Sabtu, 09 Juni 2012



GENG MOTOR KEJAHATAN ATAU KENAKALAN

DADANG SUMARNA, SH
Mahasiswa Pasca Sarjana 
Magister Hukum 
UMJ

Anak adalah tulang punggung bangsa dan anak adalah generasi penerus bangsa. Kata-kata tersebut adalah suatu hal yang terus direproduksi dalam usaha-usaha untuk melindungi kepentingan dan hak-hak anak yang terjerat kasus hukum khususnya ditujukan pada criteria anak dengan usia di bawah 18 tahun yang terjerat kasus tindak pidana kekerasan geng motor yang telah mengakibatkan korban jiwa . Betap sakralnya hak-hak anak ini dalam kata-kata di kalimat pembuka di atas sehingga anak terus diagungkan untuk menjadi tumpuan dan harapan dalam menyongsong hari esok Indonesia yang lebih baik . Ketika seorang anak ditempatkan dalam posisi yang bersifat sentral terlepas dari tindak pidana yang telah dilakukannya , sejatinya pula terhadap anak ini perlu adanya perlindungan akan hak-hak dasrnya . Termasuk hak untuk memajukan pola pikirnya serta khususnya memajukan hak seorang anak dalam pemenuhan akan standar pendidikan di Indonesia . Umumnya yang terjadi di masyarakat , yang berbuat kejahatan dan melanggar aturan maka akan dikenai hukuman yang biasa dipakai yakni penjara .Dan menjadi ironis jika hal tersebut terjadi pada anak-anak dengan usia di bawah 18 tahun dengan mengacu pada Undang-undang perlindungan anak harus merasakan penjara atar perbuatan pidana yang telah dilakukan yang tentunya mereka akan kehilangan hak-haknya yang terpenting yakni pendidikan , dan hal tersebut ini akan terjadi pada pelaku tindak pidana kekerasan geng motor yang para pelakunya masih berusia belasan tahun dan masih duduk di bangku SMU sehingga bila pidana penjara diberlakukan baginya maka tentu haknya akan pendidikan akan berkurang bahkan tidak akan terpenuhi . Jika kita menunjuk definisi Geng Motor sebagai suatu definisi yang mutlak atau sebagai definisi yang telah berdiri sendiri maka tentunya kita akan mendapat kesulitan mengingat kata Genk Motor itu sendiri adalah suatu kalimat yang tak dapat didefinisikan sabagai satu arti yang mutlak,kecuali jika kita melihat definisi Geng Motor ini secara terpisah.
            Melihat fenomena yang terjadi belakangan ini mengenai aksi ulah para Geng Motor yang dalam salah satu ulahnya telah menewaskan salah seorang Pegawai Negeri Sipil dan masih banyak ulah-ulah geng motor ini dalam mengganggu ketertiban masyarakat, selain mencelakai atau membahayakan nyawa dan keselamatan orang lain juga mereka merusak fungsi dari fasilitas public. Yang nyata-nyata dari kesemuanya itu telah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai  perbuatan yang sangat tidak patut dilakukan hingga pihak Kepolisian yang merupakan salah satu sub system dari keseluruhan system peradilan pidana[1] harus bertindak ekstra cepat dalam menanggulangi masalah geng motor ini,salah satunya adalah pembentukan tim yang khusus dibentuk oleh pihak kepolisian khususnya di wilayah kota Bandung yang diyakini orang bahwa kota Bandung adalah asal muasal munculnya geng motor dari semua segi atau hal yang sering dilakukan geng motor itu sendiri terlepas dari perbuatan yang wajar dan perbuatan yang nyata-nyata telah meresahkan masyarakat_untuk menanggulangi aksi kekerasan yang dilakukan oleh geng motor ini ternyata telah membuahkan hasil dengan telah ditangkapnya pelaku kekerasan yang mengakibatkan meninggalnya korban.
            Maka dengan itu , setidaknya setelah didapatnya pelaku geng motor yang melakukan tindakan kekerasan terhadap orang yang tak bersalah tersebut diatas , dapat pula sedikit terkuak mengenai seluk beluk geng motor ini dimulai dari eksistensinya sebagai sebuah kumpulan orang dalam masyarakat yang memiliki hobi yang sama dalam hal motor hingga hal apa atau perbuatan apa saja yang telah dilakukannya sebagai suatu kumpulan orang dalam sebuah masyarakat yang sengaja diatur untuk suatu tujuan tertentu  hingga dari kedua arti geng motor dalam sudut pandang kumpulan masyarakat yang beberapa waktu lalu melakukan aksi yang sangat controversial karena aksinya tersebut dengan melakukan kekerasan berupa penganiayaan terhadap orang lain hingga meninggal dunia dapat mempermudah pihak Kepolisian sebagai penegak hukum melalui kebijakannya dalam menegakkan norma-norma sentral dalam masyarakat dapat terwujud hingga ketertiban ,perlindungan ,pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat dapat terlaksanakan tanpa kecuali.
            Lalu dengan terkuaknya seluk beluk geng motor tersebut sebagai suatu kumpulan orang dalam masyarakat setidaknya pula dapat diketahui bahwa sebenarnya anggota geng motor atau para pelaku yang melakukan aksi kekerasan dengan cara penganiayaan terhadap orang lain hingga meninggal dunia tersebut , ternyata kebanyakan dari usia mereka yang terlibat adalah masih berusia belasan tahun dan kebanyakan pula dari mereka masih tercatat sebagai siswa Sekolah Menengah Umum di wilayah kota Bandung.
            Dengan mengingat usia anggota geng motor serta para pelaku kekerasan yang menamakan dirinya sebagai anggota geng motor tersebut yang masih relative berusia belasan tahun dan masih duduk di bangku SMU , tak pelak lagi usaha berbagai pihak tertentu yang dalam hal ini para sub-sub system khususnya pihak kepolisian, mulai mengembangkan penyelidikkanya sebagai upaya dalam mencegah agar hal serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari maka pihak kepolisian dengan langkah preventifnya mengadakan kerja sama dengan semua sekolah di semua wilayah yang terjangkit aksi kekerasan geng motor ini termasuk dengan instansi pemerintah yang mengurusi hal pendidikan yang tak lain ialah Dinas Pendidikan itu sendiri.
            Dan jika pun permasalahan aksi kekerasan geng motor ini yang merupakan suatu perkara yang bersifat regional Jawa Barat khususnya kota Bandung semakin merebak hingga mengganggu stabilitas keamanan nasional , tentunya kemungkinan besar peranan geng motor sebagai suatu kumpulan orang dalam masyarakat dan juga kumpulan orang dalam masyarakat sebagai wujud dari kebebasan berserikat dan berkumpul yang diatur oleh konstitusi dapat dan sangat mungkin dikultuskan sebagai perkumpulan yang bertujuan untuk menciptakan keonaran terlepas dari hal baik apa saja yang telah dilakukan oleh geng motor yang tidak pernah terlibat dalam suatu aksi kekerasan Memang bisa dikatakan sangat dramatis jika kita mengingat bahwa para pelaku aksi kekerasan yang dilakukan oleh geng motor ini kebanyakan berusia belasan tahun atau masih duduk di bangku SMU yang rata-rata diantara mereka yang masih duduk di bangku SMU tersebut usianya berkisar antara 15 hingga 17 tahun dan tidak menutup kemungkinan usia SMU sekarang mencapai usia 18 tahun . Tentunya , ceritanya akan menjadi lain lagi jika usia seorang pelaku aksi kekerasan geng motor tersebut telah melewati usia 16 tahun yang berarti hal tersebut secara ketentuan undang-undang hukum pidana dapat dikenai ancaman pidana itu sendiri.Dan ceritanya pula akan berlainan lagi jika usia pelaku berumur 16 tahun dan tentunya pula jika melihat ketentuan mengenai batasan usia ,usia tersebut belum dapat dikenai pertanggung jawaban pidana.Dan diantara kedua cerita batasan umur menurut KUH Pidana tadi , maka penulis setidaknya melihat kondisi pelaku yang katakanlah telah berusia lebih dari 16 tahun yang berarti tentunya dapat dikenai ancaman pidana, akan tetapi melihat segi lain dengan mengingat bahwa pelaku tersebut masih duduk di bangku SMU  yang dilihat dari kondisi psikologisnya masih labil dan bahkan ,ketika dia sedang berada dalam pemenuhan hak-haknya dalam hal pendidikan , dia harus terpaksa meninggalkannya dengan alasan harus mempertanggung jawabkan secara pidana terhadap apa yang telah dilakukannya.

Akan tetapi amatan penulis tersebut diatas setidaknya dapat ternegasikan kembali dengan melihat ketentuan dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mengatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 Tahun dan belum kawin.Selain itu dalam ketentuan lain yang membahas tentang anak yakni dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak,batasan usia anak adalah belum berumur 18 tahun dan belum pernah kawin. Lalu dari kesemuanya itu, yakni dari kedua batasan dewasa menurut kedua ketentuan undang-undang tersebut diatas, batasan usia yang pasti menurut Dadang Sukmawijaya untuk tindak pidana anak adalah 8 tahun. Batasan usia 8 tahun tersebut dalam hal tindak pidana anak di Indonesia memang sangat rendah dan kurang memperhatikan kondisi mengenai hal pemenuhan hak dasarnya sebagai warga Negara dalam pendidikan. Dari hal tersebut,diperparah lagi dengan hal bentuk ancaman pidana berupa pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana yang berusia di bawah 18 tahun, ( kebanyakan pelaku kekerasan geng motor ini berusia 18 tahun ke bawah  dan pula masih mengenyam bangku pendidikan ) yang bukan merupakan solusi untuk membuat anak menjadi sadar atau lebih baik , maka justru dengan banyaknya anak yang ditahan , maka semakin banyak pula kejahatan-kejahatan yang akan terjadi di kemudian hari setelah si anak tersebut keluar.
Di sisi yang berbeda , pendapat lain mengemukakan bahwa solusi pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana di bawah 18 tahun dapat menimbulkan stigma atau cap jahat , selain itu pidana penjara tidak dapat dijatuhkan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dan lebih tepat dipilih ancam,ancaman pidana yang tidak menimbulkan stigmatisasi , pidana denda , pidana dengan syarat , akan tetapi ancaman pidana tersebut bersifat mengfungsionalisasikan pada suatu hal yang memiliki dampak positif bagi anak sebagai pelaku tindak pidana Di sisi lain jika melihat fenomena geng motor dengan usia belasan tahun dengan pendapat tentang pertanggung jawaban pidana sebagai dasar dari adanya suatu kesalahan ,maka pelaku kekerasan yang dilakukan oleh anggota geng motor tadi yang terbukti bersalah oleh putusan pengadilan atas suatu perbuatan yang telah dilakukannya itu , tentunya pidana akan diberikan kepada si pelaku yang bersalah tadi danselain itu pidana tersebut pun harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku , ini berarti harus ada kelonggaran / fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana apa yang tepat bagi si terdakwa.
Mengenai solusi pemenjaraan bagi pelaku di bawah usia 18 tahun tersebut jika dilihat dari segi politik criminal yang tentunya dengan mempertimbangkan perkembangan zaman, solusi pidana penjara bagi pelaku tindak pidana dengan usia di bawah 18 tahun tersebut bersifat pembangunan terhadap hukum nasional,akan tetapi pembangunan hukum itu sendiri dapat bersifat kriminogen apabila :
1.Tidak direncanakan secara rasional.
2.Perencanaannya tidak seimbang.
3.Mengabaikan nilai-nilai cultural dan moral, serta
4.Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral.

                  Seperti yang telah diketahui bahwa pelaku tindak pidana kekerasan oleh geng motor ini rata-rata usianya masih belasan
 tahun dan kebanyakan pula dari mereka masih duduk di bangku SMU , maka setidaknya ancaman hukuman pidana yang akan diterapkan bagi pelaku tindak pidana kekerasan oleh geng motor ini yang masih berusia di bawah 18 tahun tidak mengurangi bahkan tidak menghilangkan hak-haknya dalam pemenuhan standar pendidikan di Indonesia sebagaimana yang telah diatur oleh konstitusi Republik Indonesia,UUD 1945 . Akan tetapi , jika melihatnya dari segi lain bahwa penegakkan hukum ( Law Enforcement )pun harus ditegakkan pula oleh para penegak hukum tanpa pengecualian . Adapun anggapan bahwa sanksi pidana yang diterima oleh pelaku itu hanya merupakan suatu segmen dalam pencegahan kejahatan di masyarakat dan juga sebagai upaya Situational Crime Prevention  yang menekankan pada usaha mengurangi kesempatan melakukan kejahatan yang serupa.
Meskipun demikian bahwa kebijakan integral dari masing-masing sub-sub system tentunya harus memperhitungkan dengan keadaan di sekitar pelaku tindak pidana geng motor dalam hal ini terutama , meskipun seorang pelaku tindak pidana dalam hal ini anggota geng motor dinyatakan telah bersalah , akan tetapi harus pula diperhatikan mengenai hak-haknya yang telah diatur oleh Negara terutama dalam hal pendidikan.Jadi meskipun seorang pelaku geng motor yang masih duduk di bangku SMU dinyatakan bersalah, bukan berarti hak-haknya dalam pemenuhan standar pendidikan dapat dikurangi atau bahkan hilang begitu saja.
Di lain hal mengingat bahwa meskipun berlaku pidana penjara bagi pelaku tindak pidana kekerasan oleh geng motor tersebut , harus dipertanyakan pula apakah dewasa ini atau lebih tepatnya efektifkah pidana penjara bagi para pelaku tindak pidana dengan usia belasan tahun yang sebenarnya masih membutuhkan pembinaan yang benar-benar matang selain dengan pidana penjara .
Istilah penjara dari segi hakikat pengertiannya memanglah sangat matang akan tetapi sesuai dengan keadaan sekarang dimana istilah pidana penjara bagi anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana hanya akan menimbulkan suatu stigmatisasi yang sangat kuat di masyarakat sebagai anak yang tidak tahu diri , criminal dan lain sebagainya.
Dan meskipun itu harus berlaku harus pula  ada alternative treatment bagi pelaku tindak kekerasan oleh geng motor maupun pelaku tindak pidana anak lainnya.Alternatif tersebut tentunya harus mengarah pada restorative justice bagi si anak dimana hukuman tidak melulu bersifat keadilan pembalasan  ( retributive ) akan tetapi harus bersifat hukuman  yang bersifat pemulihan .

KESIMPULAN
Dari uraian diatas,dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan pidana dalam hal ancaman pidana penjara bagi pelaku tindak pidana geng motor yang masih berusia belasan tahun yang masih duduk di bangku sekolah ini pula setidaknya tidak bersifat mengurangi atau bahkan menghilangkan hak-haknya akan pemenuhan standar pendidikan nasional di Indonesia.
Selain itu meskipun pidana penjara harus berlaku bagi mereka ( pelaku kekerasan geng motor ) , maka pidana penjara yang memang harus berlaku adalah pidana penjara yang memang dibuat secara khusus untuk usia di bawaha 18 tahun dan pidana penjara yang berlaku ini pula harus berupa pidana penjara yang bersifat pemulihan secara mutlak terhadap kondisi si pelaku tindak pidana khususnya pelaku tindak pidana geng motor .
Dengan maraknya aksi kekerasan geng motor ini setidaknya pemerintah eksekutif dapat memikirkan tentang bagaimana caranya menanggulangi permassalahan serupa tanpa harus membubarkan geng motor,karena pada dasarnya geng motor ini dapat bersikap sebagaimana mestinya dan pula sesuai dengan hobinya jika ada suatu space atau lahan yang memfasilitasinya.
Istilah penjara dari segi hakikat pengertiannya memanglah sangat matang akan tetapi sesuai dengan keadaan sekarang dimana istilah pidana penjara bagi anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana, hanya akan menimbulkan suatu stigmatisasi yang sangat kuat di masyarakat sebagai anak yang tidak tahu diri , criminal dan lain sebagainya hingga usaha pembinaan terhadap anak tersebut yang seharusnya dilanjutkan kembali setelah masa pidananya selesai akan terhambat karena stigmatisasi tersebut.
Dan meskipun hal tersebut harus berlaku dalam artian pidana penjara maka harus pula  disertai dengan adanya alternative treatment bagi pelaku tindak kekerasan oleh geng motor maupun pelaku tindak pidana anak lainnya.Alternatif tersebut tentunya harus mengarah pada restorative justice bagi si anak dimana hukuman tidak melulu bersifat keadilan pembalasan  ( retributive ) akan tetapi harus bersifat hukuman  yang bersifat pemulihan .
Jadi pada intinya , kesimpulan ini mentitik beratkan pada satu hal yakni bahwa pidana penjara bagia pelaku tindak pidana yang masih berusia di bawah 18 tahun khususnya bagi para pelaku tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh geng motor ini akan dirasakan kurang efektif karena justru akan menghentikan proses perkembangan pola pikir mereka terhadap pembinaan pendidikan mereka sendiri.

________________________________________
[1] IS.Heru Permana , Politik Kriminal,Universitas Atma Jaya,Yogyajarta 2007
[2] KANSIL,CST.,DRS,S.H,Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia,Balai Pustaka,Jakarta 1989
[3] Prof.Sudarto seperti yang dikutip oleh Prof.Dr.Barda Nawawi Arif,S.H, dalam Bunga Rampai Kebijakan
  Hukum Pidana,Citra Aditya Bakti,Bandung 2005
[4] Bunyi Pasal 2 Undang-undang No.2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[5] Bunyi pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
[6] Bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
[7] Dadang Sukmawijaya dalam jurnal media perlindungan anak RESTORATIVE.edisi VIII Volume III 2007
[8] Ibid.
[9] Dwidja Priyatno Loc.Cit.
[10] Prof.Simons seperti dikutp oleh Sofjan Sastrawidjaja dalam Hukum Pidana I,Armico,Bandung 1990
[11] Arief,Barda Nawai,Prof.Dr.,S.H.,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Citra Aditya Bakti,Bandung 2005.
[12] Meningkatkan kriminalitas
[13] IS.Heru Permana , Politik Kriminal,Universitas Atma Jaya,Yogyajarta 2007
[14] Ibid


Tidak ada komentar:

Posting Komentar