Rabu, 26 Januari 2011

Tidak Pidana Penggelapan 372

A. Tindak Pidana Penggelapan

Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering), terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Di samping penggelapan sebagaimana diatur dalam Bab XXIV, ada rumusan tindak pidana lainnya yang masih mengenai penggelapan, yaitu pasal 415 dan 417, tindak pidana mana sesungguhnya merupakan kejahatan jabatan, yang kini ditarik ke dalam tindak pidana korupsi oleh UU no. 31 Th. 1999 dan UU no. 20 Th, 2001, oleh karenanya tidak dimuat dalam Bab XXIV, melainkan dalam bab tentang kejahatan jabatan (Bab XXVIII).
Pengertian yuridis mengenai penggelapan dimuat dalam pasal 372 yang dirumuskan sebagai berikut “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 900,00.”
Rumusan itu disebut/diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan di atas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang ke dalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan arti secara luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.
Pada contoh seseorang dititipi sebuah sepeda oleh temannya, karena memerlukan uang, sepeda itu dijualnya. Tampaknya sebenarnya penjual ini menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan temannya itu dan tidak berarti sepeda itu dibikinnya menjadi gelap atau tidak terang. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak tersebut menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai benda, hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai atau memegang sepeda itu.
Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut di atas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toe.igenen), sesuatu benda (eenig goed) , yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk).
1. Unsur-Unsur Objektif
a. Perbuatan memiliki.
Zicht toe.igenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht toe.igenen dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakan tentang pencurian di muka, telah dibicarakan tentang unsur memiliki pada kejahatan itu.
Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaannya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini, ialah dalam hal memi¬ liki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.
Pada pencurian, adanya unsur maksud untuk memiliki sudah tampak dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena sebelum kejahatan itu dilakukan benda tersebut belum ada dalam kekuasaannya. Lain halnya dengan penggelapan. Oleh sebab benda objek kejahatan, sebelum penggelapan terjadi telah berada dalam kekuasaannya, maka menjadi sukar untuk menentukan kapan saat telah terjadinya penggelapan tanpa adanya wujud perbuatan memiliki.
b. Unsur objek kejahatan
Dimuka telah dibicarakan bahwa dalam MvT mengenai pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa benda yang menjadi objek pencurian adalah benda-benda bergerak dan berwujud, yang dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam berbagai putusan pengadilan telah ditafsirkan sedemikian luasnya, sehingga telah menyimpang dari pengertian semula. Seperti gas dan energi listrik juga akhirnya dapat menjadi objek pencurian.
Berbeda dengan benda yang menjadi objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud. Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap. Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti menggelapkan rumah, menggelapkan energi listrik maupun menggelapkan gas. Kalaupun terjadi hanyalah menggelapkan surat rumah (sertifikat tanah ), menggelapkan tabung gas. Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan, tetapi pencurian.
Karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya. Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dulu. Lain dengan isinya, untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya, ia tidak dapat melakukannya secara langsung tanpa melakukan perbuatan lain, yakni membuka kran tabung untuk mengeluarkan/memindahkan gas tersebut.
c. Sebagian atau seluruhnya miik orang lain
Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji di kamar mandi di stasiun kereta api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk menjualnya, lalu dijualnya.
d. Benda berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.
Di sini ada 2 unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah disinggung di atas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan : menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung).



2. Unsur - Unsur Subjektif
a. Unsur kesengajaan.
Unsur ini adalah merupakan unsur kesalahan dalam penggelapan. Sebagaimana dalam doktrin, kesalahan (schuld ) terdiri dari dua bentuk, yakni kesengajaan (opzettelijk atau dolus ) dan kelalaian (culpos). Undang-undang sendiri tidak memberikan keterangan mengenai arti dari kesengajaan. Dalam MvT ada sedikit keterangan tentang opzettelijk, yaitu sebagai willens en wetens, yang dalam arti harfiah dapat disebut sebagai menghendaki dan mengetahui.
Mengenai willens en wetens ini dapat diterangkan lebih lanjut ialah, bahwa orang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, berarti ia menghendaki mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbuatan serta sadar (bahkan bisa menghendaki) akan akibat yang timbul dari perbuatannya itu. Atau apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam suatu rumusan tindak pidana seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau hal-hal/unsur-unsur tertentu (disebut dalam rumusan) serta menghendaki dan atau mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatan.
Setiap unsur kesengajaan (opzettelijk) dalam rumusan suatu tindak pidana selalu ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya, atau dengan kata lain semua unsur-unsur yang ada di belakang perkataan sengaja selalu diliputi oleh unsur kesengajaan itu.

b. Unsur melawan hukum
Pada saat membicarakan pencurian, telah cukup dibahas akan unsur melawan hukum ini. Karenanya di sini tidak akan dibicarakan lagi. Dalam hubungannya dengan kesengajaan, penting untuk diketahui bahwa kesengajaan petindak juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum ini, yang pengertiannya sudah diterangkan di atas. Ada beberapa perbedaan antara penggelapan dengan pencurian. Perbedaan itu adalah:
1) Tentang perbuatan materiilnya. Pada penggelapan adalah perbuatan memiliki, pada pencurian adalah mengambil. Pada pencurian ada unsur memiliki, yang berupa unsur subjektif. Pada penggelapan unsur memiliki adalah unsur tingkah laku, berupa unsur objektif. Untuk selesainya penggelapan disyaratkan pada selesai atau terwujudnya perbuatan memiliki, sedang pada pencurian pada perbuatan mengambil, bukan pada unsur memiliki.
2) Tentang beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak. Pada pencurian, benda tersebut berada di tangan/kekuasaan petindak akibat dari perbuatan mengambil, berarti benda tersebut berada- d alam kekuasaannya karena suatu kejahatan (pencurian). Tetapi pada penggelapan tidak, benda tersebut berada dalam kekuasaannya karena perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum.
B. Teori Pembuktian
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hokum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hokum perdata atau hokum acara perdata prof. Subekti berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih di klasifikasikan sebagai hokum acara perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya dimasukan kedalam BW yang pada dasarnya hal yang mengatur hokum materil.
Akan tetapimemang ada suatu pendapat bahwa hokum dapat dibagi dalam dua bagian yakni hokum acara materil dan hokum acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian yang pertama (hokum acara perdata), yang dapat dimasukan kedalam kitab undang-undang hokum perdata materil, pendapat ini rupanya hanya dianut oleh pembuat undang-undang pada waktu BW dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia perihal pembuktian ini telah dimasukan kedalam H.I.R yang memuat hokum yang berlaku di Pengadilan Negeri.
1. Pengertian pembuktian
Menurut prof. SudiknoMertokusumo Pembuktian dapat dibagi kedalam beberapa pengertian:
a. Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan dalam arti logis dan ilmiah berarti memberikan kepastian mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
b. Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relative sufatnya yang memepunyai tingkatan:
1) Kepastian yang berdasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction.).
2) Kepastian yang berdasarkan atas pertimbangan akal (convition rasionne)
c. Membuktikan dalam hokum acara mempunyai arti yuridis
Dalam ilmu hokum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan.
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus, pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yurudus tidak menunjukan kepada kebenaran mutlak. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hokum acara pidana, dimana seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana, kecuali apabila berdasarkan bukti-bukti yang sah, hakim memeperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa, dalam hokum acara perdata untuk memenangkan seseorang tidak perlu adanya keyakinan hakim yang penting adalah adanya alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang kalah.dengan perkataan lain, dalam hokum secara perdata cukup dengan kebenaran formil saja.
2. Prinsip-Prinsip Pembuktian
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hokum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hokum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan
Dalam suatu proses perdata, sala satu tugas hakim adalah utuk menyelidiki apakah suatu hubungan hokum yang menjai dasar gugatan benar atau tidak benar. Ada hubungan hokum inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatanya akan ditolak sedangkan apabila berhasil maka gugatan akan dikabulkan.
Tidak sama dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenaranya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/ keadaan yang tidak harus dibuktikan antara lain:
a. Hal-hal/ keadaan-keadaan yang telah di akui
b. Hal-hal /keadaan-keadaan yang tidak disangkal
c. Hal-hal/keadaan-keadaan yang terlah diketahui oleh kahalayak ramai (notoire feiten/fakta notoir).
Di dalam menjatuhkan beban pembuktian hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah . semua peristiwa dan keadaan yang kongkrit harus diperhatikan dengan seksama olehnya. Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa ‘ Barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana di dasarkan suatu hak, diwajibkan memuktikan peristiwa-peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu.
3. Teori-teori Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai . berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas bebas, artinya hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, hakim bebas menilai kesaksian atau di ikat oleh undang-undang terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berpa jauhkah hokum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwea di dalam siding yaitu :
a) Teori Pembuktian bebas
Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberpa dapat diserahkan kepada hakim. Teori ini di khendaki jumhur/pendapat umum karena akan memberikan kelonggaranwewenamg kepada hakim dalam mencari kebenaran.
b) Teori pembuktian Negatif
Teori ini hanya menghendaki ketentuan-ketentuan yang mengatur larangan-larangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim disini dilarang dengan pengecualian.
c) Teori Pembuktian positif
Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim, disini hakim diwajibkan tetapi dengan syarat.
C. Alat Bukti
Menurut Undang-undang, ada lima macam alat bukti yang dapat di pergunakan diantaranya yaitu :
1. Surat-surat
Menurut undang-Undang Surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa karenanya suatu akte harus selalu ditanda tangani. Surat-surat akte dapat dibagi atas akte resmi (authentic) dan surat –surat akte dbawah tangan (onderhands).
Menurut undang-undang suatu akte resmi mempunyai siatu kekuatan pembuktian sempurna artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang ditulis didalamnya atau didalam akte tersebut, sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian kembali.

2. Kesaksian
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar