Jumat, 08 Juni 2012

Grasi Corby



Kasus Corby 
( sebuah Kontaradiksi aliran Sosiologi dengan Positivis)
Oleh : Dadang Sumarna, SH
Mahasiswa Program Pasca Sarjana UMJ
MAGISTER ILMU HUKUM /PIDANA

A. Latar Belakang
          Tidak mudah memahami keputusan Presiden SBY memotong masa hukuman terpidana kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Bukan hanya tak mudah, keputusan yang tertuang dalam Kepres 22/2012 itu juga membingungkan karena tidak tidak disertai kejelasan alasan dalam hubungan bilateral kedua negara yang bersifat resiprokal atau timbal balik. “Harusnya didahului dengan ikatan perjanjian saling  menguntungkan atau untuk pertukaran kepentingan yang tepat antar kedua belah pihak, sehingga tidak menunjukkan kebingungan maupun kelemahan RI terhadap grasi tersebut,” Dalam sebuah Sidang Kabinet di tahun 2011 Menkopolhukam Djoko Sujanto menyatakan bahwa Presiden SBY tidak akan mengampuni para terpidana kasus terorisme, narkoba, dan korupsi, kecuali atas pertimbangan kemanusiaan. Itupun akan diberikan kepada narapidana yang berusia di atas 70 tahun Corby  tertangkap basah di Bandara Ngurah Rai, Bali pada 8 Oktober 2004, Corby kedapatan menyelundupkan 4,2 kilogram narkoba jenis ganja atau mariyuana. Sepanjang penyelidikan dan di pengadilan, mantan pelajar kecantikan yang ayah kandungnya, Michael Corby, pernah terseret kasus peredaran ganja pada awal 1970-an itu, tak pernah mengakui perbuatannya hingga akhirnya dijatukan pidana 20 tahun penjara. “Karenanya, kasus grasi Corby ini terbilang aneh, sekaligus hanya mempertontonkan kebingungan RI di hadapan rakyatnya serta di mata negara lain, yang bersikap keras dalam menghukum kejahatan narkoba,” sikap pemerintahan SBY yang melempem dalam menangani kasus Corby akan semakin memperparah ketidakberdayaan RI dalam memberantas kejahatan internasional di bidang narkotika dan sejenisnya. “Itu karena kita selalu mudah membungkuk pada tekanan pihak tertentu, yang kemudian membuat sikap politik ataupun penegakan hukum jadi kacau-balau serta sekadar dijadikan olok-olokan berbagai pihak
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum. Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui.[1]
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat.  Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
          Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum. 
          Keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam pembentukan dan penerapan hukum di Indonsia. Sebagian besar putusan hakim pengadilan negeri (Vonis) selalu mendapat reaksi perlawanan dari masyarakat. Rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah sebagai lembaga pembentuk dan pelaksana hukum, menyebabkan eksistensi cita hukum keadilan pancasila dipertanyakan. Dalam pandangan masyarakat, sebagian besar pelaksanaan hukum selalu dianggap tidak adil, sementara kebanyakan akademisi non-hukum, menganggap hukum sebagai faktor penghambat proses pembangunan. Sistem hukum Indonesia tidak terlepas dari pengaruh berbagai aliran pemikiran filsafat hukum yang berkembang jauh sebelum kemerdekaan. Dalam filsafat hukum, dikenal beberapa aliran atau mazhab. Semua aliran hukum tersebut memberikan warna dalam perkembangan sistem hukum pada negara-negara modern, termasuk Indonesia. 
          Di satu sisi, hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara karena keberadan hukum sebagai perangkat untuk mencapai tujuan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan Negara yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain, aspek keadilan dalam sistem hukum nasional selalu menjadi bahan perdebatan diantara ahli hukum, politisi, dan masyarakat. Substansi hukum, pelaksanaan dan penegakan hukum dianggap tidak adil. Faktor ketidakadilan selalu memunculkan ide tentang arah pembangunan hukum nasional yang progresif demi pencapaian tujuan pembangunan masyarakat yang damai dan sejahtera. 
B. Sistem Hukum Indonesia 
          Pada dasarnya pengertian hukum yang dikemukakan oleh para ahli sangat beragam, namun yang dimaksudkan dengan “hukum” dalam tulisan ini adalah kaidah yaitu patokan atau sikap tindak perilaku, dibuat oleh penguasa yang berwenang, berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu, serta berbentuk tertulis. Singkatnya mengkaji hukum dalam perspektif hukum positif, yaitu hukum yang saat ini berlaku di Indonesia. Hukum merupakan sistem hukum. Hukum sebagai sistem tentunya akan tunduk pada ciri-ciri sistem. Menurut Satjipto Rahardjo bahwa sistem memiliki dua pengertian yang penting, meskipun dalam pembicaraan keduanya digunakan dengan secara tercampur begitu saja. Pengertian yang pertama adalah sistem sebagai jenis satuan, yang mempunyai tatanan tertentu, tatanan tersebut menunjuk pada suatu struktur yang tersusun atas bagian-bagian. Pengertian yang kedua adalah sistem sebagai suatu rencana, metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.
          Mochtar Kusumaatmadja memandang komponen sistem hukum terdiri atas : (a) asas-asas dan kaidah-kaidah; (b) Kelembagaan hukum; dan (c) proses-proses terwujudnya kaidah-kaidah dalam kenyataan. Asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Tiap aturan hukum bertumpu pada suatu asas hukum, yakni suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat secara tepat dan adil. Jadi asas adalah kaidah yang paling umum yang bermuatan nilai etik, yang dapat dirumuskan dalam tata hukum atau berada di luar tata hukum, serta mewujudkan kaidah penilaian fundamental dalam suatu sistem hukum. 
          Hukum menampilakan diri dalam bentuk kaidah yang disebut kaidah hukum positif (positive recht), yang dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis disebut undang-undang dalam arti luas, yaitu putusan Pemerintah yang terbentuk melalui prosedur yang berlaku oleh badan yang memiliki kewenangan untuk itu, dan dirumuskan dalam bentuk yang sudah ditentukan. 
          Menurut B. Arif Sidharta bahwa sistem hukum positif terdiri atas tatanan hukum internal dan tatanan hukum eksternal. Tatanan hukum internal meliputi asas-asas hukum umum nasional dan universal. Tatanan hukum eksternal adalah kaidah-kaidah hukum positif baik tertulis maupun tidak tertulis, misalnya konstitusi, Undang-Undang dan peraturan lain yang berada di bawahnya, kebiasaan, dan yurisprudensi. 
          Kelembagaan hukum adalah institusi yang membentuk dan melaksanakan hukum, sedangkan proses adalah suatu cara yang dilakukan dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan hukum. Menurut Jimly Ash-shidiqie bahwa elemen sistem hukum terdiri atas kegiatan pembentukan hukum (Law Making), kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (Law Administrating), dan kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (Law Adjudicating).
C. Pemikiran mazhab positivisme hukum
          Positivisme merupakan aliran pemikiran filsafat yang bekerja berdasarkan empirisme. Aliran ini tumbuh subur pada abad 19 di Eropa. Garis besar ajaran positivisme adalah : (1) hanya ilmu yang bebas nilai dapat memberikan pengetahuan yang sah; (2) hanya fakta empiris yang dapat menjadi obyek ilmu; (3) metode filsafat tidak berbeda dengan dengan metode ilmu; (4) tugas filsafat adalah menemukan asas-asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas tersebut sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan bagi semua organisasi sosial; (5) semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan pada pengalaman (empiris-verifikatif); (6) mengacu pada ilmu-ilmu alam, dan (7) berupaya memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui aplikasi metode-metode dan perluasan jangkauan hasil-hasil ilmu alam. 
          Positivisme menekankan setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran, hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif dan harus dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif. Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum, positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah eksis secara objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
          Menurut Austin bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang secara politik memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Artinya ada satu pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, kemudian pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak dijalankan. Suatu perintah merupakan pembebanan kewajiban kepada pihak yang lain, dan akan mudah terlaksana apabila yang memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan. Menurut Austin, setiap sistem hukum mengandung 4 unsur, yaitu : (a) perintah; (b) sanksi; (c) kewajiban; dan (d) kedaulatan. 
Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:
1.      Hukum adalah perintah
2.      Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, histories dan penilaian kritis.
3.      Keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.
4.      Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian
5.      Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan[2].
Aliran Positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tidak ada hukum di luar undang-undang, undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.  Hukum Pidana di Indonesia masih  menganut aliran Positivisme, hal ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas.  Dari pernyataan diatas maka pada pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menentukan bahwa, dapat dipidana atau tidaknya suatu perbuatan tergantung pada undang-undang yang mengaturnya. Jadi perbuatan pidana yang dapat dipertanggung jawabkan ialah yang tertuang didalam hukum positif, selama perbuatan pidana tidak diatur didalam didalam hukum positif, maka perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana dan tidak bisa diminta pertanggung jawaban hukumnya menurut hukum pidana.
Ketika Schapelle Leigh Corby tertangkap tangan membawa ganja, Schapelle Leigh Corby harus berurusan dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan Schapelle Leigh Corby menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana narkotika. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum  harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum.
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.[3]
          Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
          Hans Kelsen dikenal sebagai pencetus “teori hukum murni” (the Pure Theory of Law). Ia menganggap bahwa filosofi hukum yang ada pada waktu itu telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan. Kelsen menemukan bahwa dua faktor ini telah melemahkan hukum sehingga ia mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi terhadap hukum.
D. Pengaruh pemikiran positivism-legisme dalam sistem hukum Indonesia 

          Pembentukan hukum \Pembentukan hukum yang dimaksud disini adalah lahirnya aturan tertulis yang memiliki keabsahan untuk diberlakukan. Lahirnya hukum yang sah karena adanya keputusan dari suatu badan/lembaga yang diberi berwenang oleh konstiusi untuk menciptakan hukum. Jika mengartikan hukum sebagai sistem aturan hukum positif, maka lembaga yang membentuk hukum (“legislative functie”) Di Indonesia, penerapan prinsip ini melahirkan masalah karena hukum selalu menjadi kendala dalam pembangunan bahkan hukum itu bersifat statis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan setiap keadaan yang berubah. Banyak kalangan mengatakan dengan gamblang bahwa hukum itu bersifat statis dan kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru karena mengabaikan aspek lain dalam “pembentukan” hukum.

Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah masyarakat (living law). Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum, tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.[4]
          Semua tugas Pemerintahan harus dijalankan berdasar hukum sebagai konsekwensi dari prinsip negara hukum (Rule of Law atau Rechtstaat). Jadi Pemerintah (eksekutive) menjalankan tugas yang didasarkan aturan hukum yang dibuat sendiri, atau oleh Lembaga Eksekutif lain yang kedudukannya lebih tinggi. Dalam konteks ini, masyarakat memandang hukum sebagai proses yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menjalankan tugas Pemerintahan. Mekanisme seperti ini memiliki peluang untuk menjadikan aturan hukum sebagai alat bagi Pemerintah (eksekutive) bersikap sewenang-wenang pada masyarakat. Oleh karena kenyataan tersebut, sehingga Jhon Austin mengatakan bahwa “hukum adalah perintah”. 
          Struktur hukum Konsep pemikiran Kelsen yang memandang undang-undang adalah suatu peraturan yang bersifat umum, sehingga konstruksi logika pemikirannya melahirkan teorihukum berjenjang (Stufenbau Theorie). Menurut positivisme Kelsen bahwa norma hukum terdiri dari norma yang bersifat khusus dan norma yang bersifat umum. Eksitensi norma khusus karena mendapat validitasnya dari norma yang bersifat umum, dan pembentukan norma umum karena diperintahkan oleh norma yang lebih tinggi darinya. Eksistensi norma yang lebih tinggi tersebut mendapatkan validitasnya dari norma yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya, sehinga sampai pada norma yang paling tertinggi dari semua norma umum. Norma ini disebut Groundnorm. Norma khusus untuk melaksanakan norma umum, sedangkan norma umum dibuat untuk melaksanakan norma hukum yang lebih tinggi sebagai konstitusi, dan konstitusi mendapatkan validitasnya dari norma dasar (Grundnorm). Groundnorm adalah sesuatu yang dianggap ada (dihipotesiskan bahwa dia ada), yang ada diluar sistem hukum. Apabila diumpamakan dalam sistem hukum Indonesia maka yang disebut dengan “Groundnorm” adalah Pancasila yang diambil dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri, dan Pancasila adalah nilai abstrak namun keberadaanya diakui sebagai nilai yang ada. Keberadaan nilai Pancasila di luar dari sesuatu yang nyata (positif), sehingga ia dianggap diluar sistem hukum positif namun ia menjadi rujukan dan semua aturan hukum harus sesuai dengan nilai tersebut. 
E. Penegakan hukum 
Secara idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan hukum. Dari kasus Schapelle Leigh Corby, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan ditengah masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat. Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat, tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya[5].
          Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh pemikiran positivisme-legisme. Menurut Kelsen bahwa norma hukum yang sah menjadi “standar penilaian” bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap individu/kelompok dalam masyarakat . Standar penilaian dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan aspek moral dan keadilan.
F. Keadilan dalam penegakan hukum
          Atas dasar prinsip ini sehingga penegakan hukum pidana di Indonesia selalu dirasakan tidak adil oleh masyarakat, akibatnya melahirkan konflik baik vertical maupun horizontal dalam masyarakat. Menurutnya, suatu perbuatan dikatakan “buruk” (bertentangan dengan norma) apabila semua orang tidak menginginkan perbuatan tersebut, atau perbuatan itu dirasakan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Demikian sebaliknya, suatu perbuatan dikatakan “baik” (sesuai dengan norma) apabila semua orang menyadari bahwa perbuatan tersebut menyenangkan. Jadi berdasarkan pemikiran tersebut, maka untuk mengatakan bahwa suatu perbuatan telah melanggar hukum harus diukur berdasarkan perasaan-hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Perasaan setiap orang dalam mengukur baik dan buruknya suatu perbuatan menurut Kelsen adalah kenyataan yang sesunggunya terjadi (positif). Ukuran baik dan buruk atas setiap tindakan individu selalu dituangkan dalam bentuk hukum tertulis. Di Indonesia sangat berbeda, walaupun ia adalah hukum tertulis, namun pada kebanyakan undang-undang dan penegakan hukum bertentangan dengan cara pandangn keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. 
          Menurut Savigny bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan jiwa masyarakat (Volkheist). Logika hukum kaum positivisme pada akhirnya sejalan dengan pemikiran mazhab sejarah yang dipelopori oleh Carl von Savigny, hanya saja kaum positivism-legisme memandang “kesadaran/perasaan-hukum” masyarakat sebagai suatu kenyataan yang sungguh-sungguh terjadi (positif), sedangkan Von Savigni memandang “kesadaran hukum” sebagai sesuatu yang terbentuk oleh proses sejarah manusia dalam komunitas masyarakat tertentu. 
          Penegakan aturan hukum melalui putusan pengadilan seringkali dinilai tidak adil oleh masyarakat. Jadi tidak mengherankan jika terdapat banyak putusan pengadilan mendapat reaksi dari individu atau kelompok masyarakat. Pendek kata bahwa keadilan menurut hakim selalu tidak sama dengan keadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Kelsen pada prinsipnya melepaskan hukum dari keadilan karena ia mengangap bahwa keadilan adalah unsur yang dipenuhi oleh subyektivitas individu atau kelompok. Sebagian kalangan menganggap bahwa hal tersebut menjadi kekurangan pemikiran positivism-legisme yang tidak menjadikan keadilan sebagai tujuan hukum. 
          Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas. Suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam pandangan positivism-legisme adalah penerapan hukum dengan tanpa memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil, dan keadilan hukum berarti kepastian hukum.
          Doktrin positivism-legisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut penerapan pasal dan “prosedur” dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika dikatakan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan ungkapan “hukum hanya berlaku terhadap mereka yang lemah”. Kenyataan ini sangat bertentangan dengan prinsip “setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum”.  Pada dasarnya prinsip positivisme memiliki kelebihan yaitu adanya kepastian hukum bahwa hukum itu harus ditegakan sekalipun langit akan runtuh, namun ketika aturan hukum yang ada sangat bertentangan dengan nilai keadilan yang dirasakan masyarakat, maka hukum tertulis menjadi sumber konflik. Bukan berarti dengan serta merta harus dinyatakan bahwa pemikiran aliran positivisme adalah kurang sesuai dengan kondisi. Penerapan pemikiran positivisme-legisme dalam penegakan hukum di Indonesia nampaknya tidak memahami “norma hukum” sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum pemikir aliran ini. 
E. Penutup
          Hukum dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kasus Schapelle Leigh Corby merupakan gambaran nyata bahwasanya dunia hukum di Indonesia masih jauh dari nilai-nilai keadilan. Sebagian besar hukum yang berlaku di Indonesia masih menganut  aliran positivisme. Tujuan dari aliran ini ialah kepastian hukum, hukum adalah yang terdapat didalam Undang-undang, sedangkan diluar itu bukanlah hukum. Hukum harus ditegakkan tanpa melihat unsur-unsur sosiologis, etis maupun politis. Sehingga Schapelle Leigh Corby yang diisukan akan ditukar dengan terpidana warga negara indonesia di Australia bukan merupakan sebuah alasan.Sedangkan di sisi lain, dengan adanya kasus Schapelle Leigh Corby ini, hukum di Indonesia tidak lagi menggambarkan nilai-nilai keadilan ditengah-tengah masyarakat.













DAFTAR PUSTAKA
Hans Kelsen, Toeri Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,  Bayumedia, Surabaya, 2005
Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009

Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009

Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999

Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, 2002

Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985

                   [1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar