Kasus Corby
( sebuah Kontaradiksi aliran Sosiologi dengan Positivis)
Oleh : Dadang Sumarna, SH
Mahasiswa Program Pasca Sarjana UMJ
MAGISTER ILMU HUKUM /PIDANA
MAGISTER ILMU HUKUM /PIDANA
A. Latar Belakang
Tidak mudah memahami keputusan
Presiden SBY memotong masa hukuman terpidana kasus narkoba asal Australia,
Schapelle Leigh Corby. Bukan hanya tak mudah, keputusan yang tertuang dalam
Kepres 22/2012 itu juga membingungkan karena tidak tidak disertai kejelasan
alasan dalam hubungan bilateral kedua negara yang bersifat resiprokal atau
timbal balik. “Harusnya didahului
dengan ikatan perjanjian saling
menguntungkan atau untuk pertukaran kepentingan yang tepat antar kedua
belah pihak, sehingga tidak menunjukkan kebingungan maupun kelemahan RI
terhadap grasi tersebut,” Dalam sebuah Sidang Kabinet di tahun 2011
Menkopolhukam Djoko Sujanto menyatakan bahwa Presiden SBY tidak akan mengampuni
para terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali atas pertimbangan
kemanusiaan. Itupun akan diberikan kepada narapidana yang berusia di atas 70
tahun Corby tertangkap basah di Bandara
Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004, Corby kedapatan menyelundupkan 4,2
kilogram narkoba jenis ganja atau mariyuana. Sepanjang penyelidikan dan di
pengadilan, mantan pelajar kecantikan yang ayah kandungnya, Michael Corby,
pernah terseret kasus peredaran ganja pada awal 1970-an itu, tak pernah
mengakui perbuatannya hingga akhirnya dijatukan pidana 20 tahun penjara.
“Karenanya, kasus grasi Corby ini terbilang aneh, sekaligus hanya
mempertontonkan kebingungan RI di hadapan rakyatnya serta di mata negara lain,
yang bersikap keras dalam menghukum kejahatan narkoba,” sikap pemerintahan SBY
yang melempem dalam menangani kasus Corby akan semakin memperparah
ketidakberdayaan RI dalam memberantas kejahatan internasional di bidang
narkotika dan sejenisnya. “Itu karena kita selalu mudah membungkuk pada tekanan
pihak tertentu, yang kemudian membuat sikap politik ataupun penegakan hukum
jadi kacau-balau serta sekadar dijadikan olok-olokan berbagai pihak
Pada
dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah
peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana yang
memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan
menjaga eksistensinya didunia telah diakui.[1]
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus
dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan
ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam
implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi
masyarakat. Ketidaksinkronan antara
hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in
action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang
untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses
hukum yang tidak adil.
Positivisme
atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar dalam
proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan
lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive)
dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara
selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek
keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari
perspektif keadilan hukum.
Keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam
pembentukan dan penerapan hukum di Indonsia. Sebagian besar putusan hakim
pengadilan negeri (Vonis) selalu mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat.
Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah sebagai lembaga
pembentuk dan pelaksana hukum, menyebabkan eksistensi cita hukum keadilan
pancasila dipertanyakan. Dalam pandangan masyarakat, sebagian besar pelaksanaan
hukum selalu dianggap tidak adil, sementara kebanyakan akademisi non-hukum,
menganggap hukum sebagai faktor penghambat proses pembangunan. Sistem hukum
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh berbagai aliran pemikiran filsafat hukum
yang berkembang jauh sebelum kemerdekaan. Dalam filsafat hukum, dikenal
beberapa aliran atau mazhab. Semua aliran hukum tersebut memberikan warna dalam
perkembangan sistem hukum pada negara-negara modern, termasuk Indonesia.
Di satu sisi, hukum mempunyai peranan penting
dalam kehidupan bernegara karena keberadan hukum sebagai perangkat untuk
mencapai tujuan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan Negara yang tertuang
dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain, aspek
keadilan dalam sistem hukum nasional selalu menjadi bahan perdebatan diantara
ahli hukum, politisi, dan masyarakat. Substansi hukum, pelaksanaan dan
penegakan hukum dianggap tidak adil. Faktor ketidakadilan selalu memunculkan
ide tentang arah pembangunan hukum nasional yang progresif demi pencapaian
tujuan pembangunan masyarakat yang damai dan sejahtera.
B. Sistem Hukum Indonesia
Pada dasarnya
pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli sangat beragam, namun yang
dimaksudkan dengan “hukum” dalam tulisan ini adalah kaidah yaitu patokan atau
sikap tindak perilaku, dibuat oleh penguasa yang berwenang, berlaku pada suatu
tempat dan waktu tertentu, serta berbentuk tertulis. Singkatnya mengkaji hukum
dalam perspektif hukum positif, yaitu hukum yang saat ini berlaku di Indonesia.
Hukum merupakan sistem hukum. Hukum sebagai sistem tentunya akan tunduk pada
ciri-ciri sistem. Menurut Satjipto Rahardjo bahwa sistem memiliki dua
pengertian yang penting, meskipun dalam pembicaraan keduanya digunakan dengan
secara tercampur begitu saja. Pengertian yang pertama adalah sistem sebagai jenis
satuan, yang mempunyai tatanan tertentu, tatanan tersebut menunjuk pada suatu
struktur yang tersusun atas bagian-bagian. Pengertian yang kedua adalah sistem
sebagai suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
Mochtar
Kusumaatmadja memandang komponen sistem hukum terdiri atas : (a) asas-asas dan
kaidah-kaidah; (b) Kelembagaan hukum; dan (c) proses-proses terwujudnya
kaidah-kaidah dalam kenyataan. Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang
terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam
aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Tiap aturan hukum bertumpu
pada suatu asas hukum, yakni suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan
penataan masyarakat secara tepat dan adil. Jadi asas adalah kaidah yang paling
umum yang bermuatan nilai etik, yang dapat dirumuskan dalam tata hukum atau
berada di luar tata hukum, serta mewujudkan kaidah penilaian fundamental dalam
suatu sistem hukum.
Hukum
menampilakan diri dalam bentuk kaidah yang disebut kaidah hukum positif
(positive recht), yang dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Kaidah
hukum tertulis disebut undang-undang dalam arti luas, yaitu putusan Pemerintah
yang terbentuk melalui prosedur yang berlaku oleh badan yang memiliki
kewenangan untuk itu, dan dirumuskan dalam bentuk yang sudah ditentukan.
Menurut B.
Arif Sidharta bahwa sistem hukum positif terdiri atas tatanan hukum internal
dan tatanan hukum eksternal. Tatanan hukum internal meliputi asas-asas hukum
umum nasional dan universal. Tatanan hukum eksternal adalah kaidah-kaidah hukum
positif baik tertulis maupun tidak tertulis, misalnya konstitusi, Undang-Undang
dan peraturan lain yang berada di bawahnya, kebiasaan, dan yurisprudensi.
Kelembagaan
hukum adalah institusi yang membentuk dan melaksanakan hukum, sedangkan proses
adalah suatu cara yang dilakukan dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan
hukum. Menurut Jimly Ash-shidiqie bahwa elemen sistem hukum terdiri atas
kegiatan pembentukan hukum (Law Making), kegiatan pelaksanaan atau penerapan
hukum (Law Administrating), dan kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (Law
Adjudicating).
C. Pemikiran mazhab positivisme hukum
Positivisme
merupakan aliran pemikiran filsafat yang bekerja berdasarkan empirisme. Aliran
ini tumbuh subur pada abad 19 di Eropa. Garis besar ajaran positivisme adalah :
(1) hanya ilmu yang bebas nilai dapat memberikan pengetahuan yang sah; (2)
hanya fakta empiris yang dapat menjadi obyek ilmu; (3) metode filsafat tidak
berbeda dengan dengan metode ilmu; (4) tugas filsafat adalah menemukan
asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas tersebut
sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan bagi semua
organisasi sosial; (5) semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan pada pengalaman
(empiris-verifikatif); (6) mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan (7) berupaya
memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik
maupun dunia manusia melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan
hasil-hasil ilmu alam.
Positivisme
menekankan setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran,
hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif dan harus
dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif. Ketika pemikiran
positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum, positivisme hukum melepaskan
pemikiran hukum sebagaimana dianut oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi
setiap norma hukum haruslah eksis secara objektif sebagai norma-norma yang
positif. Hukum tidak dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang
hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai
undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Menurut Austin
bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang secara politik memiliki
kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya ada satu pihak yang menghendaki supaya
pihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, kemudian pihak yang
diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak
dijalankan. Suatu perintah merupakan pembebanan kewajiban kepada pihak yang
lain, dan akan mudah terlaksana apabila yang memberi perintah adalah pihak yang
memegang kedaulatan. Menurut Austin, setiap sistem hukum mengandung 4 unsur,
yaitu : (a) perintah; (b) sanksi; (c) kewajiban; dan (d) kedaulatan.
Seorang
pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut
sebagai berikut:
1. Hukum
adalah perintah
2. Analisis
terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan
penilaian kritis.
3. Keputusan-keputusan
dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu,
tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4. Penghukuman
secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional,
pembuktian atau pengujian
5. Hukum
sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari
hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan[2].
Aliran
Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran
yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi
sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan. Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara
eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana
seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas
legalitas. Dari pernyataan diatas maka
pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat
dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang
mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang
tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam
didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak
bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Ketika
Schapelle Leigh Corby tertangkap tangan membawa ganja, Schapelle Leigh Corby
harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan Schapelle Leigh
Corby menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana
narkotika. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau
buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur
sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.
Menurut
paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif
sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan
kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini
hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak
tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami
positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian
mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus
dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.[3]
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai
negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran
positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib
berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang
melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus
dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Hans Kelsen
dikenal sebagai pencetus “teori hukum murni” (the Pure Theory of Law). Ia
menganggap bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah terkontaminasi
oleh ideologi politik dan moralitas, dan telah mengalami reduksi karena ilmu
pengetahuan. Kelsen menemukan bahwa dua faktor ini telah melemahkan hukum
sehingga ia mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi terhadap hukum.
D. Pengaruh pemikiran positivism-legisme dalam
sistem hukum Indonesia
Pembentukan
hukum \Pembentukan hukum yang
dimaksud disini adalah lahirnya aturan tertulis yang memiliki keabsahan untuk diberlakukan.
Lahirnya hukum yang sah karena adanya keputusan dari suatu badan/lembaga yang
diberi berwenang oleh konstiusi untuk menciptakan hukum. Jika mengartikan hukum
sebagai sistem aturan hukum positif, maka lembaga yang membentuk hukum
(“legislative functie”) Di Indonesia, penerapan prinsip ini melahirkan masalah
karena hukum selalu menjadi kendala dalam pembangunan bahkan hukum itu bersifat
statis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan setiap keadaan yang berubah.
Banyak kalangan mengatakan dengan gamblang bahwa hukum itu bersifat statis dan
kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru karena mengabaikan aspek
lain dalam “pembentukan” hukum.
Menurut
Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen
Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif
(kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law).
Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras
dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat
perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislated,
keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah
justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.[4]
Semua tugas
Pemerintahan harus dijalankan berdasar hukum sebagai konsekwensi dari prinsip
negara hukum (Rule of Law atau Rechtstaat). Jadi Pemerintah (eksekutive)
menjalankan tugas yang didasarkan aturan hukum yang dibuat sendiri, atau oleh
Lembaga Eksekutif lain yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam konteks ini,
masyarakat memandang hukum sebagai proses yang dilakukan oleh Pemerintah dalam
menjalankan tugas Pemerintahan. Mekanisme seperti ini memiliki peluang untuk
menjadikan aturan hukum sebagai alat bagi Pemerintah (eksekutive) bersikap
sewenang-wenang pada masyarakat. Oleh karena kenyataan tersebut, sehingga Jhon
Austin mengatakan bahwa “hukum adalah perintah”.
Struktur hukum
Konsep pemikiran Kelsen yang memandang undang-undang adalah suatu peraturan
yang bersifat umum, sehingga konstruksi logika pemikirannya melahirkan teorihukum
berjenjang (Stufenbau Theorie). Menurut positivisme Kelsen bahwa norma hukum
terdiri dari norma yang bersifat khusus dan norma yang bersifat umum. Eksitensi
norma khusus karena mendapat validitasnya dari norma yang bersifat umum, dan
pembentukan norma umum karena diperintahkan oleh norma yang lebih tinggi
darinya. Eksistensi norma yang lebih tinggi tersebut mendapatkan validitasnya
dari norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya, sehinga sampai pada
norma yang paling tertinggi dari semua norma umum. Norma ini disebut
Groundnorm. Norma khusus untuk
melaksanakan norma umum, sedangkan norma umum dibuat untuk melaksanakan norma
hukum yang lebih tinggi sebagai konstitusi, dan konstitusi mendapatkan validitasnya
dari norma dasar (Grundnorm). Groundnorm adalah sesuatu yang dianggap ada
(dihipotesiskan bahwa dia ada), yang ada diluar sistem hukum. Apabila
diumpamakan dalam sistem hukum Indonesia maka yang disebut dengan “Groundnorm”
adalah Pancasila yang diambil dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri,
dan Pancasila adalah nilai abstrak namun keberadaanya diakui sebagai nilai yang
ada. Keberadaan nilai Pancasila di luar dari sesuatu yang nyata (positif),
sehingga ia dianggap diluar sistem hukum positif namun ia menjadi rujukan dan
semua aturan hukum harus sesuai dengan nilai tersebut.
E. Penegakan hukum
Secara
idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum. Dari
kasus Schapelle Leigh Corby, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah
masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah
lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam
menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga
menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah
sejalan dengan perkembangan masyarakatnya[5].
Model penegkan
hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran positivisme-legisme.
Menurut Kelsen bahwa norma hukum yang sah menjadi “standar penilaian” bagi
setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap individu/kelompok dalam masyarakat
. Standar penilaian dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan
norma hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum seseorang atau
tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus diukur berdasarkan
pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek moral dan keadilan.
F. Keadilan dalam penegakan hukum
Atas dasar
prinsip ini sehingga penegakan hukum pidana di Indonesia selalu dirasakan tidak
adil oleh masyarakat, akibatnya melahirkan konflik baik vertical maupun
horizontal dalam masyarakat. Menurutnya, suatu perbuatan dikatakan “buruk”
(bertentangan dengan norma) apabila semua orang tidak menginginkan perbuatan
tersebut, atau perbuatan itu dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan.
Demikian sebaliknya, suatu perbuatan dikatakan “baik” (sesuai dengan norma)
apabila semua orang menyadari bahwa perbuatan tersebut menyenangkan. Jadi
berdasarkan pemikiran tersebut, maka untuk mengatakan bahwa suatu perbuatan
telah melanggar hukum harus diukur berdasarkan perasaan-hukum yang dimiliki
oleh masyarakat. Perasaan setiap orang dalam mengukur baik dan buruknya suatu
perbuatan menurut Kelsen adalah kenyataan yang sesunggunya terjadi (positif).
Ukuran baik dan buruk atas setiap tindakan individu selalu dituangkan dalam
bentuk hukum tertulis. Di Indonesia sangat berbeda, walaupun ia adalah hukum
tertulis, namun pada kebanyakan undang-undang dan penegakan hukum bertentangan
dengan cara pandangn keadilan yang dirasakan oleh masyarakat.
Menurut
Savigny bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan jiwa masyarakat
(Volkheist). Logika hukum kaum positivisme pada akhirnya sejalan dengan
pemikiran mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl von Savigny, hanya saja kaum
positivism-legisme memandang “kesadaran/perasaan-hukum” masyarakat sebagai
suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi (positif), sedangkan Von Savigni
memandang “kesadaran hukum” sebagai sesuatu yang terbentuk oleh proses sejarah
manusia dalam komunitas masyarakat tertentu.
Penegakan
aturan hukum melalui putusan pengadilan seringkali dinilai tidak adil oleh
masyarakat. Jadi tidak mengherankan jika terdapat banyak putusan pengadilan
mendapat reaksi dari individu atau kelompok masyarakat. Pendek kata bahwa
keadilan menurut hakim selalu tidak sama dengan keadilan yang dirasakan oleh
masyarakat. Kelsen pada prinsipnya melepaskan hukum dari keadilan karena ia
mengangap bahwa keadilan adalah unsur yang dipenuhi oleh subyektivitas individu
atau kelompok. Sebagian kalangan menganggap bahwa hal tersebut menjadi
kekurangan pemikiran positivism-legisme yang tidak menjadikan keadilan sebagai
tujuan hukum.
Kaum
positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas. Suatu perturan hukum
dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada semua kasus. Demikian
sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap tidak adil jika hanya diterapkan
pada suatu kasus tertentu, dan tidak diterapkan pada kasus lain yang sama.
Substansi keadilan hukum dalam pandangan positivism-legisme adalah penerapan
hukum dengan tanpa memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian).
Jadi hukum dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil,
dan keadilan hukum berarti kepastian hukum.
Doktrin positivism-legisme ini masih
diterapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama pada bidang
pidana menyangkut penerapan pasal dan “prosedur” dalam sistem pelaksanaan
hukum. Oleh karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga
banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan
bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum
lingkungan. Wajar jika dikatakan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia
dinyatakan dengan ungkapan “hukum hanya berlaku terhadap mereka yang lemah”.
Kenyataan ini sangat bertentangan dengan prinsip “setiap orang bersamaan
kedudukannya di depan hukum”. Pada
dasarnya prinsip positivisme memiliki kelebihan yaitu adanya kepastian hukum
bahwa hukum itu harus ditegakan sekalipun langit akan runtuh, namun ketika
aturan hukum yang ada sangat bertentangan dengan nilai keadilan yang dirasakan
masyarakat, maka hukum tertulis menjadi sumber konflik. Bukan berarti dengan
serta merta harus dinyatakan bahwa pemikiran aliran positivisme adalah kurang
sesuai dengan kondisi. Penerapan pemikiran positivisme-legisme dalam penegakan
hukum di Indonesia nampaknya tidak memahami “norma hukum” sebagaimana yang
dimaksudkan oleh kaum pemikir aliran ini.
E. Penutup
Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Kasus Schapelle Leigh Corby merupakan gambaran nyata bahwasanya
dunia hukum di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keadilan. Sebagian besar
hukum yang berlaku di Indonesia masih menganut
aliran positivisme. Tujuan dari aliran ini ialah kepastian hukum, hukum
adalah yang terdapat didalam Undang-undang, sedangkan diluar itu bukanlah
hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa melihat unsur-unsur sosiologis, etis maupun
politis. Sehingga Schapelle Leigh Corby yang diisukan akan ditukar dengan
terpidana warga negara indonesia di Australia bukan merupakan sebuah
alasan.Sedangkan di sisi lain, dengan adanya kasus Schapelle Leigh Corby ini,
hukum di Indonesia tidak lagi menggambarkan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hans Kelsen, Toeri Hukum Murni,
Nusamedia, Bandung ,
2008
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya , 2005
Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya
Paramita, Jakarta ,
2009
Sabian
Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta , 2009
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum, Jakarta ,
1999
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika
Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta ,
2002
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV,
Karunika, Jakarta ,
1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar