Sabtu, 22 Oktober 2011

Perawan Tanpa Mahkota


Terbelai indah penuh pesona ...
sinar aura mu memancarkan cahaya ...
yang penuh dengan makna ...
membutakan mata setiap kali berjumpa ..
ada rasa,disetiap kali ada jarak diantara kita ...

setiap kali engkau merendah ...
akan harga dirimu yang terluntah ...
mencoba berpaling disetiap kesucian itu singah ...
engkau tak dapat terima ... suatu cinta ...
dan kasih sayang yang nyata ...
seakan harga dirimu telah sirna ...

pada jiwa dan hati nuranimu berkata ..
akankah engkau akan mendapatkan sahabat setia ..
yang dapat menemanimu sampai akhir masa ..
engkau mencari pangeran cinta ...
yang dapat menerimamu apa adanya ...

tetapi dusta dan rahasia selalu kau bawa ..
disetiap kali engkau jauh ..
dipelupuk mata ....
kesedihan ...
penyesalan ....
itu suatu derita yang kau rasa ..

Rabu, 05 Oktober 2011

Evolusi filsafat hukum, yang melekat dalam evolusi filsafat secara keseluruhan, berputar di sekitar problema tertentu yang muncul berulang -ulang.  Di antara problema ini, yang paling sering menjadi diskursus adalah tentang  persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum  atau aturan perundangan harusnya adil, tapi nyatanya seringkali tidak. Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan  yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan  dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak  waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang  bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.
Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau  realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman  tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara umum. Jika begitu, orang dapat mendefi nisikan keadilan dalam satu pengertian atau pengertian  lain dari pandangan ini.  Walhasil diskurusus tentang keadilan begitu panjang dalam lintasan 
sejarah filsafat hukum. Hal ini juga terjadi dalam filsafat hukum Islam dimana  teori keadilan, atau sering juga disebut dengan teori  maslahat, selalu menjadi  topik yang tidak hentinya dikaji oleh para ahli  filsafat hukum Islam (ushul fiqh),  terutama pada saat membahas tentang persoalan  maqashid tasyri’ atau carl Joachim Friedrich, Filsafat Huk um Perspek tif Historis, Bandung: Nuansa dan maqashid syari’ah.
2
Bahkan persoalan keadilan ini juga  masuk dalam ranah 
teologi, terutama terkait dengan masalah keadilan ilahiyah dan tanggung jawab 
manusia yang memunculkan dua kelompok besar yaitu muktazilah dan 
asy’ariyah.
Dalam makalah ini, Penulis akan menguraikan tentang persoalan 
keadilan ini dari perspektif filsafat hukum dan Islam. Dalam perspektif filsafat 
hukum, Penulis hanya akan mengurai teori keadilan Aristoteles dan John Rawl. 
Sedangkan dalam perpektif filsafat hukum Islam, Penulis akan mengurai teori 
keadilan ilahiyah Muktazilah dan Asyariyah, dan teori maqasyid syariah sebagai 
cita keadilan sosial hukum Islam.  Harapan penulis tulisan ini bisa menjadi 
alternatif argumentasi hukum para hakim pengadilan agama dalam 
menegakkan nilai-nilai keadilan dalam memeriksa, memutus dan 
menyelesaikan perkara.
2. Teori Keadilan dalam filsafat hukum
Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap 
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam 
mengutamakan “the search for justice”.
3
Terdapat macam-macam teori 
mengenai keadilan dan masyarakat yang adil.  Teori-teori ini menyangkut hak 
dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara 
teori-teori itu dapat disebut: teori  keadilan Aristoteles dalam bukunya 
nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a
theory of justice.
a. Teori keadilan Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan 
dalam karyanya  nichomachean ethics, politics,  dan rethoric. Lebih khususnya, 
dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, 
                                                
2
Kemaslahatan dan keadilan menjadi inti dari hukum Islam. Ini diwujudkan dengan 
banyakny a ayat al-Quran yang berisi tentang  kemaslahatan dan  keadilan Diantaranaya, yaitu 
an-Nisaa’:58; an-Nisaa’:135; al-Maidah: 8; al-An’aam:90; dan asy-Syura:15.
3
Theo Huijbers,  Filsafat Huk um dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: 
kanisius, 1995 hal. 196.3
yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari 
filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya 
dengan keadilan”.
4
Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan 
mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.  Namun Aristoteles membuat 
pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. 
Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah 
yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan 
ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. 
Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai 
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini 
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan 
distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum  publik, 
yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.  Kedailan distributif dan korektif 
sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya 
bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang 
penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang 
sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa 
ketidaksetaraan yang disebabkan  oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, 
dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, 
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam 
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,  jelaslah 
bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang 
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang 
adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni 
nilainya bagi masyarakat.
5
                                                
4
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Huk um ...., hal 24.
5
Ibid, hal 25. 4
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang 
salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka 
keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak 
yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang 
sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan 
akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah 
terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut.
Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan 
sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.
6
Dalam  membangun argumennya,  Aristoteles menekankan perlunya 
dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat 
kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, 
dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum 
tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara 
hukum positif yang ditetapkan dalam undang -undang dan hukum adat. Karena, 
berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat 
menjadi sumber pertimbangan yang  hanya mengacu pada komunitas tertentu, 
sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk 
perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari 
fitrah umum manusia.
7
b. Keadilan sosial ala John Rawls
John Rawls dalam bukunya  a theory of justice menjelaskan  teori 
keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality 
of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan 
ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat  yang paling besar bagi 
mereka yang paling kurang beruntung. 
Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju 
pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok 
                                                
6
Ibid
7
Ibid, hal. 26-27.5
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the  principle of fair 
equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang 
mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan 
otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama 
sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, 
Bentham dan Mill.  Rawls  berpendapat  bahwa dalam masyarakat yang diatur 
menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi 
pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga 
berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap 
normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi 
kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini 
pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam 
masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang 
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang 
paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi 
ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang 
paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga 
dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan 
orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang 
terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan 
peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua 
perbedaan antara orang  berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain 
yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program 
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan  haruslah memperhatikan dua 
prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas 
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap 
orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang 
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik 6
(reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok 
beruntung maupun tidak beruntung. 
8
Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar 
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal 
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan 
orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus 
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan 
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah denga n menghadirkan 
institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan.  Kedua, 
setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan 
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
3. Teori keadilan dalam filsafat hukum Islam
a. Keadilan ilahiyah: dialektika muktazilah dan asy’ariah
Gagasan  Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang 
keadilan ilahiyah, apakah  rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk 
untuk menegakkan keadilan  dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau 
sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu 
(Allah). 
Pada  optik  inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan 
cendekiawan  Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua 
konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk 
menegakkan keadilan  ilahiah, dan  perdebatan tentang hal itu  melahirkan dua 
mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah.
Tesis dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, 
bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk 
merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar  –
yaitu, tak bergantung pada wahyu. Allah telah menciptakan akal manusia 
sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. 
                                                
8
John Rawls,  A Theory of Justice, London: Ox ford University press, 1973,  y ang 
sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,  Teori 
Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.7
Ini merupakan akibat wajar dari tesis pokok mereka bahwa keadilan Allah 
tergantung pada pengetahuan obyektif tentang baik dan buruk, sebagaimana 
ditetapkan oleh nalar, apakah sang Pembuat hukum menyatakannya atau tidak. 
Dengan kata lain, kaum Mu`tazilah menyatakan kemujaraban nalar naluri 
sebagai sumber pengetahuan etika dan spiritual, dengan demikian 
menegakkan bentuk obyektivisme rasionalis.
9
Pendirian Mu`tazilah tentu mendapat tentangan. Kaum Asy`ariah 
menolak gagasan akal manusia sebagai sumber otonomi pengetahuan etika. 
Mereka mengatakan bahwa baik dan buruk itu adalah sebagaimana Allah 
tentukan, dan adalah angkuh untuk menilai Allah berdasarkan kategori -kategori 
yang diberikan-Nya untuk mengarahkan kehidupan manusia. Bagi kaum 
Mu`tazilah tidak ada cara, dalam batas-batas logika biasa, untuk menerangkan 
hubungan kekuasaan Allah dengan tindakan manusia. Lebih realistis untuk 
mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan hasil kehendakNya, tanpa penjelasan atau pembenaran. Namun, penting untuk membedakan 
antara tindakan manusia yang bertanggung jawab dan gerakan–gerakan yang 
dinisbahkan kepada hukum-hukum alam. Tanggung jawab manusia bukan 
merupakan hasil pemilihan bebas, suatu fungsi yang, menurut Mu`tazilah, 
menentukan cara bertindak yang dihasilkan. Namun hanya Allah semata-mata 
yang menciptakan segala tindakan secara langsung. Tetapi, dalam beberapa 
tindakan, suatu kualitas tindakan sukarela digantikan kehendak Allah, yang 
menjadikan seseorang sebagai wakil sukarela dan bertanggung jawab.
Karenanya, tanggung jawab manusia merupakan hasil kehendak ilahiah yang 
diketahui melalui bimbingan wahyu. Kalau tidak, nilai -nilai tidak memiliki dasar 
selain kehendak Allah yang mengenai nilai-nilai itu.
10
Konsepsi Asy`ariah tentang pengetahuan etika ini dikenal sebagai 
subyektivisme teistis, yang berarti bahwa semua nilai etika tergantung pada 
                                                
9
Mumtaz Ahmad (ed), Masalah-Masalah Teori politik Islam, Bandung: Mizan, 1994, 
hal. 154-155.
10
Ibid, hal. 1568
ketetapan-ketetapan kehendak Allah yang diungkapkan dalam bentuk wahyu 
yang kekal dan tak berubah.
Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayatayat Al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan 
tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah  ilahiah di muka bumi.
Di satu pihak,  al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan 
Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan 
bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat -ayat yang 
dapat mendukung pandangan Asy`ariah tentang kemahakuasaan Allah yang 
tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, 
Al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan  ilahiah dalam 
masalah bimbingan.
Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai 
implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi 
kapasitas kemauan dalam jiwa manusia
11
, dan membuktikan tanggung jawab 
manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual 
serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka 
bumi. Nampak bahwa Al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu 
bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus 
melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka 
semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan:
“Manusia adalah umat yang satu; maka Allah mengutus para Nabi, 
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Ia menurunkan 
bersama mereka Kitab denga benar, untuk memberi keputusan di antara 
manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.”
12
Berdasarkan  bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang 
dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam Al-Quran. Ayat-ayat 
tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang 
membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama 
bertanggung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral 
                                                
11
Asy-Syam: 7
12
Al-Baqarah: 2139
tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai 
terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua 
bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari 
Allah.
Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa 
gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial, 
karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah 
daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, AlQuran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan 
dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi 
masyarakat-masyrakat agama  yang berlainan dan memperingatkan umat 
manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik”:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat religius) Kami berikan 
aturan dan jalan (tingkah laku). Apabila Allah menghendaki, niscaya kamu 
dijadikan-Nya satu umat (berdasarkan pada aturan dan jalan itu), tetapi, (ia 
tidak melakukan demikian). Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu. Oleh karena itu, berlomba-lombalah (yaitu, bersaing satu 
samalain) dalam berbuat baik. Karena Allah-lah kamu semua akan kembali, lalu 
Ia akan memberitahukan kepadamu (kebenaran) mengenai apa yang kamu 
perselisihkan itu.”
13
.
Terhadap suatu asumsi yang jelas dalam ayat ini bahwa semua umat 
manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan tertentu, 
yang diakui secara obyektif, tak soal denga n perbedaan keyakinan-keyakinan 
religius. Cukup menarik, manusia yang idael disebutkan sebagai 
menggabungkan kebajikan moral tersebut dengan kepasrahan religius yang 
sempurna. Bahkan, “barangsiapa menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia 
berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya, dan tidak ada 
kekhawatiran bagi mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati ”.
14
Jelaslah,  disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan 
antara keadilan  obyektif  dan teistis, dimana keadilan obyektif  diperkuat lagi 
oleh tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif 
universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab 
                                                
13
Al-maidah: 48
14
Al-Baqoroh: 11210
yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab 
moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang 
membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa Al-Quran menunjukkan 
sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang 
merupakan sumber keadilan positif dalam masyarakat yang berdasarkan 
persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi. Karena Al -Quran 
mengakui keadilan teitis dan obyektif, maka mungkin untuk mengistilahkannya 
keadilan natural dalam arti yang dipakai oleh Aristoteles  – yaitu, suatu produk 
dari kekuatan natural bukan dari kekuatan sosial.
Mengakui Aristoteles, para sarjana seringkali menyamakan keadilan 
Ilahiah dengan keadilan natural, tetapi, tidak seperti pakar-pakar hukum natural 
yang memperhatikan  hubungan keadilan dengan masyarakat, faqih-faqih 
memusatkan usaha mereka pada konsep keadilan dalam kaitannya dengan 
kehendak Tuhan dan menghubungkannya dengan nasib manusia. Alim-alim 
tersebut berpendapat bahwa keadilan Ilahiah merupakan tujuan akhir dari 
wahyu islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum-hukum 
islam yang suci (syari`ah).
15
b. Maqashid syariah: cita keadilan sosial hukum Islam
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok 
bahasan dalam  filasafat  hukum Islam adalah konsep  maqasid at-tasyri' atau 
maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk 
mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui 
oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah 
yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."
16
Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan 
sosial dalam istilah filsafat hukum.
17
                                                
15
Mumtaz Ahmad (ed), Mas alah-Masalah..., hal. 157-162.
16
Muhammad Sa'id Ramdan al -Buti, Dawabit al-Maslahah fi  as -Syariah al -Islamiyah, 
(Beirut: Mu'assasah ar-Risalah,1977), hlm.12.
17
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat Sebagai Acuan Syari'ah"  Jurnal 
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an No.3, Vol. VI Th. 1995. hlm. 97.11
Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan 
kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan 
menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari  maqasid al-syari'ah
tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus 
bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid 
al-syari'ah, berikut akan diuraikan secara ringkas teori tersebut.
Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama 
usul al-fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami  maqasid 
al-syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan 
bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam 
Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.
18
Kemudian al-Juwaini  mengelaborasi  lebih jauh maqasid al-syari'ah itu 
dalam hubungannya dengan illat dan dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: 
yang masuk kategori daruriyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder), 
makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, 
dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.19 Dengan 
demikian pada prinsipnya al-Juwaini membagi tujuan tasyri' itu menjadi tiga 
macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah).
Pemikiran al-Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. 
Al-Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan 
tema istislah.20 Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara agama, jiwa, 
akal, keturunan dan harta.21 Kelima macam maslahat di atas bagi al-Gazali 
berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi 
                                                
18
Abd al-Malik ibn Yusuf Abu al-Ma'ali al-Juwaini, Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Kairo: Dar 
al-Ansar,1400 H),I:295.
19
Ibid, II: 923-930.
20Al-Gazali,  al -Mustasfa min Ilm al -Usul (Kairo: al -Amiriyah, 1412), hlm.250 dan 
seterusnya.
21
Ibid hlm.251.12
tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier.22 Dari keterangan ini 
jelaslah bahwa teori maqasid al-syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.
Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus 
membahas maqasid al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan 
Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat 
secara hakiki dalam bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.23 Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan skala
prioritas, yaitu: daruriyat, hajiyat, dan takmilat atau tatimmat.24 Lebih jauh lagi 
ia menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada terwujudnya maslahat 
manusia, baik di dunia maupun di akhirat.25
Pembahasan tentang  maqasid al-syari'ah secara khusus, sistematis 
dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya 
al-Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga 
pembahasannya mengenai maqasid al-syari'ah. Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia 
secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan 
hukum-hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di 
dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus 
mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut.26
Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas 
maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan 
tahsiniyat.27 Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep 
al-Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, ketur unan 
dan harta.28
                                                
22
Ibid.
23
Izzuddin ibn Abd al-Salam, Qawaid al -Ahk am fi Masalih al -Anam (Kairo: al -Istiqamat, 
t.t),I:9.
24
Ibid.II:60 dan 62.
25
Ibid.
26Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah (Kairo: Mustafa Muhammad, t.t,) II:4.
27
Ibid.
28
Ibid, II:5.13
Konsep  maqasid al-syari'ah atau maslahat    yang dikembangkan oleh 
al-Syatibi di atas sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad
sebelumnya. Konsep maslahat al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian 
syari'ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur oleh nas. Sesuai dengan 
pernyataan al-Gazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan 
syari'ah adalah untuk mewujudkan maslahat. Meskipun begitu, pemikiran 
maslahat al-Syatibi ini tidak seberani gagasan at-Tufi.29
Pandangan at-Tufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal 
tentang maslahat.30 At-Tufi berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat 
membatasi (takhsis) Alquran, sunnah dan ijma' jika penerapan nas Alquran, 
sunnah dan ijma' itu akan menyusahkan manusia.31 Akan tetapi, ruang lingkup 
dan bidang berlakunya maslahat at-Tufi tersebut adalah mu'amalah.32
Sejak awal syari'ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali 
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syari'ah Islam dicanangkan 
demi kebahagiaan manusia, lahir-batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya 
mencerminkan maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan terhadap nas, 
seperti dipromosikan oleh faham ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat 
hanya sebagai jargon kosong, dan syari'ah-yang pada mulanya adalah 
jalan-telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.
33
    
Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang harus tidak disebut 
hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang 
dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan: maslahat, 
keadilan. Proses pendasaran hukum atas hukum hanya bisa dimengerti dalam 
konteks formal, misalnya melalui cara  qiyas. Akan tetapi, seperti diketahui,
qiyas haruslah dengan  illat, sesuatu yang lebih merupakan patokan hukum, 
bukan hukum itu sendiri. Akan tetapi itulah struktur pemikiran hukum Islam 
                                                
29Nur A. Fadhil Lubis,  Huk um Islam dalam Kerangk a Teori Fik ih dan Tata Huk um  
Indonesia (Medan :Pustaka Widyasarana,1995),hlm.34-35.
30
Ibid.
31Najmuddin at-Tufi, Syarh al-Hadis Arba'in an-Nawaiyah dalam Mustafa Zaid. 1954. 
al-Maslahat fi at-Tas yri'i al-Islami wa Najmuddin at-Tufi, Mesir: Dar al-Fikr al -Arabi, hlm.46.
32
Ibid, hlm.48.
33
Masdar F. Mas'udi, "Meletakkan Kembali Maslahat ....", hlm. 94.14
selama ini. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila dunia pemikiran hukum 
Islam ditandai oleh ciri dan watak yang sangat patut dipertanyakan.
34
Tidak 
mengherankan apabila wajah fiqh selama ini tampak menjadi dingin, suatu 
wajah fiqh yang secara keseluruhan kurang menunjukkan pemihakan 
(engagement) terhadap kepentingan masyarakat manusia.
35
Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan 
pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, ataudalam ungkapan yang lebih operasional- "keadilan sosial". Tawaran teoritik 
(ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nas atau  pun 
tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat kemanusiaan, dalam 
kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan 
merealisasikannya. Sebaliknya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana 
pun, yang secara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih 
lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam kacamata 
Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama -sama 
terikat untuk mencegahnya.
36
Dengan paradigma di atas, kaidah yang selama 
ini dipegang oleh dunia fiqh yang berbunyi: Apabila suatu hadis teks ajaran 
telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku, secara meyakinkan perlu 
ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis telah menggerakkan 
dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih 
mengutamakan bunyi harfiyah  nas daripada kandungan substansialnya. Atau, 
dalam dunia pemikiran fiqh, lebih mengutama kan  - atau bahkan hanya 
memperhatikan- bunyi ketentuan legal-formal, daripada tuntutan maslahat 
(keadilan), yang  notabene merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu 
menegakkan kaidah yang berbunyi: jika tuntutan maslahat, keadilan, telah 
menjadi sah- melalui kesepakatan dalam musyawarah- itulah mazhabku.
37
Dengan tawaran kaidah yang lebih menekankan pada sub stansi, yaitu 
maslahat-keadilan, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum 
                                                
34
Ibid, hlm.94-95.
35
Ibid, hlm.96.
36
Ibid, hlm.97.
37
Ibid.15
harus diabaikan. Ketentuan legal-formal-tekstual yang sah, bagaimana pun, 
harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau 
tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari 
sedalam-dalamnya bahwa patokan legal-formal dan tekstual hanyalah 
merupakan cara bagaimana cita maslahat, keadilan, itu diaktualisasikan dalam 
kehidupan nyata. Ini berarti bahwa ketentuan formal-tekstual, yang bagaimana 
pun dan datang dari sumber apa pun, haruslah selalu terbuka dan atau diyakini 
terbuka untuk, kalau perlu, diubah atau diperbarui sesuai dengan tuntutan 
maslahat, cita keadilan.
Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara mendasar kita pun perlu 
meninjau kembali pemahaman kita terhadap konsep usul fiqh tentang apa yang 
disebut  qat'i (yang pasti dan tidak bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dan  zanni
(yang tidak/kurang pasti dan bisa diubah-ubah oleh ijtihad) dalam hukum Islam. 
Fiqh selama ini mengatakan bahwa yang  qat'i adalah apa-apa (hukum-hukum) 
yang secara sarih ditunjuk oleh nas Alquran/hadis Nabi. Sedangkan yang Zanni 
adalah apa-apa (hukum) yang petunjuk nasnya kurang/tidak sarih, ambigu dan 
mengandung pengertian yang bisa berbeda-beda.
38
Sesungguhnya, yang qat'i
dalam hukum Islam - sesuai dengan makna harfiyahnya: sebagai sesuatu yang 
bersifat pasti, tidak berubah-ubah dan karena itu bersifat fundamental- adalah 
nilai maslahat atau keadilan itu sendiri, yang  nota bene merupakan jiwanya 
hukum. Sedang yang masuk kategori  zanni (tidak pasti dan bisa diubah-ubah) 
adalah seluruh ketentuan batang tubuh atau teks, ketentuan normatif, yang 
dimaksudkan sebagai upaya yang menerjemahkan yang  qat'i (nilai maslahat 
atau keadilan) dalam kehidupan nyata. Sehingga kalau dikatakan bahwa ijtihad 
tidak bisa terjadi untuk daerah  qat'i, dan hanya bisa dilakukan untuk hal-hal 
yang  zanni, itu memang benar adanya. Cita "maslahat dan keadilan" sebagai 
hal yang qat'i dalam hukum Islam, memang tidak bisa- bahkan juga tidak perluuntuk dilakukan ijtihad guna menentukan kedudukan hukumnya, apakah wajib, 
mubah atau bagaimana.
                                                
38
Ibid.16
Yang harus diijtihadi dengan seluruh kemampuan mujtahid adalah 
hal-hal yang  zanni, yang tidak pasti, yang memang harus diperbarui 
terus-menerus sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu yang juga terus 
bergerak. Yakni, pertama, definisi tentang maslahat, keadilan, dalam konteks 
ruang dan aktu nisbi dimana kita berada; kedua, kerangka normatif yang 
memadai sebagai pengejawantahan dari cita maslahat- keadilan dalam konteks 
ruang dan waktu tertentu; dan ketiga, kerangka kelembagaan yang memadai 
bagi sarana aktualisasi norma-norma maslahat-keadilan, seperti dimaksud 
pada poin pertama dan kedua, dalam realitas sosial yang bersang kutan.
Untuk  mempermudah pemahaman, dapat dikemukakan satu ilustrasi 
syari'at zakat. Tujuan disyari'atkan zakat adalah jelas: terwujudnya keadilan 
sosial dan kesejahteraan bersama dengan prinsip yang kuat membantu yang 
lemah. Di sini tidak ada keperluan sedikit pun untuk melakukan ijtihad guna 
menentukan hukumnya menegakkan keadilan sebagaimana dicita-citakan oleh 
konsep zakat tersebut.
39
Yang perlu dilakukan ijtihad adalah dalam hal-hal berikut ini: pertama, 
mendefinisikan keadilan sosial dan pemera taan kesejahteraan dalam konteks 
ruang dan waktu tertentu, misalnya konteks bangsa Indonesia dalam 
dasawarsa kini dan mendatang; kedua, berapa beban yang harus ditanggung 
oleh mereka yang mampu (miqdar al-zakah), atas basis kekayaan apa saja 
(mahall al-zakah), kapan harus dibayar (waqt al-ada), dan siapa-siapa serta 
dimana alamatnya yang secara riil dan definitif harus diuntungkan oleh zakat, 
dan sektor apa saja yang secara riil dan definitif harus didukung oleh dana 
zakat (masraf al-zakah), dan sebagainya; dan ketiga, kelembagaan apa saja 
yang seharusnya tersedia dalam realitas sosial politik Indonesia yang bisa 
mendukung terwujudnya keadilan sosial dengan zakat tersebut; bagaimana 
mekanisme pembentukannya, kerjanya dan kontrolnya.
Bagaimana ketentuan yang terdapat dalam teks ajaran atau dalam 
pendapat para ulama mengenai persoalan pada ketiga point tersebut, tidak ada 
yang qat'i. Semuanya  zanni, dan karena itu bisa-bahkan tidak terelakkan- untuk 
                                                
39
Ibid. hlm.97-98.17
disesuaikan, diubah, kapan saja tuntutan maslahat-keadilan menghendaki. 
Misalnya, tentang  amwal zaka wi; tidaklah adil untuk zaman sekarang, kita 
hanya mengenakan pungutan sedekah wajib atas kurma dan anggur, 
sementara "kelapa sawit", apel, kopi, tembakau", yang tidak kalah 
ekonomisnya, kita bebaskan begitu saja. Juga, tidak adil kita kenakan beban 
sedekah wajib atas pendapatan sektor pertanian, sementara dari sektor industri 
dan jasa justru kita merdekakan.
40
Demikian pula, tidak sesuai lagi dengan maslahat keadilan yang nyata 
kalau  sabilillah, sebagai salah satu dari  mustahik zakat, hanya didefinisikan 
dengan "tentara di medan perang melawan orang kafir", sementara aparat 
penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan pembela hukum, tetap kita 
letakkan di luar orbit missi ketuhanan untuk tegakkan orde keadilan. Lalu 
akibatnya kita semua tahu, rakyat cenderung melepaskan mereka dari tuntutan 
moral. Mereka sendiri cenderung merasa bebas dari tuntutan itu. Dengan 
meletakkan mereka pada barisan  sabilillah, kita telah memberikan justifikasi 
dan sekaligus kepedulian (kritik) sosial kita te rhadap peran dan aktivitas 
mereka, dengan acuan nilai ketuhanan, keadilan.
Kalau acuan hukum- juga hukum dalam kacamata Islam, yakni syari'atadalah maslahat keadilan, pertanyaan yang akan segera muncul adalah, 
bagaimana "maslahat, atau keadilan" itu dapat didefinisikan, dan siapa punya 
otoritas untuk mendefinisikannya. Tidak syak lagi, pertanyaan ini sangat penting 
dan menentukan. Gagal menjawab pertanyaan ini, akan kembali berimplikasi 
untuk memperkatakan bahwa maslahat-keadilan sebagai tujuan syari,at 
(hukum), telah dijadikan tujuan bagi dirinya sendiri. Maslahat keadilan hanya 
jargon kosong belaka.
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu perlu membedakan 
antara maslahat yang bersifat "individu subyektif" dengan maslahat yang 
bersifat "sosial-obyektif".Maslahat yang bersifat individual-subyektif, adalah 
maslahat yang menyangkut kepentingan seseorang yang secara eksistensial 
bersifat independen, dan terpisah, dengan kepentingan orang lain. Dalam 
                                                
40
Ibid. hlm.98.18
maslahat kategori ini, karena sifatnya yang sangat subyektif, yang berhak 
menentukan dan sekaligus sebagai hakimnya tentu saja adalah pribadi 
bersangkutan. Tidak ada kekuatan kolektif mana pun yang berhak menentukan 
apa yang secara personal-subyektif dianggap maslahat oleh seseorang.
41
Sedangkan maslahat yang bersifat sosial-obyektif adalah maslahat 
yang menyangkut kepentingan orang banyak. Dalam hal ini, otoritas yang 
berhak memberikan penilaian yang dan sekaligus menjadi hakimnya tidak lain 
adalah orang banyak yang bersangkutan, melalui mekanisme  syura untuk 
mencapai kesepakatan (ijma'). Jadi, apa yang disepakati oleh orang banyak 
dari proses pendefinisian maslahat melalui musyawarah itulah hukum yang 
sebenarnya. Kesepakatan orang banyak, di mana kita merupakan bagian 
daripadanya, itulah hukum tertinggi yang mengikat.
Kalau dipertanyakan kedudukan hukum atau ketentuan-ketentuan 
legal-normatif yang ditawarkan oleh wahyu (teks Alquran atau hadis), 
kedudukannya adalah  sebagai    material yang  - juga dengan logika maslahat 
sosial yang obyektif, bukan dengan logika kekuatan atau kepercayaan yang 
subyektif,- masih harus dibawa untuk ditentukan statusnya ke dalam lembaga 
permusyawaratan. Apabila kita berhasil membawanya sebagai bagian dari 
kesepakatan orang banyak, ia berfungsi sebagai hukum yang secara 
formal-positif mengikat. Akan tetapi, apabila gagal memperjuangkannya 
sebagai kesepakatan, daya ikatnya tentu saja hanya terbatas pada orang-orang 
yang mempercayainya. Dan daya ikat seperti ini paling jauh hanya bersifat 
moral-subyektif, tidak bisa sekaligus formal-obyektif.
Memang, dengan mempertaruhkan "maslahat dan sekali gus norma 
hukum yang bersumber padanya" pada  ijma' lembaga  syura, atau keputusan 
lembaga parlemen dalam terma ketata-negaraan modern, bukan tidak ada 
kelemahannya. Tidak jarang apa yang disebut kesepakatan lembaga  syura, 
parlemen, ternyata hanya merupakan hasil rekayasa segelintir elit yang 
berkuasa. Akan tetapi inilah tantangan yang harus dihadapi oleh umat Islam, 
                                                
41
Ibid. hlm.99.19
yang sebenarnya adalah juga tantangan bagi rakyat -manusia di mana pun 
mereka berada. Yakni, bagaimana mereka bisa mengusahakan tumbuhnya 
satu pranata kesepakatan umat, di mana rakyat- secara langsung atau melalui 
wakilnya- dapat mengemukakan pendapat dan pilihannya perihal 
tata-kehidupan yang menurut mereka lebih mencerminkan cita maslahat dan 
keadilan.42
4. Penutup
Sebagai penutup dari pembahasan ini, perlu dikemukakan 
kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: 
Pertama, keadilan dalam filsafat hukum menjadi landasan utama yang 
harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles me negaskan bahwa 
keadilan sebagai inti dari filsafat hukumnya. Baginya, keadilan dipahami dalam 
pengertian kesamaan, antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. 
Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. 
Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai 
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dia juga  membedakan 
keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama 
berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana.
John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka 
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah 
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan 
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas 
kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali 
kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan 
yang bersifat timbal balik  (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka 
yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
Kedua, teori keadilan dalam Islam pertama kali didiskusikan sebagai 
persoalan teologi tentang keadilan ilahiyah yang melahirkan dua mazhab yaitu: 
mu`tazilah dan asy`ariyah. Mu`tazilah  menyatakan bahwa manusia,  sebagai 
                                                
42
Ibid.20
yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil.  Baik dan buruk 
merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar. Allah 
telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat 
yang baik dan buruk secara obyektif. Mu`tazilah dengan demikian menegakkan 
bentuk obyektivisme rasionalis. Sedangkan Asy`ariah mengatakan bahwa baik 
dan buruk itu adalah sebagaimana Allah tentukan, dan adalah angkuh untuk 
menilai Allah berdasarkan kategori-kategori yang diberikan-Nya untuk 
mengarahkan kehidupan manusia. Tanggung jawab manusia bukan merupakan 
hasil pemilihan bebas, namun hanya Allah semata-mata yang menciptakan 
segala tindakan secara langsung. Karenanya, tanggung jawab manusia 
merupakan hasil kehendak ilahiah yang diketahui melalui bimbingan wahyu.
Konsepsi ini dikenal sebagai subyektivisme teistis.
Di samping itu, teori keadilan juga menjadi landasan utama dalam 
filsafat hukum Islam, khususnya dalam pembahasan  maqasid al-syariah yang 
menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Teori maslahat di sini sama dengan teori 
keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum. Teori ini pertama kali dikenalkan 
oleh Imam al-Haramain al-Juwaini lalu dikembangkan oleh muridnya, al-Gazali. 
Ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus membahas  maqasid 
al-syari'ah adalah Izzuddin ibn Abd al-Salam dari kalangan Syafi'iyah. Dan 
pembahasan secara sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi dari kalangan 
Malikiyah dalam kitabnya  al-Muwafaqat. Di samping itu, at-Tufi juga ikut 
memberikan pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat.21
.

Kamis, 28 Juli 2011

Eksepsi Dalam Hukum Acara Perdata


Eksepsi adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak menyangkut pokok perkara. Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat penggugat dengan cara mencari kelemahan-kelemahan ataupun hal lain diluar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak/menerima gugatan.
Eksepsi dibagi menjadi 2 :
  1. Eksepsi Absolut ( menyangkut kompetensi pengadilan ) yakni :
a. Kompentensi absolut (pasal 134 HIR/Pasal 160 RBG) Kompentensi absolut dari pengadilan adalah menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara) termasuk juga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Daerah (P4D)/ Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Pusat (P4P) & wewenang Kantor Urusan Perumahan (KUP)
b. Kompentensi Relatif ( Psl. 133 HIR/Psl59 RBG/Putusan MA-RI tgl 13-9-1972 Reg. NO. 1340/K/Sip/1971 ) Kompentensi relatif adalah menyangkut wewenang pengadilan. Eksepsi kompentensi relatif diajukan sebagi keberatan pada saat kesempatan pertama tegugat ketika mengajukan JAWABAN. Eksepsi Absolut yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara ( Eksepsi van onbevoegdheid )
  1. Eksepsi Relatif : adalah suatu eksepsi yang tidak mengenai pokok perkara yang harus diajukan pada jawaban pertama tergugat memberikan jawaban meliputi :
a. Declinatoire Exceptie : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwewang memeriksa perkara /gugatan batal/perkara yang pada hakikatnya sama dan/atau masih dalam proses dan putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
b. Dilatoire Exceptie : Adalah eksepsi yang tidak menyangkut gugatan pokok sama sekali atau gugatan premature.
c. Premtoire Exceptie : Adalah eksepsi menyangkut gugatan pokok atau meskipun mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi mengemukan tambahan yang sangat prinsipal dan karenanya gugatan itu gagal
d. Disqualification Exceptie : Adalah eksepsi yang menyatakan bukan pengugat yang seharusnya mengugat, atau orang yang mengajukan gugatan itu dinyatakan tidak berhak.
e. Exceptie Obscuri Libelli : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat kabur ( Psl 125 ayat (1) HIR/Ps 149 ayat (1) RBG
f. Exceptie Plurium Litis Consortium : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa seharusnya digugat yang lain juga digugat. Hal ini karena ada keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap.
g. Exeptie Non–Adimpleti Contractus : Adalah eksepsi yang menyatakan saya tidak memenuhi prestasi saya, karena pihak lawan juga wanpresetasi. Keadaan ini dapat terjadi dalam hal persetujuan imbal balik.
h. Exceptie : yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai hukum tetap (azas ne bis in idem atau tidak dapat diadili lagi) Psl. 1917 BW ne bis in idem terjadi bila tututan berdasarkan alasan yang sama, dimajukan oleh dan terhadap orang yang sama dalam hubungan yang sama.
i. Exceptie Van Litispendentie : Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sama masih tergantung/masih dalam proses keadilan (belum ada kepastian hukum)
j. Exceptie Van Connexteit : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa perkara itu ada hubungannya dengan perkara yang masih ditangani oleh pengadilan/Instansi lain dan belum ada putusan.
k. Exceptie Van Beraad : Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan belum waktunya diajukan
Eksepsi relatif tidak hanya terbatas pada alasan–alasan seperti diatas. Dalam praktek dapat juga menjadi alasan mengajukan eksepsi relatif sebagai berikut :
a. Posita dan Petitum berbeda, misalkan terdapat hal–hal yang dimintakan dalam pentitum padahal sebelumnya hal itu tidak pernah disinggung dalam posita, Petitum tidak boleh lebih dari posita.
b. Kerugian tidak dirinci : dalam hal timbulnya kerugian harus dirinci maka kerugian mana harus dirinci satu persatu. Jika tidak dirinci dalam gugatan juga menjadi alasan mengajukan eksepsi.
c. Daluwarsa : suatu gugatan yang diajukan telah melebihi tenggang waktu Daluwarsa , maka hal tersebut menjadi alasan eksepsi.
d. Kualifikasi perbuatan Tergugat tidak jelas : Perumusan perbuatan/kesalahan tergugat yang tidak jelas akan menjadi alasan tergugat untuk mengajukan eksepsi.
e. Obyek gugatan tidak jelas : Obyek gugatan harus jelas, dapat dengan mudah dimengerti dan dirinci ciri–cirinya. Ketidak-jelasan obyek gugatan akan menjadi alasan bagi Tergugat mengajukan eksepsi.
f. Dan lain-lain eksepsi : eksepsi tersebut berbeda dengan jawaban (sangkalan) yang ditujukan terhadap pokok perkara. Sebaliknya eksepsi adalah eksepsi yang tiudak menyangkut perkara. Eksepsi yang diajukan tergugat kecuali mengenai tidak berwenangnya hakim (eksepsi absolut) tidak boleh diusulkan dan dipertimbangkan secara terpisah–pisah tetapi harus bersama–sama diperiksa dan diputuskan dengan pokok perkara (Pasal 136 HIR/Psl 162 RBG). Intisari dari isi eksepsi adalah agar Pengadilan menyatakan tidak dapat menerima atau tidak berwenang memeriksa perkara ( Psl 1454,Psl 1930,Psl 1941 BW, Psl 125/Psl 149 RBG, Ps 133 HIR/Psl 159 RBG dan Psl 136/Psl 162 RBG)




Hukum Seputar Anak-Anak


PENGERTIAN
  1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  3. Perlindungan Khusus : Perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari Kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
  4. Anak dalam situasi darurat terdiri atas anak yang menjadi pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam, dan anak dalam situasi konflik bersenjata.
  5. Anak yang berhadapan dengan hukum meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana.
  6. Anak dari Kelompok minoritas dan terisolasai atau komunitas adat terpencil adalah Kelompok yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi, maupun politik.
  7. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual adalah anak yang bekerja untuk membantu orang tua (karena pengaruh budaya) atau anak yang dipaksa bekerja oleh orang tua, keluarga, dan orang lain. Anak-anak tersebut tidak dibayar, hasil keringat mereka dinikmati orang lain.
  8. Anak yang diperdagangkan adalah kegiatan mendorong anak untuk masuk kedalam industri seks komersial. Kegiatan tersebut tidak hanya perbuatan melacurkan anak, tetapi juga penggunaan citra anak-anak untuk pornografi.
  9. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) yaitu menyangkut keterlibatan anak-anak dalam penggunaan, peredaran, dan perdagangan napza.
  10. Anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan adalah anak-anak, terutama anak perempuan yang menjadi korban perdagangan baik di dalam maupun lintas batas.
  11. Anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental merupakan anak-anak yang terancam secar fisik dan non fisik karena tindakan kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
  12. Anak yang menyandang cacat merupakan anak yang mengalami kecacatan sejak lahir dan mengalami kecelakaan atau kelalain pihak lain.
  13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran merupakan anak-anak yang mengalami masalah pemenuhan kebutuhan dan hak-haknya (rohani, jasmani, maupun sosial). Penyebab utamanya orangtua kurang mampu secara ekonomi dan psikologis.

Dasar Hukum
  1. UU No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak
  2. UU No. 23 tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
  3. UU No. 21 tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO)
  4. PP No. 9 tahun 2008, tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Perdagangan Orang.
  5. Perpres No. 69 tahun 2008, tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  6. Permen PP No. 1 tahun 2009, tentang Standar Pelayanan Minimum Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan atau Korban Perdagangan Orang.
  7. Permen PP No. 7 tahun 2008, tentang Sekretariat Gugus Tugas Pusat PTPPO
  8. Permen PP No. 8 tahun 2008, tentang Sub Gugus Tugas Pusat PTPPO
  9. Permen KoKesra No. 25 tahun 2009, tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) PTPPO dan Eksploitasi Seksual Anak (ESA) tahun 2009-2014.
  10. Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan.
  11. Panduan Jejaring Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum
  12. Keputusan Bersama Ketua MA, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, No. 166A/KMA/SKB/XII/2009, No. 148A/JA/12/2009, No. B/45/XII/2009, No. M.HH-08 HM.03.02 tahun 2009, No. 10/PRS-2/KPTS/2009, No. 02/Men.PP dan PA/XII/2009, tentang Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.