Sabtu, 05 Maret 2011

fidusia

HUKUM JAMINAN FIDUSIA

Salah satu masalah hukum yang masih belum tuntas penanganannya dan meminta perhatian sampai sekarang adalah bidang hokum jaminan. Hukum jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda dan perbankan. Di bidang perbankan kaitan ini terletak pada fungsi perbankan yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Selain itu, bagi pembangunan ekonomi Negara, kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan bidang ekonomi. Ini berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan sebagainya. Perkreditan juga memberikan perlindungan kepada golongan ekonomi lemah dalam pengembangan usahanya. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil uang (kredit atau pinjaman) sudah merupakan faktor yang tidak papat di pisahkan dari kehidupan bisnis. Memang sangat sulit untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit bank, sebagaimana dikatakan O.K Brahan “Ons huidige economische leven is niet meer denkbaar zonder kredietverlenting”. Bagi perbankkan, setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu, perlu unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasian (suitability) dan keuntungan (profitability). Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankkan dilakukan dengan pengikatan jaminan.
Secara garis besar, dikenal dua macam bentuk jaminan yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan yang paling di sukai bank adalah jaminan kebendaan. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah Jaminan Fidusia. Sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak di pergunakan oleh masyarakat bisnis. Dahulu eksistensi fidusia didasarka kepada yurisprudensi. Sekarang jaminan fidusia sudah di atur dalam undang-undang tersendiri. Dalam perjalanannya sebagai lembaga jaminan yang dibutuhkan masyarakat, fidusia dapat menimbulkan persoalan hukum. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai lembaga jaminan fidusia menjamin semakin penting. Setidak-tidaknya karena beberapa hal, antara lain ketakjelasan konsep mengenai objek fidusia,masih kaburnya krakter fidusia, belum singkronnya prinsip-prinsip perundang-undangan yang mengatur lembaga jaminan, kesimpang siuran hak kreditur manakala nasabah debitur wanprestasi, kewenangan pemberi fidusia dan perlindungan hukum bagi pihak ketiga , dan jika terjadi likuidasi bank atau kepailitan nasabah debitur.
Ketakjelasan konsep mengenai objek fidusia dapat dilihat dari sejak lahirnya fidusia, sampai di aturnya jaminan fidusia dalam undang-undang. Pada awalnya, lembaga fidusia yang dikenal dalam hukum Romawi dengan nama fidusia cum creditore. Dalam perjanjian fidusia cum creditore, barang-barang debitur diserahkan dalam pemilikan kreditur. Barang-barang yang menjadi objek fidusia cum creditore pada saat itu dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak. Walaupun barang-barang tersebut diserahkan kepada kreditur oleh debitur, kreditur tidak dapat berbuat bebas. Maksud peralihan milik barang adalah untuk memberikan jaminan kepada kreditur atas ketaatan debitur. Apabila debitur telah memenuhi kewajibannya, kreditur menyerahkan kembali barang-barang jaminan kepada debitur. Mahadi mengatakan, menurut hukum romawi, dengan fidusia dimaksudkan peristiwa seorang debitur menyerahkan suatu benda kepada krediturnya dengan mengadakan jual beli pura-pura, dengan maksud menerima benda itu kembali dari kreditur tersebut setelah hutang dibayar, jadi sebangsa gadai.
Ketakjelasana objek fidusia selalu menjadi persoalan baik dikalangan yurisprudensi, dokrin maupun praktik perbankan. Pada putusan Hooge Raad (HR) dalam perkara AW de Haan v. Heineken Bierbrouwerij Maatschappij tanggal 25 Januari 1929 dikenal dengan Bierbrouwerij Arrest.
Secara singkat kasus tersebut, adalah pabrik bir Heineken membeli barang-barang inventaris kepunyaan restoran Societeit Harmoni bernama Bos. Pemilik restoran jatuh pailit. Kurator kepailitan (AW de Haan) menolak menyerahkan barang inventaris kepada Heineken. Selanjutnya, Heineken menuntut AW de Haan dengan meletakan sita revindikasi atas barang inventaris restoran.
Pengadilan Leeuwarden menganggap perjanjian fidusia itu sebagai perjanjian semu (schijnovereenkomst) dengan tujuan untuk menyelubungi perjanjian gadai yang sebenarnya. Perjanjian ini bertentangan dengan pasal 1198 ayat (2) BW Belanda, sehingga tidak diperbolehkan. Sebaliknya, dalam tingkat banding, pengadilan banding (Gerechtshof) beranggapan bahwa dalam perjanjian tersebut tidak terdapat perjanjian semu. Dengan demikian, AW de Haan diperintahkan untuk menyerahkan barang inventaris kepada Heineken. Selanjutnya, AW de Haan mengajukan kasasi. Dalam tingkat kasasi, HR memutuskan bahwa menyetujui pendapat Gerechtshof , dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, bahwa lingkup dari perjanjian yang diadakan para pihak berisikan inventaris Bos akan menjadi jaminan hutang dan alasan itu telah ditetapkan sehingga alasan itu bukan tidak diperbolehkan. Kedua, perjanjian itu tidak bertentangan dengan aturan gadai sebab para pihak tidak memikat perjanjian gadai. Ketiga, perjanjian ini tidak bertentangan dengan asas kesamaan para kreditur (paritas creditorium), karena perjanjian itu mengenai barang milik Heineken dan bukan milik Bos. Keempat, dalam perjanjian ini tidak terdapat pertentanga dengan kesusilaan.
Dari peristiwa diatas, fidusia diakui sebagai lembaga jaminan dengan objek benda bergerak berupa inventaris perusahaan. Putusan HR tersebut merupakan awal bagi perkembangan hukum fidusia di Belanda. Jadi, lembaga fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari hasil penemuan hukum oleh hakim, sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai (pand) dalam KUH Perdata. Oleh karena itu, berbeda pengertiannya dengan fidusia cum creditore dalam masyarakat Romawi. Selanjutnya, menyusul putusan HR dalam kasus Hakkerrs van Tilburg Arrest tanggal 21 Juni 1929, N.J. 1929, p. 1096 yang menetapka fidusia atas mobil. Secara singkat kasus tersebut adalah Hakkers, seorang pengusaha penyewaan mobil mewah (Luxe-autoverhuurondernemer) di Denhaag meminjam uang kepada seorang pelepas uang (degeldschieter). Sebagai jaminan diserahkan mobil secara fidusia. Hakkers melalaikan kewajibannya dan pihak pelepas uang menuntut penyerahan mobil tersebut sebagai pemiliknya. Hakker menolak dengan alasan kebatalan pengalihan karena ini merupakan pengadaian tersembunyi (nietigheid van de overdracht omdat deze een verkapte verpanding zou zijn). HR memberikan putusan dengan petimbangan sebagai berikut : Pertama, bahwa ketentuan dalam Bab Kesembilan belas Buku II BW Belanda memang mengatur mengenai perjanjian gadai, tetapi lingkupnya tidaklah menghalangi para pihak untuk, jika mereka menganggap suatu perjanjian gadai tidak cocok bagi hubungan diantara mereka, kemudian membuat suatu perjanjian lain dimana debitur berdasarkan perjanjian itu, sebagai jaminan bagi pembayaran hutang, harus mengalihkan barang bergerak milikinya dengan janji bahwa barang itu tetap berada pada debitur. Kedua, bahwa karena itu perjanjian semacam ini yang telah dibuat para pihak tidak bertentangan secara langsung dengan ketentuan dalam bab tersebut diatas dan juga tidak merupakan penyelundupan terhadap ketentuan tersebut. Ketiga, bahwa karena itu tidak dapat dimengerti, mengapa suatu perjanjian seperti itu tidak memberikan alas hak yang sah bagi pengalih milik (waarom uit anderen hoofde een overeenkomst als voormeld niet zou opleveren een rechtsgeldige title van eigendomsovergang).
Dalam putusan diatas terlihat bahwa objek fidusia masih merupakan benda bergerak (mobil). Dengan putusan-putusan HR tersebut, menurut O.K. Brahn, de kredietverlening met zekerheidstelling door middle van fiduciaire eigendom ging een enorme vlucht nemen. Berdasarkan pendapat ini, terlihat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia mengalami perkembangan yang luar biasa cepat. Hanya saja objeknya masih berkisar pada benda bergerak.
Di Indonesia, peristiwa jaminan fidusia untuk pertama kali diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) v. Pedro Clignett tanggal 18 Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah benda bergerak (mobil). Mernurut Mahadi, alasan pertimbangan yang dipakai MA adalah sama dengan pertimbangan HR di negeri Belanda tahun 1929. Setahun kemudian, Hooggerechtschof dengan arrestnya tanggal 16 Februari 1933 menetapkan bahwa hak grant (grantrecht) dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
Menurut Boedi Harsono, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), hak grant dapat difidusiakan. Pada putusan MA dalam perkara Bank Indonesia Cabang Semarang v. Lo Ding Siang, No. 372/SIP/1970 tanggal 1 September 1971 ditetapkan bahwa perjanjian pemindahan hak milik mutlak sebagai jaminan adalah batal sepanjang mengenai satu percetakan termasuk kekayaan, antara lain mesin cetak dan satu gedung perkantoran termasuk inventaris. Dalam putusan tersebut, MA hanya mengesahkan fidusia atas barang-barang bergerak saja, sedangkan barang-barang lainnya yang tidak dapat digolongkan pada barang-barang bergerak tidak disahkan. Namun, perlu dicatat bahwa MA telah mengakui secara implisit adanya perbedaan antara barang bergerak dan barang tidak bergerak. Dalam putusan MA tersebut tidak terlihat alasan-alasan yang menjadi pertimbangan dalam menentukan sifat-sifat yuridis dari benda yang difidusiakan. Hanya MA menyebutkan jenis barang yang tidak dapat difidusiakan. Dari putusan ini muncul persoalan yuridis terhadap objek fidusia yaitu apakah fidusia hanya dapat dibebankan terhadap barang bergerak. Persoalan yuridis tersebut akan lebih menarik lagi jika dihubungkan dengan suasana berlakunya UUPA yang didasarkan kepada hukum adat. Permasalahannya adalah apakah setelah berlakunya UUPA, masih dikenal pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak? Mengapa mesin cetak atau inventaris dari gedung perkantoran yang menjadi objek fidusia dibatalkan oleh MA? Apakah jalan pikiran MA msasih berpegang pada KUH Perdata dengan menganggap barang-barang tersebut merupakan barang tidak bergerak. Suati interpretasi yang dapat diberikan adalah mesin cetak atau inventaris gedung adalah benda bergerak, tetapi karena memiliki hubungan yang erat dengan benda tidak bergerak sehingga memperoleh karakter benda tidak bergerak yaitu sebagai benda tambahan (bijzaak) atau benda penolong (hulpzaak).
Yurisprudensi selanjutnya adalah putusan MA dalam perkara Bank Negara Indonesia 1946 v. Fa Megaria, No 1500 K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 yang menjadi objek fidusia adalah benda bergerak yaitu besi beton dan semen. Dalam perkembangannya, pendapat MA dalam perkara Bank Negara Indonesia 1946 v. PT. Sriwidjaya Raya Lines, Koromath, dan JTN Sipahutar, No.3216/K/Perd/1984 tanggal 28 Juli 1986 menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di atasnya yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan.
Bedasarkan putusan-putusan MA tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa objek fidusia adalah benda bergerak dan benda tidak begerak. Benda tidak bergerak yang menjadi objek fidusia adalah tanah hak grant dan tanah belum bersertifikat. Selain itu, MA telah melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) bagi lahirnya fidusia di Indonesia dalam rangka pembinaan hukum jaminan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari putusan MA itu menimbulkan problem hukum dikalangan para ahli hukum.
Dalam bidang perundang-undangan, ketakjelasan objek fidusia dapat dilihat setelah berlakunya UUPA. Menurut UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan hak tanggungan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Bagaiman dengan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak pakia dan hak sewa. Kedua jenis hak ini memiliki nilai ekonomis untuk dijadikan jaminan hutang. Dalam Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor DIB 3/73/3/73 tanggal 26 Maret 1973 dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dibebankan dengan hipotik (sekarang hak tanggungan). Sebagai jalan keluarnya dipergunakan lembaga fidusia. Demikian juga fidusia dapat dibebankan atas bangunan di atas tanah hak sewa. Dalam praktik, bank selalu memberikan kredit terhadap hak sewa atas kios-kios dari suatu plaza dengan bentuk bangunan fidusia. R.D. Kollewijn yang disitir oleh Sudargo Gautama mengatakan bahwa bangunan/ rumah yang berdiri di atas tanah orang lain dapat diikat dengan fidusia.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 (UURS), objek fidusia adalah rumah susun atau satuan rumah susun yang didirikan di atas tanah hak pakai atau tanah Negara. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 (UUPP). Objek fidusia adalah rumah tidak ditentukan apakah rumah itu didirikan diatas suatu jenis hak atas tanah tertentu. Berbeda halnya dengan UURS yang menegaskan objek jaminan fidusia dengan melihat hak atas tanah, dalam UUPP yang diutamakan sebagai jaminan hutang adalah rumah terlepas dari hak atas tanah. Sejak keluarnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT), ketentuan fidusia dalam UURS dicabut dan diganti dengan lembaga hak tanggungan, sedangkan fidusia dalam UUPP tidak dicabut berarti masih berlaku. Demikian pula terhadap tanah belum bersertifikat dan hak pakai yang sebelum berlakunya UUHT menjadi persoalan, sekarang telah dituntaskan melalui hak tanggungan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana dengan putusan MA No. 3216 K/SIP/1984 yang menetapkan tanah belum bersertifikat sebagai objek fidusia. Di sini terjadi kontradiksi antara putusan MA dengan UUHT. Manakah yang harus dijadikan pedoman? Tentunya persoalan ini cukup menarik dan menghendaki pemecahannya melalui teori hukum.
Sekarang jaminan fidusia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 (UUJF), tetapi ketakjelasan objek fidusia tersebut tetap saja dipersoalkan. Dalam UUJF, tidak dinyatakan secara tegas benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan pembebanan fidusia. Hanya saja ditentukan ruang lingkup berlakunya UUJF. Namun, berdasarkan pasal 1 angka 2 UUJF, dapat disimpulkan bahwa objek jaminan fidusia menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak yang dimaksudkan adalah bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak dan tanggungan yaitu bangunan diatas tanah milik orang lain. Dalam Seminar Sosialisasi UUJF, salah satu penyaji makalah dari hakim agung masih mempertanyakan apakah bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan merupakan benda tidak bergerak. Selanjutnya, hakim agung tersebut menunjuk pada putusan MA No. 372 K/SIP/1970 tanggal 1 September 1971, yang amar putusan antara lain untuk menyerahkan gedung kantor kepada penggugat asal (Lo Ding Siang). Pendapat lain mengatakan objek fidusia terlalu luas. Ada pula yang menginginkan bahwa objek fidusia adalah barang bergerak yang tidak terdaftar.
Apabila diperhatikan putusan-putusan pengadilan dan perundang-undangan tersebut diatas, belum terdapat kejelasan dan kepastian mengenai objek fidusia. Persoalan ini terletak kepada kelemahan pengaturan hukum jaminan yang bersifat parsial. Menurut Mariam Darus, pembaharuan hukum jaminan secara parsial mengandung bahaya. Kadar bahaya tersebut terdapat pada sebagian hukum jaminan seperti UUHT dan UUJF, yang tidak berada dalam satu sistem. Selanjutnya, dikatakan bahwa penerapan yang saling tidak terkait akan membuat sistem tersebut menjadi rumit, sulit dimengerti dan akhirnya ditinggalkan orang. Persoalan ketakjelasan objek fidusia dilihat dari segi sistem, disebabkan oleh belum terbentuknya sistem hukum benda nasional sebagai induk dari hukum jaminan. Akibatnya, tidak terdapat kesinkronan atas hukum yang mengatur jaminan fidusia. Permasalahannya, kepada sistem hukum yang mana jaminan fidusia harus tunduk. Apakah kepada sistem hukum benda menurut KUH Perdata atau hukum adat atau ramuan antara keduanya dengan tidak melupakan pengaruh sistem anglo sakson. Hal ini semakin penting jika dikaitkan dengan asas pemisahan horisontal dan asas assensi vertikal. Mahadi mengemukakan bahwa hukum adat adalah salah satu komponen dalam penyusunan hukum perdata nasional. Hukum benda adalah sub sistem dari sistem hukum perdata nasional. Oleh karena itu, penyusunan hukum benda harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat. Pentingnya persoalan benda dalam istilah teknis yuridis karena berkaitan dengan penjelasan Pasal 3 dan Pasal 1 angka 4 UUJF.
Suatu sistem hukum jaminan yang baik adalah hukum jaminan yang mengatur asas-asas dan norma-norma hukum yang tidak tumpang tindih (overlapping) satu sama lain. Asas hukum dalam jaminan fidusia harus berjalan secara harmonis dengan asas hukum di bidang hukum jaminan kebendaan lainnya. Ketaksinkronan pengaturan asas hukum dalam jaminan fidusia dengan jamianan kebendaan lainnya akan menyulitkan penegakan hukum jaminan fiduasi tersebut.
Jaminan fiduasi tidak dapat dilepaskan dengan masalah perkreditan. Sebagai jaminan kebendaan, dalam praktik perbankan, fidusia sangat digemari dan popular karena dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini diakui oleh para penulis, antara lain Sri Soedewi Masjchun Sofwan tahun 1974, R. Subekti tahun 1977, dan Erman Rajagukguk tahun 1993.
Berdasarkan hasil laporan penelitian fidusia tahun 1989 diperoleh gambaran bahwa dari 19 bank (8 bank pemerintah dan 11 bank swasta di Medan) yang menjadi responden, keseluruhannya pernah menggunakan fidusia atas benda bergerak. Dilihat dari segi yang menerima kredit (perusahaan, debitur), hasil penelitian dengan 33 responden perusahaan menunjukan bahwa yang meminjam kredit bank dengan menyerahkan benda secara fidusia berjumlah 32,25%. Kenyataan baik secara teoretis maupun empiris bahwa fidusia memiliki arti penting dalam hal menampung keinginan masyarakat akan kebutuhan kredit. Para pemakai fidusia khususnya perusahaan kecil dan menengah seperti pertokoan, pengecer, pengrajin, rumah makan, usaha pertanian, dan sebagainya sangat membantu usaha debitur dan tidak memberatkan. Oleh karena itu, kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda. Di satu sisi, pihak penerima kredit masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usahanya sehari-hari. Di sisi lain, pihak perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia. Bank tidak perlu menyediakan tempat khusus untuk penyimpanan barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand). Dalam perjanjian gadai, barang jaminan harus diserahkan kepada pihak bank, sesuai dengan Pasal 1150 jo 1152 ayat (2) KUH Perdata. Adanya syarat gadai yang demikian cukup memberatkan debitur karena barang jaminan tidak dapat lagi di pergunakan untuk menunjang usaha debitur. Demikian pula bagi bank menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan khususnya bank-bank yang tidak memiliki gudang yang cukup luas. Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum jaminan melalui putusan pengadilan. Lahirnya fidusia adalah karena hakim atas desakan kebutuhan masyarakat melakukan suatu rechtsvinding yaitu menemukan hukum baru. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa hukum fidusia sebagai hukum hakim.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP), Pasal 8 dan penjelasannya dikatakan bahwa pemberian kredit selalu mengandung risiko. Salah satu cara mengatasi risiko adalah. Salah satu cara mengatasi risiko adalah menetapkan jaminan (collateral) dalam analisis pemberian kredit. Sehubungan dengan hal ini Nicholas A. Lash mengatakan bahwa :
“in order to control loan risk, banks often require collateral.
Selanjutnya dikatakan bahwa :
“when entering into a secured transaction, the bank takes a security in assets to secure the obligation to repay the loan”.
Jaminan yang diminta bank dapat berupa jamian pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit tersebut, sedangkan jaminan tambahan adalah harta kekayaan nasabah debitur. Harta kekayaan dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, seperti bangunan/ rumah, mobil stok barang dagangan, inventaris perusahaan, mesin-mesin di pabrik, dan sebagainya. Salah satu pengikat jaminan atas harta kekayaan ini adalah jaminan fidusia. Dalam pemberian kredit dengan jaminan fidusia, kewenangan pemberi fidusia harus diteliti secara hati-hati karena dapat menimbulkan persoalan hukum sehubungan dengan asas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata.
Bank sebagai kreditur fidusia memiliki kepentingan atas jaminan fidusia berdasarkan perjanjian jaminan khusus. Perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian yang muncul karena adanya perjanjian kredit bank. Apabila nasabah debitur wanprestasi, bank dapat mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang jaminan fidusia. Dalam praktik ada kecenderungan bahwa objek jaminan fidusia akan dikuasai bank jika nasabah debitur tidak sanggup melunasi utang. Demikian pula kalau terjadi kepailitan dari nasabah debitur, bagaiman status barang jaminan fidusia. Apakah kreditur fidusia diakui sebagai kreditur separatis murni sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UUFJ. Hal ini menghendaki kejelasan sehubungan dengan kedudukan preferensi pemegang fidusia.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masih diperlukan penelitian lebih lanjut baik mengenai konsep dari objek jaminan fidusia, karakter perjanjian fidusia, perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia, dan asas-asas hukum yang dipakai sehingga tidak tumpang tindih dengan lembaga jaminan kebendaan lainnya.
Suatu hal yang baru dalam sejarah lembaga fidusia dan lebih penting lagi untuk diteliti adalah masalah pendaftaran jaminan fidusia. Apakah yang didaftar itu benda jaminan fidusia atau akta jaminan fidusia. Bagaiman akibat hukumnya kalau jaminan fidusia tidak didaftarkan atau bagaimana daya kerja kebendaan dari jaminan fidusia tersebut? Persoalan ini berkaitan dengan perlindungan hukum (rechtsbescherming) bagi pihak ketiga.

B. KERANGKA TEORI DAN KONSEPSI
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.
Robert K. Yin mengatakan:
theory means the design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance source.
Menurut Kerlinger, terori adalah:
a set of interrelated constructs (concepts) definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relation among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena.
Fungsi teori dalam penelitian disertai ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejal yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya, penelitian ini berusaha untuk memahami jaminan fidusia secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi haidah hukum sebagai yang ditentukan dalam yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah hukum jaminan , sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum jaminan fidusia dan jaminan kebendaan lainnya, sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penulis buku ini. Teori yang dipakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum jaminan harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis. Perubahan hukum jaminan fidusia derjadi secara tertib melalui kebiasaan kemudian diakui dalam yurisprudensi dan akhirnya dikukuhkan dalam undang-undang tersendiri.
Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah perjanjian pengalihan hak kemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi fidusia ingkar janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia melainkan benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan utang sesuai dengan hak preferensi yang diberikan oleh undang-undang kepada debitur selain itu, bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat assessor dan berkarakter kebendaan.
Dalam menganalisis jaminan fidusia tersebut baik yang terdapat dalam putusan-putusan pengadilan maupun perjanjian fidusia yang terjadi dalam praktik perbankan dan pereturan undang-undang yang mengatur jaminan fidusia, diperlukan pendekatan sistem (approach system). Maksudnya menggunakan pendekatan sistem adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum jaminan fidusia yang dihadapi dengan tujuan untuk menghindarkan pandangan yang menyederhanakan persoalan jaminan fidusia sehingga menghasilkan pendapat yang keliru.
Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum. Berdasarkan teori sistem ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebebanan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi, dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan sustu sistem hukum.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa asas-asas hukum jaminan harus bersumber dari Pancasila sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sfatnya yang abstrak. Selanjutnya, Mariam Darus dalam Workshop Hukum Jaminan Tahun 1993 di Medan, mengemukakan sejumlah asas-asas hukum jaminan yang objeknya benda sebagai berikut:
Pertama, asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah absolute, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah droit de suite, artinya hak kebendaan mengikuti bendanya di dalam tangan siapapun dia berada. Di dalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakan di atas suatu benda, berarti kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya. Selain itu, sifat hak kebendaan adalah memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijamiankan, disewakan.
Kedua, asas asesor artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada perjanjian pokok.
Ketiga, hak yang didahulukan artinya hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain.
Keempat, objeknya adalah benda yang tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar.
Kelima, asas asesi yaitu perlekatan antara benda yang ada di atas tanah dengan tapak tanahnya.
Keenam, asas pemisahan horisontal yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang merupakan tapaknya.
Ketujuh, asas terbuka artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakan di atas suatu benda.
Kedelapan, asas spesifikasi/ pertelaan dari benda jaminan,
Kesembilan, asas mudah dieksekusi.
Hukum jaminan fidusia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan norma-norma hukum yang masing-masing berdiri sendiri melainkan peraturan hukum jaminan fidusia norma hukum lain dari jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan demikian, UUJF sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentang satu dengan yang lainnya. Dengan perkataan lain, norma hukum yang terdapat dalam UUJF adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang berinteraksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan dari undang-undang tersebut. Kesatuan jaminan fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan terhadap kompleks fidusia, asas hukum dan pengertian hukumnya.
Pendekatan sistem terhadap pemecahan jaminan fidusia akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum yaitu budaya hukum. Menurut Lawrence M Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari 3 unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).
Pada prinsipnya, sistem hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan (zakelijkezekerheids) dan jaminan perorangan (persoonlijkerheids). Jaminan kebendaan termasuk jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahulu di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengakui benda-benda yang bersangkutan. Karakter kebendaan pada jaminan fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Dengan karakter kebendaan yang dimiliki jaminan fidusia, penerima fidusia merupakan kreditur yang preferen dan memiliki sifat zaaksgevolg. Dengan demikianm dapat dipastikan bahwa jaminan fidusia memiliki identitas sebagai lembaga jaminan yang kuat dan akan digemari oleh para pemakainya.
Pemberian jaminan fidusia selalu berupa penyediaan bagian dari harta kekayaan si pemberi fidusia untuk pemenuhan kewajibannya. Artinya, pemberi fidusia telah melepaskan hak kepemilikan secara yuridis untuk sementara waktu. Menurut Subekti, memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas barang tersebut. Kekuasaan yang dimaksud bukanlah melepaskan kekuasaan benda secara ekonomis melainkan secara yuridis. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh si pemberi fidusia untuk melanjutkan usaha bisnisnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi jaminan fidusia bertindfak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima jaminan fidusia bertindak sebagai pemilik yuridis.
Benda ynag dijadikan jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotik. Berbeda halnya dengan objek fidusia, benda jaminan dalam hak tanggungan adalah hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara. Pembebanan hak tanggungan dapat juga dilakukan terhadap hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan milik pemegang hak atas tanah tersebut. Secara teoretis konseptual hak tanggungan hanya dibebankan atas tanah saja, sedangkan benda-benda yang ada di atasnya bukan merupakan benda bagian dari tanah melainkan benda yang memiliki status hukum tersendiri. Ini berarti, UUHT pada prinsipnya menganut asas pemisahan horisontal. Pengecualian atas asas tersebut hanya dimungkinkan apabila bangunan/ rumah yang ada di atas tanah tersebut adalah kepunyaan dari pemilik hak atas tanah. Dalam teori hukumpun dapat dibenarkan bahwa asas itu memiliki sifat pengecualian. Dalam teori hukum tanah yang dianut UUPA, antara tanah dan bangunan/ rumah yang ada diatasnya adalah terpisah satu sama lain. Prinsip ini sesuai dengan asas pemisahan horisontal yang dianut dalam hukum adat, sebagaimana yang dikatakan Sudargo Gautama, cs.:
“according to adat law a clear distinction can be drawn between land and the buildings on the land”. Adat law does not recognize the rule laid down in art 571 of the Indonesian Civil Code”.
Jadi, berdasarkan hukum adat, bangunan/ rumah (building) di atas tanah (the building on the land) terpisah secara tegas dengan tanahnya (land). Hukum adat tidak mengenal pemisah vertikal seperti Pasal 571 KUH Perdata. Ini berarti pula bahwa hukum adat mengenal asas pemisahan horizontal. Berdasarkan asas ini, kedudukan dari bangunan/ rumah di atas orang lain memiliki status hukum tersendiri terlepas dari tanah sebagai benda pokoknya. Menurut Mahadi, bangunan/ rumah tersebut dipandang sebagai barang bergerak. Pendapat Mahadi ini ada benarnya jika dilihat dalam konteks pembedaan benda dalam KUH Perdata yaitu benda tanah disamakan dengan benda tidak bergerak, sedangkan benda bukan tanah dianggap sebagai benda bergerak. Dalm perkembangannya, telah terjadi pergeseran bahwa perbedaan benda terdaftar dan benda tidak terdaftar sudah menjadi kebutuhan dalam lalulintas hukum jaminan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangunan/ rumah di atas tanah orang lain adalah tergolong dalam benda bukan tanah terdaftar yang memiliki status tersendiri, mempunyai nilai ekonomis yang dapat dialihkan dan dijaminkan sebagai agunan dalam bentuk jaminan fidusia. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah semakin pentingnya diatur masalah pendaftaran benda dalam peraturan tersendiri.
Selama ini masalah pendaftaran benda diatur secara sporadis dalam berbagai ketentuan seperti pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961 yang diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran kendaraan bermotor, pendaftaran kapal laut, pendaftaran pesawat terbang, dan sebagainya. Bagaimana dengan pendaftaran bangunan/ rumah di atas tanah orang lain ?
Dalam jaminan hipotik, yang menjadi objek adalah kapal adalah kapal yang beratnya paling sedikit 20 meter kubik dan telah didaftar (Pasal 314 KUH Dagang). Hipotik juga dapat dibebankan atas pesawat udara dan helikopter yang telah memiliki tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia.
Dari kedua pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penekanan objek hipotik adalah terletak pada aspek pendaftaran dari kapal, pesawat udara dan helikopter. Ini menunjukan bahwa pendaftaran memberikan fungsi yuridis untuk menetapkan benda-benda tersebut dianggap sebagai benda tidak bergerak dan menjadi hipotik. Bagaimana kalau kapal, pesawat udara dan helikopter itu tidak memiliki tanda pendaftaran. Konsekuensi logis adalah tidak dapat dijadikan objek hipotik. Sebagai alternatif jaminan yang dapat diterapkan adalah lembaga gadai (pand) dan jaminan fidusia.
Apabila yang dipakai adalah gadai atas kapal, pesawat udara dan helicopter, berdasarkan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata, barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur pemegang gadai. Tentunya konstruksi dari perjanjian jaminan gadai tersebut memberatkan debitur. Agar jaminan tetap dapat dikuasai oleh debitur, kapal, pesawat udara dan helikopter yang tidak terdaftar tersebut dibebani dengan jaminan fidusia. Hal ini sejalan dengan objek fidusia yang diatur dalam Pasal 3 UUJF.
Di Negara yang menganut sistem anglo saxon seperti Amerika, Australia, Singapura, Filipina, Malaysia dikenal istilah secured transaction yang selalu dikaitkan dengan transaksi kredit. Pemberian kredit yang diikuti dengan jaminan disebut secured credit. Pihak yang meminjam kredit menyediakan barang jaminan yang disebut property. Kata property memiliki makna yang beraneka ragam, sebagaimana yang dikatakan oleh Jhon D. Donnel, dkk sebagai berikut:
The word property has a variety of meanings. It may refer to an object, such as a building, or it may refer to legal rights connected with an object, such as the lease of building, which gives the tenant the right to occupy and use the building. However, the word property can also refer to legal rights that have economic value but are not connected with an object. A patent is an example of this kind of property.
Dari konsep di atas dapat disimpulkan bahwa property dapat berkenalan dengan objek secara pisik, hak terhadap objek tersebut atau yang mempunyai nilai ekonomi yang tidak berkaitan dengan objeknya.
Menurut Ronald A. Anderson, Ivon Fox, David P. Twomey, istilah property dapat dilihat dari arti yang umum dan arti yuridis yakni:
“In common usage, the term “property” refers to a piece of land or a thing or an object. As a legal concept, however, “property” refers to the rights that an individual may possess in that piece of land or thing or that object.

Property adalah exclusive right to possess, enjoy, and dispose of object or rights having economic value. In the United States the legal concept of property is synonymous with ownership. Property dapat dibedakan atas tanglible or intangible property and real property or personal property.

Yang dimaksud sebagai real property adalah tanah dan benda-benda lain yang ada di dalamnya, bangunan (buildings) dan fixture (inventaris tetap di kantor), sedangkan personal property adalah selain real property. Di Australia personal property dibagi atas dua yaitu: pertama choses (thing in possession), things that have a physical presence, such as a book or a car. Kedua, choses in action, things that do not have a physical presence, such as legal right to sue for a debt. Transaksi jaminan yang dipakai untuk real property adalah mortgage. Mortgage sebagai jaminan selalu dipergunakan terhadap real astate. Bentuk transaksi jaminan yang dipergunakan terhadap personal property adalah chattel mortgage. Chattel mortgage adalah jaminan benda bergerak tanpa penyerahan kekuasaan atas bendanya ke tangan kreditur. Selain itu, dikenal pula bentuk jaminan yang disebut floating charge yakni jaminan dari bahan-bahan, barang setengah jadi dari suatu industry yang diberikan kepada kreditur, sedangkan penguasaan atas barang-barang tersebut tetap berada pada si debitur. Dikatakan “floating” atau mengambang/ mengapung karena benda yang menjadi objek jaminan hutang tidak pernah tetap jumlahnya pada setiap waktu, berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok, mengikuti jumlah transaksi pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Hal tersebut merupakan karakter dari floating chrge yakni these assets change from time to time in the ordinary course of the business of the company. Jadi, dalam sistem common law terdapat dua bentuk lembaga jaminan yakni mortgage atas real property dan chattel mortgage atas personal property. Dalam sistem tersebut tidak dikenal pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak, tetapi yang dipakai adalah istilah real property dan personal property. Apabila dikaitkan dengan sistem hukum Eropa kontinental, real property dapat diidentikan dengan benda tidak bergerak sedangkan personal property diidentikan dengan benda bergerak.
Harmonisasi jaminan sebagai suatu studi konvergen terhadap dua sistem hukum jaminan yang berbeda yaitu floating charge yang dikenal dalam sistem common law dan jaminan politik yang berlaku pada sistem civil law telah dilakukan pada civil code Quebec tahun 1994, yang disebut dengan floating hypothec atau hypotheque ouverte.
Mengenai jaminan chattel mortgage, terdapat dua teori yakni, title theory (teori pemilikan) dan lien theory (teori jaminan). Teori pemilikan menganggap bahwa dengan adanya perjanjian chattel mortgage, hak milik atas benda jaminan tersebut telah beralih dari pihak debitur kepada pihak kreditur. Menurut teori jaminan bahwa dengan adanya perjanjian chattel mortgage, hanya menimbulkan suatu hak jaminan suatu pengalihan hak milik dari pihak debitur ke pihak kreditur.
Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank. Konstuksi ini menunjukan bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor, yang dianut oleh UUJF. Dengan penegasan karakter assesor dari perjanjian jaminan fidusia, berarti dapat menghilangkan keraguan dari perbedaan pandangan yang selama ini dipermasalahkan oleh hakim dan para ahli hukum.
Sebagai hak kebendaan, jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan. Hak tersebut tidak hapus walaupun terjadi kepailitan pada debitur. Pemegang fidusia merupakan kreditur separatis sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 56 Undang-undang Kepailitan. Pengakuan hak separitis akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia. Yang menjadi persoalan adalah apakah pengakuan yang diberikan itu sudah sempurna diberikan oleh Undang-undang Kepilitan? Hal ini berkaitan dengan adanya penangguhan jangka waktu selama 90 hari terhitung sejak putusan pailit ditetapkan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 56 A Undang-undang Kepailitan. Bahkan, ditentukan selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Ketentuan ini menjadi tidak sinkron dengan prinsip separatis yang dimiliki oleh keditur pemegang jaminan fidusia. Dengan perkataan lain hak separatis telah digerogoti (uitgehold).
Hak kebendaan dari jaminan fidusia baru lahir sejak dilakukan pendaftaran pada kantor pendaftaran fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia. Konsekuensi yuridis dari tidak didaftarkannya jaminan fidusia bersifat perseorangan (persoonlijke karakter).
Oleh karena itu, proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan diikuti dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Tahapan proses perjanjian jaminan fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya.
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yan gdisebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut:
Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.
Fidusia adalah pengalihak hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan adat benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan bangunan/ rumah di atas tanah orang lain baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Benda jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
Benda terdaftar adalah benda yang didaftarkan kepada instansi tertentu yang memiliki bukti sertifikat.
Benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat dipindahkan atau karena ditentuakn undang-undang.
Benda tidak bergerak adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dipindahkan atau karena peruntukannya atau karena ditentukan undang-undang.
Benda bukan tanah adalah benda selain tanah baik yang sifatnya bergerak maupun yang tidak bergerak, baik terdaftar maupun tidak terdaftar.
Hutang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam bentuk mata uang rupiah atau mata uang lainya sebagai akibat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.
Pemberi jaminan fidusia adalah orang atau badan usaha yang memiliki benda jaminan fidusia.
Penerima jaminan fidusia adalah bank atau lembaga pembiayaan lainya yang mempunyai piutang terhadap pemberi jaminan fidusia yang pembayarannya dijamin dengan benda jaminan fidusia dan harta kekayaan lainnya dari pemberi jaminan fidusia.
Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.
Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.
Akta jaminan fidusia adalah akta di bawah tangan dan akta notaris yang berisikan pemberian jaminan fidusia kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang diperjanjikan secara khusus mengenai benda tertentu antara debitur dengan kreditur, yang bersifat mutlak atas bendanya dan mempunyai ciri-ciri kebendaan.
Kreditur preferensi adalah kreditur pemegang jaminan fidusia yang memiliki hak secara didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Kreditur separatis adalah kreditur yang penagihan piutangnya seolah-olah tidak terjadi kepilitan.
Putusan pengadilan adalah hasil atau kesimpulan terakhir dari suatu pemeriksaan perkara baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, yang belum dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Termasuk juga kasasi yang sedang dan telah diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara nasabah debitur pemberi fidusia dengan kreditur penerima fidusia yang terjadi dilingkungan perbankkan dan notaris dalam bentuk tertulis.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur.

1 komentar:

  1. PENAWARAN PINJAMAN YANG MENDAFTAR Berlaku sekarang.

    Pencari Pinjaman yang Terhormat,

    Salam dari PERUSAHAAN PINJAMAN REBACCA.

    Kami adalah Pemberi Pinjaman pinjaman bersertifikat yang menawarkan pinjaman kepada orang-orang yang membutuhkan pinjaman. Kami memberikan pinjaman untuk proyek, bisnis, pajak, Hutang, tagihan, dan banyak alasan lainnya. Kami beroperasi dengan tingkat bunga 2%. Masih ada banyak keuntungan dengan mendapatkan pinjaman dari perusahaan ini, jadi Apakah Anda memerlukan pinjaman? Apakah Anda berhutang? Apakah Anda ingin memulai bisnis dan membutuhkan modal? Apakah Anda memerlukan pinjaman atau dana untuk alasan apa pun? Bantuan Anda akhirnya ada di sini, karena kami memberikan pinjaman kepada semua orang dengan tingkat bunga yang lebih murah dan terjangkau hanya 2%, jika tertarik silakan hubungi kami hari ini di: (rebaccaalmaloancompany@gmail.com) dan dapatkan pinjaman Anda hari ini.

    kami memberikan yang berikut;
    *Perbaikan rumah
    * Pinjaman Penemu * Kredit Mobil
    * Pinjaman Konsolidasi Utang
    * Lini Kredit * Pinjaman Kedua
    * Pinjaman Bisnis * Pinjaman Pribadi
    * Pinjaman Internasional.

    Kami bersertifikat, dapat dipercaya, dapat diandalkan, efisien, Cepat dan dinamis. Jika Anda tertarik, silakan hubungi kami melalui WhatsApp Number +14052595662

    Semoga berhasil,
    PERUSAHAAN PINJAMAN REBACCA.

    BalasHapus