Kamis, 27 Januari 2011

ManaJemen pemerintahan

layanan publik sebagai salah satu tujuan
rganisasi pemerintahan, merupakan problem pemerintahan yang tidak pernah dapat memperoleh pertautan secara maksimal dengan tingkat penerimaan dari masyarakat. Perkembangan masyarakat yang terpengaruh dari dalam karakter pergaulan dunia global yang dimotori oleh paradigma Anglo Saxxon dan Continental ataupun pergulatan sudut pandang secara ideologis antara mashab ositivis dengan Marxis.Pergulatan perkembangan akan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan masyarakat tersebut, menjadi paradigma yang silih berganti saling mempengaruhi. Ekspektasi masyarakat yang dibangun oleh kuatnya sistem globalisasi mencengkram berbagai aspek kehidupan masyarakat bangsa diseluruh dunia, menjadi duplikasi pengelolaan manajemen peemerintahan yang dijadikan sebuah orientasi. Akibatnya paradigma yang berkembang menjadi sebuah arah pengembangan, sementara dilema birokrasi pemerintahan yang hierarkis mengakibatkan tidak tersimpulnya antara harapan masyarakat dan kenyataan yang dihasilkan dari kehidupan budaya strukturalisme birokrasi yang masih tercengkram dengan model Weberian.Fenomena pelayanan publik di Indonesia, juga terpengaruh oleh hal diatas. Dalam era otonomi daerah yang kian maju, maka problematika pelayanan tidak dengan serta merta terselesiakan oleh kebijakan politik tersebut. pergeseran ke arah penciptaan birokrasi yang semakin tidak jelas terutama dalam manajemen pengelolaan yang dibutuhkan masyarakat, semakin disulitkan oleh fenomena latah-latahan yang dikembangkan oleh birokrasi yang terjebak dalam tindakan inefisiensi yang dalam keadaan berbagai kendala keterbatasan untuk penciptaan pelayanan publik yang baik, dimana terpaut kuat pada masalah klasik dengan keterbatasan dana daerah.Kata kunci: Paradigma, Manajemen, Pemerintahan, Pelayanan Publik Setiap disiplin ilmu memiliki suatu standarisasi yang mencakup fokus dan lokus. Focus mempersoalkan tentang “what of the field”
  atau metode dasar yang digunakan   tau cara-cara ilmiah apa yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu persoalan. Sedangkan Lokus mencakup “where of the field” atau medan atau tempat dimana metode tersebut digunakan atau diimplementasikan (Keban, 2004). Dengan dua kategoorisasi standar yang dimiliki sebuah disiplin ilmu tersebut maka setiap ilmu akan mengalami sebuah “anomalies”. Perkembangan suatu kajian, adalah perwujudan dari respons terhadap kondisi kebutuhan masyarakat sebagai suatu fenoemna kajian ilmu pemerintahan yang semakin diperhadapkan oleh kompleksitas permasalahan yang terjadi oleh perkembangan yang terdapat dalam masyarakat. Ilmu pemerintahan yang merupakan kajian ilmu yang memadukan kajian ilmu murni yang diharapkan dapat diimplementasikan sebagai reaksi terhadap kondisi kemasyarakatan yang terdapat dalam kajian formal Ilmu Pemerintahan. Ini mengharuskan birokrasi dan pengkaji pemerintahan memiliki perhatian dan komitmen terhadap berbagai sudut pandang yang memungkinkan berbagai hal yang dapat ditimbulkannya sebagai konsekwensi implementasi kebijakan dalam masyarakat terbaca. Hal ini dimungkinkan dengan metode dan cara yang tentunya  dapat secara dini dapat mengetahui eksesnya secara komprehensif.Fenomena prinsipil yang terjadi dalam kajian keilmuan yang terkait dengan pelayanan publik, juga mengalami hal tersebut. Seperti dalam kajian administrasi yang banyak dipinjam dalam beberapa metode yang digunakan oleh Ilmu Pemerintahan. Paradigma sederhana yang hanya menekankan kepada Government Bureaucratic sebagai locus, berubah kearah yang semakin kompleks sehingga memiliki kedua hal tersebut sampai kepada paradigma kekinian yang telah memasuki paradigma postmodernisme.Sangat cepatnya perkembangan tersebut, menjadi tantangan bagi institusi pemerintahan untuk tampil mengikuti lahirnya berbagai paradigma secara global. Keterbatasan pendanaan dan sumber daya manusia yang memiliki tingkat inovasi yang berorientasi kepada pelayanan masyarakat dalam tubuh birokrasi negara dunia ketiga khususnya Indonesia, realitas tersebut merupakan sesuatu yang menjadi kondisi empirik yang tidak dapat dihindari. Sementara, kautnya perkembangan paradigma tersebut juga terjadi dimasyarakat dan menjadi harapan masyarakat Indonesia yang semakin tinggi.  Ini dapat dipahami sebagai sebuah kesuksesan dari kelompok menengah Indonesia memposisikan diri dalam dilematika kehidupan kebangsaan, dimana pada umumnya ditandai dengan keberhasilan advokasi dari berbagai kelompok NGOs, Civil Society yang secara intens melibatkan diri dalam kehidupan kemasyarakatan meskipun dengan berbagai agenda kepentingan masing-masing. Prinsip-prinsip yang hanya mengedepankan kepada perkenalan prinsip POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting And Budgeting) kemajuan paradigma terjadi ditahun 1983an dimana terjadi revisi dalam prinsip POSDCORB diatas menjadi PAHFRIER (Policy Analysis, Financial, Human Resources, Information Dan External Relations) yang menjadi perhatian utama manajemen publik (Garson & Overman,1991). Perkembangan tercanggih kemudian yang menjadi orientasi pembentukan paradigma pemerintahan di dunia adalah terjadi di era tahun 90an dimana lahir konsep wira usaha  dan pemangkasan birokrasi dari Osborne dan Gaebler, atau paradigma “Post Bureucratic Paradigm” dimana paradigma birokratik lama menekankan kepada kepentingan publik, efisiensi, administrasi dan kontrol maka paradigma ini berubah penekanan kepada hasil guna bagi masyarakat, kualitas dan nilai, produk.Untuk keterkaitan terhadap norma paradigma lama menekankan fungsi, otoritas dan struktur paradigma baru lebih kepada misi pelayanan dan hasil akhir (out come), terkait dengan biaya maka birokratik menekankan kepada tanggung jawab (responsibility), post birokratik kepada pemberian nilai bagi masyarakat, Sedangkan untuk membangun akuntabilitas dan memperkuat hubungan kerja, birokratik mengutamakan ketaatan kepada aturan dan prosedur, paradigma post menekankan kepada pemahaman dan penerapan norma-norma, tentang hal terkait dengan identifikasi dan pemecahan masalah serta proses perbaikan yang berkesinambungan, paradigma birokratik mengutamakan berlangsungnya sistem-sistem administrasi, post lebih kepada pemisahan antara pelayanan dengan kontrol, membangun dukungan terhadap norma-norma, memperluas pilihan pelanggan, mendorong kegiatan kolektif, memberikan insentif, mengukur dan menganalisis hasil dan memperkaya umpan balik (Barzelay & Armajani, 1997)Perkembangan terbaru dalam penyelenggaraan pelayanan publik hadir di Tahun 2003 (Keban, 2004) yang dibawa oleh J.V. Denhardt dan R.B. Denhardt yang secara mengejutkan, menyarankan untuk meninggalkan prinsip administrasi klasik dan einventing government atau new public management dan beralih kepada prinsip New Public Service. Bagi mereka, pelayanan publik harus : 1). Serve citizen no customers (melayani warga masyarakat bukan pelanggan, 2). Seek the public interest (Mengutamakan kepentingan publik), 3). Value citizenship over enterpreneurship (lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan), 4.). Think strategically, act democratically (berpikir strategis, dan bertindak demokratis), 5). Recognize that accountability is not simple (menyadari bahwa akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah), 6). Serve rather  than steer (melayani daripada mengendalikan), 7). Value people not just productivity (menghargai orang bukan hanya karena tingkat produktifitasnya semata).Bagaimana fokus ini dapat diimplementasikan dalam Lokus birokrasi negara, yang secara ril dikatakan memiliki sistem dan struktur organisasi patronage yang kaku dengan budaya demokrasi masyarakat yang belum tumbuh dengan subur. Ini karena terkait dengan sangat kuatnya dominasi kebijakan politik dalam pengambilan kebijakan strategis dalam sebuah wilayah negara dari sebuah sistem autoritarian birookrasi masa lalu. Tetapi, secara singkat kita dapat katakan bahwa, terdapat satu sudut pandang utama (core) yang dapat dijadikan stressing point dalam tiap paradigma diatas. Perubahan dari 20 tahun terakhir  diatas, dimana tiap paradigma membawa kesadarnnya sendiri, dimana kelahirannya bagi saya, merupakan sesuatu proses yang dengan tendensi ideologis yang kuat. Ini sebagai puncak untuk meredam gerakan sistem pasar yang mengglobal yang menggunakan instrumen ilmu pengetahuan dan kekuatan ekonomi untuk penguasaan dan dipandang banyak menimbulkan kesenjangan. Terciptanya paradigma tersebut akan menjadi alat perlawanan terhadap sistem pasar sebagai satu-satunya sistem terbaik yang secara global telah merusak batas-batas wilayah ideologi negara bangsa menjadi sebatas satu ruang yang sempit dimana seluruh komunitas dapat berinteraksi yang penting memiliki alat untuk itu, yang didukung oleh kemajuan sistem informasi dan tekhnologi yang mengglobal. Kecemasan tersebut, kemudian melahirkan sebuah paradigma baru seperti yang telah digambarkan diatas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar