi Hukum Islam terhadap Hukum Pidana mengenai kesusilaan di Indonesia saat ini serta dalam RKUHP ? 
 BAB II PEMBAHASAN 
 A. Rumusan tindak pidana kesusilaan di Indonesia saat ini. 
Hukum pidana pada hakikatnya berisi norma-norma dan ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan diharuskan disertai pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Pelanggaran atas ketentuan hukum pidana biasanya disebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana dan banyak istilah lainya, yang terhadap pelakunya dapat dikenai sanksi sebagaimana sudah ditetapkan dalam undang-undang. Ketentuan hukum mengenai pidana kesusilaan di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 2 (dua) ketentuan organik yang mengaturnya, antara lain di dalam KUHP (WvS) serta Undang undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hanya saja baik di dalam KUHP (WvS) maupun Undang undang Nomor 44 Tahun 2008, Nomenklatur (pemakaian istilah atau penamaan) tentang ”tindak pidana kesusilaan” tidak dikenal akan tetapi hanya dikenal sebagai tindak pidana terhadap kesopanan, namun demikian esensi dari istilah ”kesopanan” dalam KUHP tersebut adalah mengandung makna yang sama dengan ”tindak pidana kesusilaan” dalam penulisan ini. Di dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, pengaturan mengenai ”tindak pidana kesopanan” di atur pada Buku Kedua Bab XIV (tentang kejahatan) dan Buku Ketiga Bab VI (tentang Pelanggaran). Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kesopanan disini adalah dalam arti kesusilaan (Zeden, eerbaarheid) atau perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada wanita, meraba kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Konsep tindak pidana pada Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI Buku Ketiga KUHP (WvS) tersebut, menurut Wirjono Prodjodikoro dibagi dalam dua jenis tindak pidana yakni : 1. Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada pasal 281 sampai dengan 299, sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan dalam pasal 532 sampai pasal 535. 2. Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan (di luar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan dalam pasal 236 sampai dengan 547. Untuk menutupi beberapa kekurangan dalam KUHP (WvS), lalu kemudian terbit Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang pada intinya mengatur mengenai larangan eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum. Delik kesusilaan (zedelijkheid) dalam Bab XIV tentang Kejahatan meliputi perbuatan-perbuatan : 1. Melanggar kesusilaan (Pasal 281). 2. Menyiarkan, mempertunjukkan, dan seterusnya, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan (Pasal 282). 3. Menawarkan, memberikan, dst., tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan (Pasal 283). 4. Zina (Pasal 284). 5. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan (Pasal 285). 6. Bersetubuh dengan seorang wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286). 7. Bersetubuh dengan wanita yang umurnya belum 15 tahun (Pasal 287). 8. Bersetubuh dengan wanita di dalam perkawinan yang belum mampu dikawin (Pasal 288). 9. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan perbuatan cabul (Pasal 289). 10. Melakukan perbuatan cabul dengan orang pingsan, belum berumur 18 tahun (Pasal 290). 11. Melakukan perbuatan cabul dengan orang sama jenis, yang belum cukup umur (Pasal 291). 12. Dengan memberi atau menjanjikan, menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya untuk melakukan perbuatan cabul (Pasal 293). 13. Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur (Pasal 294). 14. Menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, atau anak angkatnya yang belum cukup umur (Pasal 295). 15. Menghubungkan, memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296). 16. Perdagangan wanita dan anak laki-laki belum cukup umur (Pasal 297). 17. Mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati yang dapat menggugurkan hamilnya (Pasal 299). Sedangkan Delik kesusilaan (zedelijkheid) dalam Bab VI Buku Ketiga KUHP (WvS) meliputi perbuatan-perbuatan : 1. Menyanyikan lagu-lagu, mengadakan pidato, mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan di muka umum (Pasal 532). 2. Mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambaran atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda (Pasal 533). 3. Terang-terangan mempertunjukkan sarana untuk mencegah hamil (Pasal 534). 4. Terang-terangan mempertunjukkan sarana untuk menggugur-kan kandungan (Pasal 535). B. Rumusan Tindak Pidana Kesusilaan Dalam RKUHP. Dalam RUU KUHP Tahun 2012 tidak lagi membedakan antara "kejahatan" dan "pelanggaran" sebagaimana selama ini dibedakan menurut KUHP yang berlaku. RUU KUHP hanya terdiri atas dua buku, yaitu Buku I mengenai Ketentuan Umum dan Buku II mengenai Tindak Pidana. Sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya pembedaan tersebut adalah tidak lagi ada kualifikasi "kejahatan kesusilaan" dan "pelanggaran kesusilaan". Tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP diatur pada Bab XVI Pasal 467 s/d Pasal 503 RUU KUHP. Tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP merupakan gabungan dari "kejahatan" dan "pelanggaran” kesusilaan. Artinya, baik materi/substansi pasal-pasal yang merumuskan kejahatan kesusilaan maupun pelanggaran kesusilaan diadopsi menjadi materi/substansi tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP. Secara garis besar tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut : 1. Perbuatan yang berhubungan dengan kesusilaan di Muka Umum (Pasal 467). 2. Perbuatan yang berhubungan dengan Pornografi (Pasal 468 – Pasal 479). 3. Menawarkan dan sebagainya tulisan, gambar, benda, atau rekaman untuk mencegah atau menggugurkan kandungan (Pasal 480 - Pasal 482). 4. Tentang Zina dan perbuatan cabul (Pasal 483 – Pasal 487). 5. Tentang perkosaan (Pasal 488). 6. Tentang pencabulan (Pasal 489 – Pasal 497). 7. Tentang pengobatan yang dapat mengakibatkan gugurnya kandungan (Pasal 498). 8. Tentang melakukan persetubuhan terhadap hewan (Pasal 501 ayat 1 huruf c). Dalam RUU KUHP terdapat beberapa perkembangan atau perluasan. Perkembangan yang dimaksud adalah adanya beberapa perbuatan yang dalam RUU KUHP (ius constituendum) diancam pidana, padahal dalam KUHP yang berlaku saat ini (WvS) merupakan perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana (ius con-stitutum). Serta dalam RUU KUHP juga terdapat perluasan mengenai perumusan tindak pidana, dimana semula diatur dalam KUHP (WvS) lalu diadopsi dalam RUU KUHP untuk kemudian diadakan perluasan perumusan atas tindak pidana tersebut. Adapun perluasan-perluasan yang berbeda antara KUHP saat ini (WvS) dengan RUU KUHP tentang tindak pidana kesusilaan antara lain sebagai berikut : 1. Yang dapat di pidana atas perbuatan ”Zina” antara Pasal 284 KUHP (WvS) dengan Pasal 483 RUU KUHP pada dasarnya adalah sama yakni ”apabila salah satu pihak (pria atau wanita) telah terikat dalam hubungan perkawinan”. Hanya saja di dalam RUU KUHP terdapat penambahan yakni : walaupun, baik laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah apabila melakukan persetubuhan juga dapat dipidana (Pasal 483, ayat (1), huruf e, RUU KUHP 2012). 2. Definisi ”persetubuhan dengan anak” dalam KUHP (WvS) adalah 15 tahun (Pasal 287 ayat (1), akan tetapi dalam RUU KUHP adalah usia 2 Tahun (Pasal 484 RUU KUHP). 3. Dalam KUHP yang berlaku saat ini (WvS) tidak diatur mengenai ”kumpul kebo” (Samen Leven), akan tetapi dalam RUU KUHP dapat di pidanakan (Pasal 485 RUU KUHP). 4. Dalam KUHP yang berlaku saat ini (WvS) tidak diatur mengenai ”melacurkan diri”, akan tetapi dalam RUU KUHP perbuatan tersebut dilarang (Pasal 486 RUU KUHP). C. Rumusan Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Hukum Pidana Islam. Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abdal Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta. Tindak pidana yang berkaitan dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misal perampokan, pencurian, perzinaan, pemberontakan. Tindak pidana yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia. Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat. Delik perzinaan ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu. rajam adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam QS. An Nuur, ayat 2 : “ Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”. Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi : خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ ” Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam”. Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah. Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk). Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam adalah : 1. Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nas. 2. Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman separoh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua kali lipat Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah QS. An Nisaa’, ayat25: …فَإِذَا اُحْـصِنَّ فَإِنْ أَتَــيْنَا بِــفَاحِـشَةٍ فَـعَلَيْـهِنَّ نِـصْفُ مَــا عَلَى الْمُحْصَـنَـاتِ مِنَ الْعَــذَابِ… … jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separoh dari wanita merdeka … Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua, maka hukum yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika pelakunya budak, maka berdasarkan ketentuan QS. An Nisaa’ ayat 25 adalah separoh, yakni lima puluh kali. 3. Hukum dera yang tertera dalam QS. An Nuur ayat 2 berlaku umum, yakni pezina muhsan dan ghairu muhsan. Sementara hadis Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah. Masih dalam aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, menyatakan bahwa hukum rajam dengan argumnetasi seluruh materi yang bersifat tradisional bersifat non reiable, di samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah orang-orang Yahudi. Sementara Anwar Haryono menyatakan, bahwa hukum rajam pertama kali diterapkan dalam sejarah Islam terhadap orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat. Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa saja yang berzina dirajam. Demikian halnya dengan pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum rajam ada dan dipraktekan dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum diturunkannya QS. An Nuur ayat (2). Maka hukum yang muhkam Alangkah bijaksananya kalau kita mengatakan hukum had itu tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat, rukun dan tanpa adanya unsur subhat. sampai sekarang adalah hukum dera bagi pezina. Tidak ada maksud mengklaim kebenaran pada salah satu pihak yang pro dan kontra tentang sanksi bagi pezina (dera atau rajam). Ada baiknya merujuk pada teks dengan mempertimbangkan realitas masyarakat kontemporer, seperti Indonesia yang plural. Artinya harus bertolak dari kenyataan bahwa hukum rajam bukan hukum yang hidup dalam sistem negara Islam manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas dari adanya perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan konstruksi masyarakat muslim pada saat hukum rajam diterapkan. Perubahan masyarakat pada gilirannya merubah rasa hukum masyarakat, sehingga masyarakat enggan melaksanakan hukum rajam, di sisi lain pezina harus dihukum berdasarkan ketentuan al-Qur`an. Di sini perlu dipahami, bahwa perintah Rasul untuk menghukum rajam bagi pezina harus diperhitungkan latar belakang historisnya: 1. Hukum rajam pertama kali diterapkan kepada orang Yahudi, dasar hukumnya adalah kitab mereka yakni Taurat. 2. Diterapkannya hukum rajam pada masa Nabi adalah ketika surat an-Nur ayat (2) belum diturunkan. Sedang hukum yang berlaku setelah diturunkannya surat an-Nur ayat (2) adalah hukum cambuk (dera) 100 kali. 3. Rasululah menghukum rajam di kala itu bukan sebagai hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Hukum rajam atau dera seratus kali bagi pezina bukanlah suatu kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur dengan teorinya halah al-had al-a’la, (batas maksimal ketentuan hukum Allah), bahwa hukum rajam (dera) bisa dipahami sebagai hukum tertinggi dan adanya upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut dapat dibenarkan. Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui oleh orang lain, Islam memberikan peluang terhadapnya untuk bertobat. Sebagaimana Nabi menjadikan sarana dialog dalam kasus Ma’iz bin Malik, yang mengaku berzina dan minta disucikan kepada Nabi. Nabi berpaling dan bertanya berulang-ulang agar pengakuan dicabut dan segera bertaubat. Dari berbagai pendapat tentang eksistensi hukum rajam, dapat disimpulkan bahwa hukum rajam adalah alternatif hukuman yang terberat dalam Islam dan bersifat insidentil. Artinya penerapannya lebih bersifat kasuistik. Karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan individu maupun masyarakat. 
 D. Kontribusi Hukum Pidana Islam Terhadap Hukum Pidana Nasional. 
Menurut hukum islam disyaratkannya hukuman adalah untuk memperbaiki perilaku manusia, memelihara mereka dari segala bentuk kemafsadatan (kerusakan), mengindai mereka dari kesesatan, mengajak mereka untuk mentaaati seluruh perintah Allah SWT dan Rasul-nya, dan meredam seluruh bentuk maksiat. Dalam hukum islam dikenal beberapa sanksi berkenaan dengan pertanggungjawaban perbuatan, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah memaafkan tanpa menuntut diat sama sekali, dan merupakan perbuatan mulia serta sangat disukai oleh ALLAH SWT. Pemaafan tersebut diperbolehkan pada semua tindak pidana kisas/diat dan takzir yang merupakan hak adamu, sedangkan pada tindak pidana hudud merupakan hak ALLAH SWT. Konsep pemaafan dalam hukum islam sebetulnya hampir sama dengan ”asas rechterlijk pardon” yang termuat dalam pasal 55 ayat 2 Rancangan KUHP 2012, yang antara lain di sebutkan : “ Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan memepertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Selanjutnya penjelasan dari pasal 52 RKUHP menyebutkan : “ Ketentuan ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memeberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang bersifat ringan (tidak serius). pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang di dakwakan kepadanya”. Menurut Syathibi sebenarnya setiap hukum syara tidak pernah sunyi dari hak allah, yakni dari segi ibadahnya, sebagaimana juga adanya hak bagi manusia, karena cepat atau lambat sesungguhnya syariat itu diadakan dengan mengandung pengertian untuk kemaslahatan manusia (hamba Allah). Jadi jelas bahwa islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hal demikian juga tercermin dalam sistem pemidanaan menurut hukum islam. Didalam Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan bahwa diantara ciri-ciri hukum islam adalah hukum islam sangat memperhatikan segi kemanusiaan seseorang, baik mengenai jiwa, akal, maupun akidahnya, baik selaku perorangan maupun anggota masyarakat; mengenai anak dan isteri maupun harta kekayaannya. manusialah yang menjadi sumber bagi segala hukum yang digariskan dalam al-quran. hukum islam memberikan penghormatan kepada manusia karena kemanusiaanya. Hukum islam tidak membenarkan seorang melecehkan harga diri, mengancam atau menumpahkan darah orang lain. Disampng itu hukum islam juga tidak mendasarkan perintahnya pada pemaksaan yang dapat menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi geraknya. 
BAB III PENUTUP 
 Kontribusi hukum pidana islam terhadap KUHP dan RKUHP dapat di lihat dalam kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang secara kesusilaan dianggap menyimpang dan di kenakan sanksi pidana terhadap para pelaku kejahatan terhadap kesusilaan. Dalam hukum pidana islam dikenal dengan prinsip memaafkan atau dengan kata lain apabila korban memaafkan maka kejahatan tersebut secara otomatis hilang dan tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada korban oleh pelaku, konsep ini di adopsi oleh hukum pidana indonesia khusunya dalam rancangan RKUHP yang disebut dengan rehtilejk Pardon, atau dapat dijumpai dalam pasal 55 ayat 2 RKUHP. Klasifikasi tindak pidana dalam hukum Islam dibagi atas : Hudud Qisas / Diyat Ta’zir Tindak pidana Hudud Adalah setiap tindak pidana yang sanksinya ditentukan oleh al-quran maupun hadis nabi. Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat dengan kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak Allah Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan Langsung oleh Allah SWT. Ini berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas ditentukan dan Allah SWT tidak mengenal tingkatan serta harus dilaksanakan.

Kamis, 21 Maret 2013

jumawa


SISTEM PEMIDANAAN BERBASIS RESTORATIVE JUSTICE
Oleh:  
Dadang Sumarna
Mahasiswa Pasca Sarjana UMJ

KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang. KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof. Soedarto menyatakan bahwa teks resmi KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.
Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin maupun Orde Baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pimpinan politik, pejabat atau golongan etnis.
 Kenyataan inilah yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini.
 Kondisi perubahan hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilainilai yang ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
 Penjelasan Umum RKUHP juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat.
Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran RKUHP tersebut, reformulasi atas pengaturan hukum pidana yang dilakukan meliputi penentuan tindak pidana (kriminalisasi) yang sangat jauh berbeda dengan KUHP sekarang. Tercatat ada 743 pasal dalam RKUHP dimana 513 di antaranya adalah pasal mengenai tindak pidana, selebihnya adalah pasal yang berkaitan dengan ketentuan umum. Jumlah rancangan pasal yang sedemikian besar terutama berkaitan dengan banyaknya pasal tentang tindak pidana dalam RKUHP ini menimbulkan berbagai reaksi dan sorotan yang mengkritisi bahwa RKUHP ini mempunyai gejala over criminalization.
Sorotan lainnya adalah berkaitan dengan pola pemidanaan dan penetapan sanksi pidana yang masih menempatkan pidana mati sebagai pidana yang terberat. Kritik atas masih dipertahankannya pidana mati bagi pelaku ini didasarkan atas pelanggaran terhadap konstitusi dimana dalam UUD Amandemen Kedua, secara tegas dinyatakan tentang jaminan atas hak hidup dan hak ini adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun (non derogable rights). Selain itu, mempertahankan hukuman mati juga bertentangan dengan beberapa prinsip dan standar internasional dalam mengenai pemidanaan. PBB juga telah mengeluarkan beberapa dokumen penting berkaitan dengan pemidanaan. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil Politik pada tahun 1966 menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk merehabilitasi pelaku kejahatan. PBB juga menyoroti tentang pentingnya perhatian kepada korban kejahatan dengan dikeluarkannya Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Majelis Umum PBB. Dengan rumusan yang demikian, sorotan khusus berkenaan dengan pola pemidanaan dan penentuan sanksi dalam RKHUP ini perlu dilakukan karena pemidanaan ini dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana. Pembaharuan hukum pidana, dalam hal ini berkaitan dengan sistem sanksi dalam RKUHP, harus dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan. Hal ini penting untuk melihat apa maksud dan capaian yang hendak diharapkan atas sebuah proses pembaharuan dalam hukum pidana. Mengetahui maksud dan capaian tentang tujuan pemidanaan akan menunjukkan paradigma negara atas perlindungan dan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi terhadap warga negaranya sebagaimana dicantumkan dalam konsiderannya. Namun tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi dalam RKUHP perlu dilakukan peninjauan untuk melihat sejauh mana landasan tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi yang ditetapkan, karena penetapan sanksi dalam peraturan perundang-undangan adalah sangat penting dan strategis untuk mencapai tujuan dari kebijakan hukum pidana (penal policy).
 Selama ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan dalam hukum positif Indonesia. Sebagai akibat tidak adanya rumusan pemidanaan ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak konsisten dan tumpang tindih. RKUHP yang telah disusun ini nampaknya akan mengalami problem yang sama dimana kecenderungan adanya pencampuran konsep pemidanaan dan penetapan sanksi. Persoalan penetapan sanksi (bentuk-bentuk pidana) dalam RKUHP Indonesia, dalam sejarahnya, mengalami beberapa kali perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep RKUHP yang dalam beberapa konsepnya mempunyai persamaan namun juga terdapat beberapa perbedaan.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam RKUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan, setidaktidaknya mendekati tujuan, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling baik, paling tepat, paling patut paling berhasil atau efektif merupakan masalah yang tidak mudah. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan.
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini.
Rancangan KHUP menganut sistem pemidanaan dua jalur (double track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment). Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP ini juga bertambah dengan adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam KUHP Indonesia. Namun di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut, ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi kontroversi, misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, RKUHP juga memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan (denda) adat yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada putusan hakim. RKUHP sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya.
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : a) Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan tujuan pemidanaan, c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
Setiap masyarakat mengembangkan mekanismenya sendiri-sendiri guna mengontrol perilaku anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku yang menyimpang. Khususnya bila penyimpangan tersebut dianggap intensional, tidak dapat diterima dan mengakibatkan kerugian serius (berupa timbulnya korban atau biaya dalam arti luas), muncullah konsep penghukuman (punishment). Pada awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributive dan merupakan reaksi langsung atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Paradigma retributive ini terlihat dalam semangat mengganjar secara setimpal berkaitan dengan perbuatan dan atau efek dari perbuatan yang telah dilakukan. Paradigma penghukuman belakangan muncul dengan semangat agar orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan kata lain, penghukuman dilakukan dengan semangkat menangkal (deterrence).
Perkembangan pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai instrumen dalam rangka metode pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya paradigma rehabilitative. Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar atau menyimpang dari aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit, kekurangan, bermasalah atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan perilaku tersebut. Oleh karena itu, melalui penghukuman atasnya, orang tersebut pada dasarnya hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan perubahan paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang, bervariasi dan, konon, semakin manusiawi.
  1. Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan

Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan sebagai “sistem pemberian  atau penjatuhan pidana”. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem  pemidanaan)   itu dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, Dari sudut fungsional (dari sudut bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk fungsionali-sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana, Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana   hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan secara  konkret sehingga  seseorang  dijatuhi  sanksi  (hukum)  pidana. Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum Pelaksanaan  Pidana. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan “sistem pemidanaan fungsional” atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”. 
Dari sudut norma-substantif (hanya dilihat dari norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan atau Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada  hakikatnya  merupakan  satu  kesatuan   sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP.

  1. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
1.      Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;
2.      “Tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”, “pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;
3.      Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifi-kasi pemidanaan;
4.      Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses melalui tahap “formulasi” (kebi-jakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif); oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumus-an tujuan dan pedoman pemidanaan.

  Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan :
Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut :
a.          ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;
b.         ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”;
c.          ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/ “offender” (individualisasi pidana) dan “victim” (korban);
d.         ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures);
e.          ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.
f.          Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”);
g.         Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”);
h.         Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;
i.           Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
j.           Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hu-kum;

Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :
1.         adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability” (Pasal 35);
2.         adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal responsibility”); Pasal 46.
3.         adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);
4.         adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;
5.         adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);
6.         dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);
7.         adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);
8.         adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);
9.         dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);
10.     dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2);
11.     dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam  dengan pida-na tunggal (Pasal 56-57);
12.     dimungkinkannya  hakim menjatuhkan pidana secara  kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58);
13.     dimungkinkannya hakim memberi  maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdak-wa,  sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).
14.     adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa in causa”  atau asas “actio libera in causa); Pasal 54 *)
15.     dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, wa-laupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);

Aliran-Aliran Dalam Hukum Pidana
 Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana. Aliran-aliran tersebut adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan aliran neo klasik. Perbedaaan aliran klasik, modern dan neo klasik atas karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman pertumbuhan aliran-aliran tersebut. Aliran klasik yang muncul pada abad ke-18 merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai berikut :
a. Definisi hukum dari kejahatan;
b. Pidana haru sesuai dengan kejahatannya;
c. Doktrin kebebasan berkehendak;
d. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana;
e. Tidak ada riset empiris; dan
 f. Pidana yang ditentukan secara pasti.

Aliran Modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau
sanksi pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan undang-undang.
Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut :
a. Menolak definisi hukum dari kejahatan;
b. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana;
c. Doktrin determinisme;
d. Penghapusan pidana mati;
e. Riset empiris; dan
f. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.

Aliran neo klasik yang juga berkembang pada abad ke-19 mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak pidana.
Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
a. Modifikasi dari doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain;
b.   Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan;
c. Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan
d.  Masuknya kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.

 G.       Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa pandangan.
Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view). Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributifteleologis.
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah : a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat
sifatnya kasusistis.
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak  berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. Terhadap tekanan atas tujuan rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model) yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan. Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal yang menjadi kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert theories menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku, seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedomanpedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari penghukuman dan pihak yang menghukum.
Di samping just desert model juga terdapat model lain yaitu restorative justice model yang seringkali dihadapkan pada retributive justice model. Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative juctice theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik :
a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themself; only secondary is it lawbreaking.
b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.
c. The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion of others.
 Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
c.   Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
f.   Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g.  Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h.  Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.  Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan  ekonomis; dan
k.   Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana reparatif. Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana, nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti penjara.
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.
Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkenal pengaruh – korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Pengertian Restorative Justice
"Restorative justice" sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.
Ciri yang menonjol dari restorative justice, kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.
Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan kebencian masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide restorative justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban. Usaha ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga pemasyarakatan, meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya, menempatkan masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan narapidana dan korban.
Model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).
Selain pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan perbuatannya. Pada korban, penekanannya adalah pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya. Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan, sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.
Namun, penerapannya tidak mudah. Kalau hanya diterapkan di lingkungan Lapas, hasilnya tidak akan maksimal. Model restoratif harus dilaksanakan mulai dari kepolisian, saat pertama kali perkara dalam proses penyidikan. Di kejaksaan dan pengadilan pun demikian harus dilaksanakan. Satu hal lagi yang sulit adalah memulihkan derita korban, baik fisik maupun psikis. Kerugian materiil mungkin bisa digantikan pelaku. Tetapi bagaimana dengan derita psikis, misalnya akibat pemerkosaan?
Penghukuman pidana pada dasarnya adalah suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku.
Peradilan jaman sekarang tidak membuktikan bahwa seseorang menjadi jera dan menyelesaikan masalah. Secara konseptual, keadilan alternatif ini adalah keadilan yang bisa melihat keadilan secara menyeluruh dan lebih sensitif. Keadilan secara menyeluruh ini juga mencakup kemungkinan perbaikan yang dilakukan oleh pihak terhukum kepada korban. Dengan adanya kesempatan itu, konsep keadilan lebih bisa diterima semua pihak. Tidak seperti sekarang, di mana seseorang bisa saja melakukan balas dendam pada terhukum setelah korban keluar dari penjara, atau si korban merasa trauma berlebihan karena pahitnya perasaan ”kotor” yang timbul setelah diperkosa.
Wajah lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah, mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.
Sasaran akhir konsep peradilan restorative ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal; pelaku kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas; menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian kembali pelaku kejahatan dalam masyarakat.
Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan diskresi / pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku / pelanggar agar mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan kompensasi yang dirundingkan / disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim.
Sebelumnya perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan pidana sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.
 4. pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.
Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
Terkait dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salah satu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang ringan.
Pada penyidikan tindak pidana di tingkat kepolisian, adanya “penyelesaian di luar pengadilan” seringkali menimbulkan kecurigaan atas kewenangan penyidik kepolisian dalam menyelesaikan perkara. Adanya kesepakatan antara korban / pelapor dengan pelaku / terlapor dalam proses penyidikan kepolisian sering dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum tersebut. Niat baik dari penyidik kepolisian yang menangani perkara dengan adanya “penyelesaian di luar pengadilan”, dikenal dalam proses penyidikan kepolisian maupun kejaksaan dengan istilan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) seringkali dianggap sebagai “komoditi”. Sindiran sinis sering terucap, berapa uang yang diminta penyidik, atau berapa uang yang diberikan pihak yang bersengketa atau berselisih (pelapor dengan terlapor).
Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap sering terjadi kontroversi.

Tujuan Pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence) dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penerapan tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, RKUHP mengatur tentang adanya penentuan pidana minimum dan maksimum dalam delik-delik tertentu. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam penjelasan RKUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi
umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus.
Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus.

 Pembinaan Individu Pelaku Tindak Pidana
Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. 
Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan perubahan atau penyesuaian dapat berupa : a) pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau b) penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah : a) kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana; dan b) perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa pemidanaan kepada pelaku bertujuan untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan pemidanaan adalah ketentuan Pasal 60 yang menyatakan bahwa jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan ini juga sejalan dengan adanya ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengurangan masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya.

Tujuan Pemidanaan Sebagai Pembinaan Pelaku dan Menuju ke Sanksi  yang Alternatif
Salah satu perkembangan dalam RKUHP berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan.  Tindakan adalah perlakukan (treatment) yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP75 atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya. Jenis-jenis tindakan yang dikenakan kepada pelaku yang memenuhi ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 berupa :
a. Perawatan di rumah sakit jiwa;
b. Penyerahan kepada pemerintah; atau
c. Penyerahan kepada seseorang.

Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok terdiri atas :
a) Pencabutan surat izin mengemudi;
b) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
c) Perbaikan akibat tindak pidana;
d) Latihan kerja;
e) Rehabilitasi; dan/atau
f) Perawatan di lembaga.
Penjelasan Pasal 101 menyatakan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track system), yaitu di samping pembuat tindak pidana dapat dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Penetapan sanksi berupa tindakan ini harus sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. Ketentuan Pasal 102 menyatakan bahwa dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55. Pengenaan tindakan ini bukan didasarkan atas ancaman yang terdapat dalam tindak pidananya, karena memang dalam tidak ada tindak pidana yang diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada kondisi di
pelaku. Terdapat dua kelompok pelaku yang dapat dikenakan tindakan, yaitu bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan orang yang mampu bertanggung jawab dan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat.
Sistem pemidanaan dua jalur (double track system) secara teoritis telah dianut dalam KUHP, namun sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak di bawah umur sebagaimana dirumuskan dalam KUHP Pasal 44 dan Pasal 45. Dalam perkembangannya, perundang-undangan di luar KUHP telah menerima konsep perluasan pengenaan jenis sanksi tindakan yang juga dapat diancamkan terhadap orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, misalnya pada UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.78 Jenis tindakan dalam pola pemidanaan dalam beberapa regulasi di Indonesia ini hanya dianggap sebagai sanksi yang bersifat komplementer atau pelengkap dan tidak ada bedanya dengan jenis sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif.  Meskipun juga telah ada sanksi tindakan yang bersifat mandiri atau sebagai sanksi alternatif, misalnya dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai argumentasi atau landasan pengenaan sanksi tindakan yang bersifat mandiri tersebut.
Sanksi tindakan sebagaimana dirumuskan dalam RKUHP telihat bahwa merupakan sanksi yang bersifat mandiri untuk tindakan sudah menujuk secara jelas tentang pihak yang dapat dikenai sanksi tindakan tersebut, yakni setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental. Sementara sanksi tindakan berupa : a) pencabutan surat izin mengemudi; b) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; c) perbaikan akibat tindak pidana; d) latihan kerja; e) rehabilitasi; dan/atau f) perawatan di lembaga bukan merupakan sanksi yang mandiri karena hanya bisa dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokoknya. Beberapa tindakan yang dirumuskan juga ditujukan untuk memperbaiki atau merehabilitasi pelaku, di antaranya tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa, tindakan berupa latihan kerja dan tindakan berupa rehabilitasi. Tindakan-tindakan ini juga diberikan pengaturan yang menunjukkan kebutuhan bagi pelaku yang dikenai pidana, misalnya untuk tindakan berupa latihan kerja yang harus mempertimbangkan tentang kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana, kemampuan pembuat tindak pidana, dan jenis latihan kerja dimana dalam menentukan jenis latihan kerja ini wajib diperhatikan latihan kerja atau pengalaman kerja yang pernah dilakukan, dan tempat tinggal pembuat tindak pidana.
Perumusan dan penegasan tentang sistem penggunaan double track system dengan mengatur secara khusus tentang sanksi tindakan menunjukkan bahwa pandangan baru yang diadopsi untuk menuju ke sistem pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan. Pengaturan dalam RKUHP ini relatif lebih maju karena sanksi tindakan bukan hanya diberikan kepada pihak-pihak yang tidak mampu bertanggung jawab dan mengalami gangguan jiwa sebagaimana dianut dalam paham klasik, tetapi juga bagi pihak yang mampu bertanggung jawab. Penetapan sanksi berupa tindakan ini juga merupakan bentuk penegasan tentang berbagai alternatif penentuan sanksi dengan diberikannya hak kepada pengadilan untuk mengadakan kebijaksanaan dalam penjatuhan sanksi. Hal ini sejalan dengan hukum pidana modern tentang individualisasi pidana dimana mensyaratkan adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi apa (pidana atau tindakan) yang patut (proper) untuk individu yang bersangkutan, meskipun juga harus dalam batas-batas yang ditentukan dengan undang-undang sebagaimana disyaratkan bahwa penjatuhan sanksi harus mempertimbangkan ketentuan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.

  Kesimpulan
Secara umum, pengaturan tentang pemidanaan dalam RKUHP telah mengalami kemajuan dimana tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sudah dirumuskan secara jelas dan rinci sebagai bagian untuk menentukan batas pemidanaan (the limit of sentencing) dan penentuan bobot pemidanaan (the level of sentencing). Ketentuan dalam pemidanaan ini kemudian dipertegas dengan penentuan jenis-jenis sanksi yang memberikan alternatif bagi pengadilan untuk menentukan sanksi yang patut bagi pelaku berdasarkan tingkat kejahatan, kondisi pelaku dan keadaaan-keadaaan lainnya sehingga tidak ada penyamarataan (indiscriminately) atas penjatuhan pidana. Pidana penjara atau pencabutan kemerdekaan, meskipun masih sulit dihapuskan, juga mulai menjadi jenis sanksi yang dalam penerapannya lebih selektif. Namun masih diaturnya hukuman mati, yang banyak tersebar dalam beberapa delik, menjadi bagian yang lebih mengancam tujuan pemidanaan yang telah dirumuskan meskipun dinyatakan sebagai salah satu sanksi pidana yang khusus. Sementara itu sanksi berupa tindakan, diatur lebih maju atau lebih baik dari pengaturan tentang berbagai sanksi tindakan yang saat ini diatur dalam hukum positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun undangundang lainnya.
 Tujuan pemidanaan yang terdapat dalam RKUHP berorientasi untuk perlindungan masyarakat dan melakukan pembinaan kepada pelaku. Hal ini tercermin dari 4 tujuan pemidanaan yang lebih banyak menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang bermaksud untuk merehabilitir pelaku ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa tujuan pemidanaan bukan dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia.
Dalam Hal penetapan jenis sanksi pidana, RKUHP menambahkan beberapa jenis pidana baru, yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Penetapan hukuman mati, meskipun ditempatkan pidana yang bersifat khusus dan dalam penerapannya dilakukan secara selektif, merupakan pidana yang tetap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagai landasan untuk menetapkan sanksi pidana. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati. Beberapa ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati, termasuk adanya kesadaran bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang sangat berat dan tidak akan dapat melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan, menunjukkan bahwa ada keragu-raguan untuk menerapkan hukuman mati.

   Rekomendasi
Ketentuan mengenai sanksi ganti kerugian kepada korban harus diatur secara lebih jelas untuk memberikan jaminan bahwa korban akan mendapatkan hak-hak ganti rugi tersebut. Pengaturan ini juga menuntut adanya perubahan prosedur tentang ganti rugi ini, terutama soal pengajuan hak-hak ganti rugi kepada korban tersebut. Mengenai besaran ganti kerugian kepada korban juga harus dirumuskan sebagaimana dalam pidana denda dan bukan semata-mata diserahkan kepada hakim untuk menentukan besaran ganti kerugian kepada korban. Hukuman mati selayaknya dihapuskan karena jenis hukuman mati ini tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan.




  

DAFTAR PUSTAKA

Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, The Australian National University, Asghate Publising Ltd, 2000. hlm, 14.
Prof Adrianus Meliala, PhD: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development.
--------------------------------: Antara Menghukum Atau Mempermalukan: Suatu Upaya Memodifikasi Perilaku. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta. Tanpa tahun.
--------------------------------: Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi Dan Potensinya Di Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta. Tanpa tahun.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Baksi, 1998, hlm. 113-114.
---------------------------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 152-153.

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, 1985, hlm. 27.
Daniel S. Lev, Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan Negara Indonesia, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, 1990, hlm. 467.
Daniel W. Van Ness, Restorative justice and International Human Rights, Restorative Justice: International Perspektive, edited by Burt Galaway and Joe Hudson, Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland. hlm. 23.
Edi Setiadi; Kontroversi Pelaksanaan KUHAP, Harian Pikiran Rakyat, 8 Pebruari 2003.
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968, hlm. 9.
Ifdhal Kasim, Over Criminalization Mengintai dalam RUU KUHP.
M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 131.

Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, 2005, hlm. 107-113.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, PT ALUMNI, Bandung, 1998, hlm. 95.
----------------------------, Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 29-32.
-----------------------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm. 127-129.
------------------------------, Kapita Seleksi Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm. 125.
Micahel Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996, hlm. 15.

Prof Dr Muhammad Mustofa, MA: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for International Development.
-------------------------------------: Pemulihan Hak-Hak Sipil Mantan Napi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta. Tanpa tahun.
PAF Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm. 69.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 101.
Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Semarang, 21 Desember 1974, hlm. 3.
Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 61.
---------------------------, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 62.
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publising Company, New York, 1987, hlm. 352.
Fifth UN Congress on Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, New York, Departement of Economic and Social Affairs, United Nation, 1976, hlm. 38.
Delapan konsep RKUHP ini dimulai sejak Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968, tahun 1971,
Konsep Tim Harris, Basaroeddin dan Situmorang tahun 1981 yang isinya sama dengan konsep tahun 1968 dan 1971,

Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yang diketuai Prof. Soedarto, Konsep RKUHP tahun 1982/1983, Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan, Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai dengan 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987, Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yang diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.



*) Di dalam RUU 2004, redaksi Psl. 54 terdapat juga dalam Pasal 37 dan 53. Seharusnya hanya Pasal 54 saja (lihat Tabel Lampiran).