Rabu, 26 Januari 2011

Partai Politik

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Negara modern saat ini mempraktekan demokrasi perwakilan. Partisipasi masyarakat dalam demokrasi perwakilan melalui wakil-wakil yang terbentuk baik karena kesamaan kepentingan maupun untuk membentuk kepentingan bersama. Suatau kelompok terbentuk karena kesamaan kepentingan, maka organisasi yang dibentuk untuk menjamin kekepingan anggotanya. Tetapi kepentingan bisa juga terbentuk karena ada kelompok. Dalam abad ke-18 dan bahkan sampai pada abad ke-19, pembuatan kebijakan utamanya menghadirkan dialog antara para pemilih dengan wakilwakil mereka di parlemen atau di pemerintahan lokal. Saat itu jumlah penduduk lebih kecil, program pemerintah lebih terbatas, dan komunikasi lebih mudah, penduduk tidak perlu membentuk sebuah organisasi agar pandangan mereka bisa diketahui. Namun, dalam abad ke-20, masyarakat berkembang makin kompleks, dan peran pemerintah makin membesar.
Kini makin banyak masalah yang perlu disuarakan oleh pemilih, dan agar suara mereka didengar dalam masalah-maaalah spesifik, warga membentuk kelompok-kelompok lobi, kelompok-kelompok penyokong kepentingan public dan swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang khusus bekerja untuk satu masalah. Sudah ada banyak kritik internal terhadap aspek yang satu ini dari demokrasi di negara maju, dan menyatakan bahwa mereka yang punya kepentingan dengan akses uang dalam jumlah besar bisa membuat suara mereka lebih terdengar dibandingkan dengan orang-orang yang sumber dayanya lebih kecil. Ada kebenaran dalam kritik itu, namun ada juga fakta lain yaitu ada banyak organisasi ini membantu mendidik publik dan pembuat kebijakan tentang masalah tertentu, dan dengan melakukan hal ini mereka membantu banyak individu memperoleh kesempatan menyampaikan pandangan mereka terhadap para pembuat kebijakan dala era mutakhir ini. Dengan perkembangan tehnologi komunikasi, jumlah suara akan kian bertambah, dan pelbagai LSM ini akan membantu memperbaiki dan memfokuskan kepentingan warga lewat cara yang efektif.
Intelektual yang menjalankan modernisasi sekuler terhadap politik Indonesia dimulai dengan dua asumsi dasar: 4 Pertama, politik dan ekonomi adalah aspek-aspek yang erat berkaitan dengan dengan keseluruhan sistem sosial. Dengan kata lain, menurut asumsi pertama, perubahan sosial sebagian besar tergantung pada perubahan pada sub sistem ekonomi dan sub sistem politik. Asumsi ini masih relevan dan memperkuat argumentasi tentang hubungan antara politik dan ekonomi dengan sistem sosial yang lain. Modernitas serta tradisi adalah keadaan masyarakat yang berlainan, memiliki masing-masing ciri yang berbeda, meskipun seperangkat ciri tersebut saling berkaitan erat tetapi bisa dispesifikasikan. Asumsi pertama memberi perhatian besar-besaran yang diberikan oleh para modernisator pada sub sistem kepartaian, yang mereka pandang sebagai penghubung maha penting antara penguasa dan yang dikuasai. Asumsi pertama menggunakan landasan penilaian positip terhadap parpol. Penataan sub sistem pemerintahan dapat juga dijelaskan sebagai kelanjutan dari pilihan-pilihan sistem kepartaian dengan sifat-sifat yang melekat padanya. Pada sistem pemerintahan yang parlementer, maka penataan partai politik, legislative dan eksektutif merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Partai pemenang pemilu, dengan mayoritas perolehan kursi di parlemen, otomatis memegang mandat untuk membentuk pemerintahan. Ada alur yang sangat jelas antara partai politik, parlemen dan eksekutif.
Bahkan pimpinan partai mempunyai peluang yang sangat besar untuk menduduki kursi perdana menteri. Kedua, asumsi yang memberikan landasan bagi penilaian negative terhadap partai-partai yakni partai dipandang berperhatian ideologis (kesetiaan tradisional ) dan bukan pada program (pembangunan). Kesetianaan pada hal-hal yang bersifat ideologis tersebut seperti agama, suku, dan hal-hal lain yang bersifat personal. Partai politik menjadi corong dari kepentingan-kepentingan yang bersifat personal. Dalam situasi seperti ini, eksekutifpun dituntut untuk memberi respon yang cukup pada berbagai upaya untuk menjaga kepentingan-kepentingan yang bersifat personal. menjadi factor yang menjadi tantangan tersendiri. Ada keinginan untuk dominasi sesuai peribangan kekuatan-kekuatan yang bersifat personal, tetapi pada saat yang bersamaan diperhadapkan realitas kebhinekaan yang juga dasarnya adalah kepentingan yang bersifat personal. Disinilah sesungguhnya menurut saya arena krusial yang membutuhkan dialog dan kejujuran politik. Mengelola perpolitikan bukan saja pada tataran normatif konseptual tetapi realitas dan mengelola realitas politik ini menurut saya jauh lebih sulit dibandingkan dengan membangun tesis anti tesis dalam perpolitikan. Jika politik Indonesia hendak mendukung dan bukannya menghalangi usaha pembangunan, suatu sistem kepartaian baru yang akan membuat kesetiaan-kesetiaan lama dan komitmen-komitmen-pada suku, agama, kelas, pribadi–menjadi berkurang dan digantikan dengan sebuah saluran elit-massa yang diarahkan pada persoalan-persoalan pragmatis pembangunan merupakan keperluan yang mendesak, maka reformasi kepartaian perlu dilakukan untuk mencapai tujuan itu.
Berbagai taktik dan strategi yang dimainkan oleh kelompok pembaharupun dilakukan. Para reformis mengikuti ilmuwan politik Perancis Maurice Duverger, yang menganggap reformasi pemilihan umum–penggantian distrik pemilihan yang banyak merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi jumlah partai dan memaksa partai-partai yang bertahan untuk mendapatkan pengikut yang berbasis lebih luas dan kurang ideologis. Perubahan ini tentunya akan mempengaruhi pula relasi antara konstituen, partai politik, parlemen dan eksekutif.




BAB II
PERMASALAHAN

A. Latar Belakang Masalah
Proses untuk merumuskan dan kemudian menyalurkan berbagai ragam pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada di dalam masyarakat kepada pihak penguasa dinamakan artikulasi kepentingan (interst articulation). Berbagai pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada dalam masyarakat yang disalurkan oleh partai politik kepada pihak penguasa tersebut dapat berwujud tuntutan-tuntutan dan dapat pula berwujud dukungan-dukungan. Baik tuntutan dan dukungan ini lantas disalurkan kepada pemerintah.
Apabila terdapat tuntutan-tuntutan dan dukungan-dukungan dari masyarakat yang ada kesamaan-kesamaan atau pun menyangkut masalah-masalah yang sama maka tuntutan dan dukungan itu dijadikan satu. Proses pengabungan tuntutan dan dukungan ini dinamakan agregasi kepentingan (interest agregation). Dalam sebuah sistem politik demokrasi, artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan yang dilaksanakan oleh partai politik pada hakekatnya merupakan input atau masukan bagi sistem politik itu sendiri. Input atau masukan tersebut kemudian disalurkan atau disampaikan kepada badan-badan yang mempunyai wewenang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh warga negara. Badan-badan yang mempunyai wewenang itu pada umumnya diwakili oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Badan-badan tersebut mengolah setiap input yang masuk untuk dijadikan output, yaitu kebijakan-kebijakan mempunyai kekuatan mengikat segenap warga negara. Bentuk kebijakannya bisa berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, maupun kebijkan-kebijakan umum lainnya.
Realitas Parpol Kita semua menyadari bahwa instrumen kelembagaan yang paling strategis dalam mengembangkan pemberdayaan politik masyarakat menuju kedewasaan politik adalah partai politik (parpol), hal ini bisa dipahami karena partai politik merupakan jembatan antara masyarakat dengan pemerintah. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk mengembangkan sistem kepartaian yang mampu menghasilkan partai politik yang profesional yang dapat menjalankan peran dan fungsinya secara baik dan bertanggung jawab, dan pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan (trust) masyarakat pada partai. Adanya partai politik yang baik diharapkan dapat berpengaruh terhadap kokohnya integrasi nasional, tingginya partisipasi, besarnya legitimasi, maupun efektifnya penyelesaian konflik.
Namun patut disayangkan, kondisi riil kepartaian yang sekarang tidak dibangunan demi kemaslahatan dan pembangunan bangsa kedepan, sebab partai-partai yang ada hanya berpikir bagaimana bisa meraih suara sebanyak-banyaknya dan bisa berkuasa selama-lamanya. Sudah bukan rahasia apabila partai-partai sekarang mendasarkan diri pada basis massa pemilih tradisional yang mudah dimobilisasi, dan hal ini tidak disadari telah mempengaruhi tingkat kohesivitas dan harmoni sosial dalam masyarakat di tingkat grassroot. Sebagai contoh bagaimana kerasnya persaingan dalam memperebutkan massa pemilih warga nahdiliyin yang merupakan komunitas Islam terbesar. Celakanya, masing-masing parpol berupaya keras untuk dapat mengamankan basis massanya dengan berbagai cara, sementara upaya untuk melakukan pemberdayaan dan pendidikan politik bagi massa tidak pernah dilakukan, dan pada akhirnya tidak jarang berujung pada konflik massa di tingkat grassroot tersebut. Hal ini tidak pernah disadari atau bahkan terpikirkan oleh para elit partai politik bahwa upaya mengeksploitasi pemilih dengan cara demikian tidak kondusif bagi keutuhan serta keharmonisan bangsa. Sebab sudah tidak bisa kita pungkiri dalam kenyataan keseharian bahwa kesesuaian darah, keturunan, adat kebiasaan, agama memiliki sebuah kekuatan yang dapat melakukan paksaan dan kadang-kadang lebih kuat dari persamaan yang dimiliki secara nasional. Oleh karena itulah tidak salah apabila Geertz mengingatkan pada kita bahwa negara baru akan mengalami kesukaran dalan membangun suatu sistem politik yang baik apabila negara itu terbangun atas ikatan-ikatan primordial (primordial attachment).
Sementra kondisi riil kepartaian kita sekarang ini umumnya masih bersandar pada ikatan-ikatan primordial ini, atau dengan perkataan lain sebagaimana pernah dijelaskan oleh Herbert Feith sebagai politik aliran. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa keterikan dari pengaruh adat istiadat, bahasa, ras, daerah hubungan darah, dan agama pada saat ini masih mempunyai daya tarik tinggi untuk dijadikan komoditas politik bagi parpol. Rasa keterikatan semacam itu sering disebut pula sebagai “sub-national culture value” atau pengaruh kebudayaan politik sub nasional. Akibat pola kepartaian yang demikian, maka dapat diprediksikan pemimpinpemimpim yang muncul hasil pemilu tidak akan mempunyai sikap kenegarawanan, lemah visi nasionalitasnya, sempit wawasannya bahkan tidak mengerti apa arti dari masa depan bangsanya. Hanya satu tujuannya. Karena fungsi partai adalah mengagregasikan kepentingan masyarakat dan memperjuangkannya agar menjadi keputusan politik. Dengan demikian kepentingan, kebutuhan dan harapan masyarakat bukan harus dipenuhi oleh partai politik, tapi oleh pemerintah sebagai pelaksana (eksekutif) yang menjalankan keputusan politik. Karena pola yang terbalik ini telah menyebabkan
partai politik termasuk kader-kadernya terpogram untuk berlomba mencari income dari proses politik agar dapat memenuhi kepentingan, keinginan dan harapan konstituennya tersebut.
Akibat dari keadaan ini para kader, anggota dewan, sampai pengurus partai politik yang tertanam dalam benaknya adalah bagaimana memperbanyak “giji” politik. Keadaan ini berpengaruh buruk pada perkembangan politik di negara kita, karena proses politik menjadi disederhanakan, politik identik dengan uang sebagai contoh money politics dalam proses pemilu. Kalau dalam pemilu sudah berhambur uang, maka para wakilyang terpilih bukan berpikir untuk rakyatnya melainkan bagaimana menarik uang yang telah dikeluarkannya, dan pada akhirnya para anggota dewan lebih mencintai “uang rakyat” dari pada “rakyat yang punya uang”.
Apabila para anggota dewan sudah mencintai uang rakyat, maka penyakit kronis bangsa yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap menggerogoti atau bahkan semakin parah. Logika demikian bukan tanpa dasar sebab seperti yang diungkapkan oleh James E. Alt dan K. Alic Chrystal bahwa “the love of money is the root of evil” (Political Economics, 1983). Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa elit politik kita sering mem-(barter) idealisme politiknya dengan “setumpuk uang”, sementara disisi lain ada sebahagian rakyat yang mau menukarkan hak politik dengan “selembar uang”. Alhasil demokrasi yang seharusnya diartikan sebagai “kedaulatan rakyat” berubah menjadi “kedaulatan uang”.
















BAB III
PEMBAHASAN


Proses untuk merumuskan dan kemudian menyalurkan berbagai ragam pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada di dalam masyarakat kepada pihak penguasa dinamakan artikulasi kepentingan (interst articulation). Berbagai pendapat, aspirasi maupun kepentingan yang ada dalam masyarakat yang disalurkan oleh partai politik kepada pihak penguasa tersebut dapat berwujud tuntutan-tuntutan dan dapat pula berwujud dukungan-dukungan. Baik tuntutan dan dukungan ini lantas disalurkan kepada pemerintah. Apabila terdapat tuntutan-tuntutan dan dukungan-dukungan dari masyarakat yang ada kesamaan-kesamaan atau pun menyangkut masalah-masalah yang sama maka tuntutan dan dukungan itu dijadikan satu.
Proses pengabungan tuntutan dan dukungan ini dinamakan agregasi kepentingan (interest agregation). Dalam sebuah sistem politik demokrasi, artikulasi kepentingan dan agregasi kepentingan yang dilaksanakan oleh partai politik pada hakekatnya merupakan input atau masukan bagi sistem politik itu sendiri. Input atau masukan tersebut kemudian disalurkan atau disampaikan kepada badan-badan yang mempunyai wewenang menetapkan kebijakan-kebijakan yang mempunyai kekuatan mengikat seluruh warga negara. Badan-badan yang mempunyai wewenang itu pada umumnya diwakili oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat. Badan-badan tersebut mengolah setiap input yang masuk untuk dijadikan output, yaitu kebijakan-kebijakan mempunyai kekuatan mengikat segenap warga negara. Bentuk kebijakannya bisa berupa Undangundang, Peraturan Pemerintah, maupun kebijkan-kebijakan umum lainnya.
A. Aspek legal
Awal hubungan Partai politik dengan eksekutif dapat juga dijelaskan secara lain dengan melihat realitas hukum yang berlaku di negeri ini. Pasal 56 UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dari satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Lebih rinci, Pasal 36 PP N0. 6 Tahun 2005 menegaskan bahwa Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik secara berpasangan. Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan realitas hukum yang demikian, maka peran parpol dalam mekanisme demokrasi masih strategis. Selain merupakan pintu masuk bagi setiap individu yang ingin meraih kepala daerah dan wakil kepala daerah tetapi juga semakin kuatnya daya tawar lembaga DPRD ( di mana di dalamnya duduk perwakilan Parpol) di era otonomi daerah juga turut menentukan pula stabilitas politik daerah. Namun karena tidak memenuhi ketentuan undang-undang, ada sebanyak 133 daerah yang kepala daerahnya diusung oleh koalisi partai.
B. Realitas Politik
Implikasi praktis dari kedua tesis Duverger tersebut diatas, dalam praktek saat ini dapat diihat dari Jajak Pendapat yang dilakukan Litbang Kompas September lalu. Hasilnya memperlihatkan secara nyata hubungan antara peran parpol, popularitas calon kepala daerah dengan kepentingan publik Pemilih.
C. Hubungan Eksekutif dengan Parpol
Eksekutif dalam konteks ini didefinisikan pemerintah daerah yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dicalonkan oleh partai politik dan memenangkan pilkada langsung dan perangkat daerah otonom sebagai lingkaran birokrasi dari bupati dan wakil bupati terpilih. Berdasarkan logika sebelumnya, maka menurut saya, hubungan antara eksekutif dan partai politik dibanguan dan dikembangkan di ada tiga pilar utama .
1. Konteks demokrasi, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Eksekutif dan Parpol sama-sama merupakan institusi yang bertanggung jawab atas berbagai upaya pembangunan untuk meningkatkan derajat kemakmuran dan kesejehteraan rakyat. Peran kedua institusi ini dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Eksekutif menjalankan fungsi pemerintahan untuk mengatur, melayani, memberdayakan masyarakat dan taat pada rule of game. Partai politik menjadi disatu sisi menjembatani kepentingan publik konstituennya dengan eksekutif tetapi juga melakukan pengawasan politik melalui wakilnya di DPRD terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan.
2. Konteksnya dengan realitas politik . Dalam Pilkada langsung, antara parpol dan eksekutif,sumber legitimasi kekuasaannya sama yaitu dari rakyat secara langsung. Tetapi typology hubungan antara parpol dan eskekutif dengan publik pemilih bisa berbeda. Hasil jajak pendapat Kompas dapat membantu menjelaskan perbedaan hubungan tersebut. Ketika konstituen pemilih tidak lagi menjadikan kesamaan partai sebagai dasar pilihan, maka dasar perekatnya bergeser karena popularitas eksekutif. Dengan demikian legitimasi politik ekeskutif bukan lagi dari parpol tetapi langsung dari publik konstituen. Namun demikian, Partai Politik tetap dapat memanfaatkan popularitas eksekutif atas dasar etika politik dan pemerintahan karena parpol adalah pintu masuk bagi calon terpilih. Partai politik dapat mengatakan bahwa keberhasilan dan papularitas eksekutif adalah keberhasilan dan popularitas partai politik juga, karena sesungguhnya program dan kegiatan eksekutif dibangun di atas visi dan misi bersama. Konteks etika politik dan
3. pemerintahan. Etika dalam hal ini berhubungan dengan nilai-nilai yang mendasari hubungan antara eksekutif dan partai politik. Nilai terbentuk dari suatu kesamaan pemahaman, cara berfikir, cara bersikap dan cara bertindak yang secara berkelanjutan dipahami dan dilaksanakan secara bersama-sama. Partai politik atau gabungan partai politik merelakan partainya sebagai pintu masuk bagi pribadi untuk dicalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, sesungguhnya di dasar pada ada kesamaan dalam pemahaman, cara berfikir tentang pembangunan daerahnya. Dengan kata lain, eksekutif dan parpol mempunyai kesamaan dalam visi dan misi pembangunan. Visi adalah cara pandang jauh ke depan, kemana instansi pemerintah dan seluruh kekuatan daerah dan nasional harus dibawah agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Keduanya mempunyai pemahaman yang sama tentang gambaran keadaan masa depan yang diinginkan seluruh elemen daerah, cara pandang jauh ke depan kemana instansi pemerintah harus dibawah agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Sedangkan misi adalah merupakan pernyataan tentang tujuan organisasi yang diwujudkan dalam produk dan pelayanan, kebutuhan yang dapat ditanggulangi kelompok masyarakat, nilai yang diperoleh serta aspirasi dan cita-cita di masa mendatang.
Parpol dan eksekutif mempunyai kesamaan Visi dan misi maka parpol secar etis bertanggung jawab pula atas implementasinya dalam bentuk rencana dan pelaksanaan pembangunan tahunan, lima tahunan dan jangka panjang. Pad tataran yang normative, hubungan ini kemudian menjadi mendapat pengesahan secara legal dalam berbagai bentuk. Fungsi Kkontrol parpol penting sekali untuk tetap menjaga supaya eksekutif berjalan dalam visi, misi, kegiatan dan program yang sama.
D. Partai Politik Pengertian dan Fungsi

Partai politik merupakan pilar dari kehidupan politik yang demokratis. Hal ini dikarenakan partai politik menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip dasar kehidupanyang demokratis. Ada beberapa pengertian mengenai partai politik, antara lain seperti “Sementara Sigmund Neumann menyatakan bahwa partai politik sebagai organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat, yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya pada pengendalian kekuasaan pemerintahan dan yang bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat, dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.
Dengan demikian partai politik itu merupakan perantara yang besar yang menghubungakan kekuatan-kekuatan dan ideologi-ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi dan yang mengkaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas Pengertian dari Neumann menunjukan bahwa partai politik hanya terdapat dalam sebuah masyarakat atau negara yang menganut paham demokrasi. Hal ini bisa ditunjukan lewat persaingan yang dilakukan oleh partai politik, dimana persaingan itu dilakukan dalam pemilhan umum. Dalam rangka membicarakan partai politik, maka kita tidak dapat melepaskan pembicaraan mengenai kelompok kepentingan (interset group). Hal ini antara lain disebabkan oleh karena partai politik tidak begitu mudah untuk dapat dibedakan dengan kelompok kepentingan yang terorganisir. Sebagaimana diketahui bahwa kelompok kepentingan adalah suatu organisasi yang terdiri dari sekolompok individu yang mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan yang sama; dan mereka kerja sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi tercapainya kepentingan, tujuan dan keinginan mereka.
Akan tetapi umumnya kelompok kepentingan ini berafiliasi dengan partai politik tertentu untuk dapat mengartikulasikan kepentingan mereka dan imbalannya kelompok kepentingan melakukan mobilisasi massa untuk mendukung partai politik tersebut. Partai politik yang baik baik harus mampu menjalankan fungsi-fungsi yang melekat dalam dirinya. Sebagian ahli menyebutkan bahwa fungsi partai politik adalah Serving as Intermediaries, Nominating Candidates, Contesting elections and Channeling, Organizing the government, Providing Public Accountability, Managing Conflict (John Bibby, 1992). Namun pada umumnya partai politik itu mempunyai fungsi:
1. sosialisasi politik,
2. rekruitmen politik,
3. komunikasi politik,
4. artikulasi dan agregasi kepentingan,
5. partisipasi politik,
6. pengatur konflik,
7. mengkritik rejim yang berkuasa.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bobot dan Kelanggengan hubungan antara Partai Politik dan eksekutif ditentukan oleh kemampuan kedua belah pihak untuk memanipulasi ketiga dasar hubungan diatas yaitu demokrasi, realitas politik dan etika politik dan pemerintahan .Sebaliknya, bobot hubungan menjadi merosot dan tidak langgeng apabila terjadi kemerosotan pemahaman ketiga dasar hubungan itu baik yang dilakukan secara bersama-sama ataupun oleh salah satu dari kedua komponen, yaitu parpol atau partai politik. Demikian beberapa pokok pikiran saya, semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar