Sabtu, 05 Maret 2011


BAB II
LATAR BELAKANG PEMBUATAN AKTE JAMINAN FIDUSIA
SECARA NOTARIL
1. Undang-Undang Jaminan Fidusia Sebagai Ketentuan Yang Mengatur
Lembaga Jaminan Fidusia
A. Pengertian Jaminan Fidusia
Sebagai suatu lembaga jaminan, pengertian fidusia telah ditemukan dan
dikenal dalam masyarakat hukum Romawi dengan nama fidusia cum creditore
contracta, yaitu janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditor di mana diperjanjikan
debitor akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditornya sebagai
jaminan utang dengan kesepakatan bahwa kreditor akan mengalihkan kembali
kepemilikan atas suatu benda tersebut kepada debitor bilamana utangnya sudah
dilunasi.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
membedakan definisi fidusia dengan jaminan fidusia. Dalam Pasal 1 angka 1
disebutkan .fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Kemudian Pasal 1 butir 2
menyebutkan, .jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya..
Rumusan yang membedakan pengertian fidusia dengan jaminan fidusia
menimbulkan anggapan bahwa Undang-U ndang Nomor 42 Tahun 1999 telah
memberikan nama baru bagi lembaga hak jaminan yang semula dikenal sebagai
fidusia, yaitu jaminan fidusia.41 Rupanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
membedakan antara fidusia sebagai suatu perbuatan hukum pengalihan hak
kepemilikan atas dasar kepercayaan dengan fidusia sebagai suatu lembaga jaminan.
Akan tetapi pembedaan ini masih dapat dipertanyakan konsistensinya jika melihat
ternyata Undang-Undang ini menyebut pemberi fidusia terhadap pihak yang memberi
jaminan fidusia dan penerima fidusia terhadap kreditor selaku pihak yang menerima
jaminan fidusia.42 Apalagi jika kemudian kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 33
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yang berbunyi, .setiap janji yang
memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk memiliki benda yang
menjadi objek jaminan fidusia apabila kreditor cedera janji, batal demi hukum..
Sehingga berkaitan dengan hal di atas Bachtiar Sibarani mengatakan :
ternyata pemakaian istilah dan pengertian fidusia dalam Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tidak berguna sama sekali. Artinya sekiranya istilah
dan arti fidusia dihilangkan maka pengikatan dan eksekusi pengikatan barang
bergerak yang dalam penguasaan pemiliknya tidak terpengaruh. Oleh karena
itu sesuai dengan materi yang diatur didalamnya, maka judul yang cocok
41 Arie Sukanti Hutagalung, Op.Cit, hal. 728.
42 Ibid

untuk Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 adalah tentang Hak
Tanggungan Atas Barang Bergerak. Kalau mau judul itu dapat ditambah dengan
perkataan .di luar gadai. atau .Yang dikuasai oleh pemilik..43
Unsur yang terkadung dalam rumusan jaminan fidusia sebagaimana bunyi
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahuun 1999 adalah :
a. Hak jaminan;
b. Benda bergerak;
c. Benda
d. Tidak bergerak, khususnya bangunan;
e. Tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan;
f. Sebagai agunan;
g. Untuk pelunasan utang;
h. Kedudukan yang diutamakan.
Unsur hak jaminan dalam jaminan fidusia adalah hak yang memberikan
kepada kreditor suatu kedudukan yang lebih baik dari kreditor lain yang tidak
memperjanjikan hak jaminan, baik hak jaminan kebendaan maupun jaminan hak
pribadi. Hak jaminan yang demikian ini biasa disebut dengan hak preferen atau dalam
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia disebut dengan hak yang diutamakan (Pasal
1 sub 2) dan hak yang didahulukan (Pasal 27).
43 Ibid, hal. 738.

Hak preferen dalam jaminan fidusia ternyata dapat dikritisi jika kita
hubungkan dengan konstruksi hukum cinstitutum possesorium yang melekat pada
fidusia. Dalam konstruksi hukum ini terjadi peralihan kepemilikan benda agunan
kepada kreditor walaupun secara fisik benda tersebut tetap dikuasi pemberi (jaminan)
fidusia. Adalah hal yang wajar jika dalam konstruksi hukum yang demikian pihak
kreditor yang selaku penerima fidusia menerima uang hasil penjualan benda agunan
yang sebenarnya sudah dimiliki. Sehingga dalam hal ini hak preferen tidaklah
menjadi masalah.44
Tiga unsur berikutnya dalam rumusan jaminan fidusia adalah benda bergerak,
benda tidak bergerak khususnya bangunan dan unsur tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan. Ketiga unsur ini adalah benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia,
termasuk di dalamnya adalah piutang.
Selanjutnya adalah unsur sebagai agunan. Unsur ini berhubungan dengan
unsur hak jaminan. Yang ditekankan dalam unsur ini adalah walaupun terjadi
penyerahan hak kepemilikan atas benda yang menjadi agunan akan tetapi hanyalah
dimaksudkan sebagai jaminan atas pelunasan utang debitor kepada kreditor. Dalam
konteks prefensi, unsur ini memberikan kepada pihak kreditor yang secara khusus
menerima benda agunan suatu kedudukan yang lebih baik dibanding kreditor lain
yang tidak memperjanjikan hak jaminan.
44 J. Satrio, Op.Cit, hal. 165.

Sedangkan unsur berikut yaitu unsur untuk pelunasan suatu utang memberi
penekanan bahwa perjanjian pemberian jaminan fidusia bersifat assecoir, perjanjian
pemberian jaminan dapat dibuat jika terdapat perjanjian pokoknya yaitu perjanjian
kredit.
Unsur terakhir yaitu kedudukan yang diutamakan. Unsur ini menekankan
bahwa kreditor preferen mempunyai kedudukan yang diutamakan atau didahulukan
daripada kreditor konkuren.
B. Sejarah dan Perkembangan Jaminan Fidusia
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, di Indonesia saat ini dikenal bentuk hak
jaminan, yaitu :45
- Hak tanggungan, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan
dengan Tanah (UUHT);
- Hipotik, diatur dalam Pasal 314 KUH Dagang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Pelayaran beserta PP Nomor 23 Tahun 1985 bagi Hipotik Kapal
dan dalam Pasal 12 UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan bagi Hipotik
Pesawat;
- Gadai (Pand), diatur dalam Pasal 1150-1160 KUH Perdata;
- Fidusia, diatur dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; dan
45 Mariam Darus Badruzzaman, Op.Cit, hal. 5.

- Jaminan pribadi (Borgtocht/Personal Guarantee) yang diatur dalam Pasal 1820-
1850 KUH Perdata. Khusus pada jenis jaminan ini penulis dapat tambahkan
bahwa yang dimaksud adalah jenis jaminan penangguhan secara umum sehingga
jaminan perusahaan (corporate guarantee) termasuk pada jenis jaminan ini.
Sebagai suatu hak jaminan kebendaan, jaminan fidusia yang saat ini
pengaturannya tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan praktis masyarakat. Jika
terhadap benda-benda bergerak sepenuhnya dipergunakan lembaga jaminan
kebendaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata yaitu gadai
yang mensyaratkan kekuasaan atas benda yang digadaikan tidak boleh berada pada
pemberi gadai, maka tentunya hal ini akan menimbulkan hambatan pada
debitor/pemberi jaminan yang menjalankan kegiatan usaha tertentu di mana
penguasaan benda yang menjadi agunan justru diperlukan dalam kegiatan usahanya.
Kebutuhan praktis dalam masyarakat terjawab oleh konstruksi penyerahan
jaminan kebendaan yang dinamakan constitutum possesorium, yaitu suatu bentuk
penyerahan jaminan kebendaan atas barang bergerak yang dilakukan oleh pemberi
jaminan/debitor kepada kreditor di mana penguasaan fisik atas barang itu tetap pada
debitor/pemberi jaminan, dengan ketentuan bahwa jika debitor melunasi utangnya
sesuai yang diperjanjian, maka kreditor berkewajiban untuk hak milik atas barang
agunan kepada debitor/pemberi jaminan. Konstruksi constitutum possesorium inilah
yang melandasi berkembangnya lembaga jaminan fidusia.

Perkembangan pada zaman Romawi, didahului pengenalan terhadap asal kata
fides yang mengandung arti kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa pihak yang
menerima fidusia bersedia mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan
setelah terjadi pelunasan utang. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pihak
pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang agunan yang tetap dikuasai oleh
pemberi fidusia.
Ketika itu pada masyarakat Romawi dikenal dua bentuk jaminan fidusia.
Yang pertama adalah apa yang disebut fidusia cum creditore dan yang kedua adalah
apa yang disebut dengan fidusia cum amico. Keduanya timbul dari suatu bentuk
perjanjian yang disebut factum fiduciae yang mengharuskan adanya penyerahan hak
atau disebut in iure cessio. Pada bentuk fidusia yang pertama kewenangan yang
dimiliki oleh kreditor akan lebih besar karena dianggap sebagai pemilik atas benda
agunan yang diserahkan. Sebaliknya debitor percaya bahwa kreditor tidak akan
menyalahgunakan atas penyerahan hak milik benda agunan tadi. Sedangkan bentuk
fidusia yang kedua atau dikenal dengan fidusia cum amico contracta adalah suatu
bentuk fidusia yang sama dengan lembaga trust pada sistem hukum cammon law.
Lembaga ini sering digunakan dalam hal seorang pemilik suatu benda harus
mengadakan perjalanan ke luar kota dan sehubungan dengan itu menitipkan
kepemilikan benda tersebut kepada temannya dengan janji bahwa temannya tersebut

akan mengembalikan kepemilikan benda tersebut jika pemiliknya kembali dari
perjalanan.46
Kelemahan bentuk fidusia cum creditore adalah tidak adanya perlindungan
yang didapat oleh pihak debitor. Pihak debitor hanya memperoleh kekuatan yang
diperoleh berdasarkan kepercayaan dan moral belaka.47 Kelemahan tersebut yang
menyebabkan fidusia terdesak dan akhirnya hilang sama sekali dari hukum Romawi.
Di negara Belanda keberadaan lembaga jaminan fidusia awalnya mendapat
tantangan yang keras dari yurisprudensi karena dianggap menyimpang
(wetsontduiking) dari ketentuan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata. Tidak memenuhi
syarat tentang harus adanya causa yang diperkenankan.48 Tetapi kemudian melalui
Bierbrouwerij Arrest tertanggal 25 Januari 1929, Hoge Raad telah mengakui lembaga
jaminan ini.
Walaupun lembaga jaminan fidusia ini tumbuh dari kebutuhan praktis
masyarakat, akan tetapi pertimbangan yang diberikan oleh Hoge Raad pada waktu itu
lebih menitikberatkan segi hukumnya daripada segi kemasyarakatannya.49 Hal ini
akan sangat mempengaruhi perkembangan lembaga jaminan ini dikemudian hari.
Di Indonesia lembaga jaminan fidusia pertama kali memperoleh pengakuan
melalui Arrest Hoggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 dalam perkara antara
46 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Cetakan ke-3, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003, hal. 121.
47 Ibid, hal, 120.
48 H. Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Cetakan I, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 29.
49 Ibid.

Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) melawan Clignet. Arrest ini memutuskan
bahwa walaupun lembaga jaminan kebendaan benda bergerak dalam KUH Perdata
adalah berupa gadai akan tetapi tidak tertutup kemungkinan para pihak mengadakan
perjanjian lain bilamana dirasakan perjanjian gadai tidak cocok untuk mengatur
hubungan hukum pengikatan jaminan kebendaan diantara mereka.
Perjanjian fidusia dianggap bersifat memberikan jaminan dan tidak
dimaksudkan sebagai perjanjian gadai sehingga menurut Hoggerechtshof, karena
fidusia bukan perjanjian gadai maka tidak perlu memenuhi unsur-unsur gadai.50
Lahirnya arrest ini dipengaruhi oleh kebutuhan yang mendesak dari pengusaha kecil,
pengecer, pedagang menengah, pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit
untuk pengembangan usahanya tanpa perlu alat-alat produksi ataupun benda
persediaan diserahkan kepada pihak kreditor dikarenakan diperlukan dalam
menjalankan kegiatan usahanya.
C. Ruang Lingkup, Objek, dan Subjek Dalam Jaminan Fidusia
Ruang lingkup jaminan fidusia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 Undang-
Undang Tentang Jaminan Fidusia yang menegaskan bahwa, .Undang-undang ini berlaku
terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan
fidusia.. Sedangkan Pasal 3 menegaskan bahwa, .Undang-undang ini tidak berlaku
terhadap: a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda
50 J. Satrio, Op.Cit, hal. 156.

tersebut wajib didaftar, b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor
berukuran 20 (dua puluh) M3 atau lebih, c. Hipotek atas pesawat terbang, dan d.
Gadai..
Membicarakan ruang lingkup jaminan fidusia sebagaimana ketentuan Pasal 2
di atas berarti membicarakan benda yang dapat dibebani jaminan fidusia. Pengertian
benda seperti tercantum dalam ketentuan Pasal 1 butir 4 adalah, .segala sesuatu yang
dapat dimiliki dan dialihkan, baik yan berwujud maupun yang tidak bergerak yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek..
Jika kita memperhatikan ketentuan Pasal 9 Undang-undang tentang Jaminan
Fidusia, ditegaskan bahwa, .jaminan fidusia dapat diberikan terhadap satu atau lebih
satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan
diberikan maupun yang diperoleh kemudian.. Ketentuan Pasal ini menegaskan bahwa
selain benda sebagaimana ditentukan Pasal 1 butir 4, yang dapat menjadi objek
jaminan fidusia adalah termasuk piutang. Jadi seseorang yang mempunyai hak untuk
menerima pembayaran dari orang lain, dapat mengagunkan haknya tersebut sebagai
pelunasan atas perikatan utang piutang (perjanjian kredit) yang dibuatnya dengan
pihak kreditor. Hal ini yang membuat lembaga jaminan fidusia dapat menggantikan
FEO dan cessie jaminan atas piutang-piutang (zekerheidscessie van
schuldvorderingen, fiduciary assignment of receivables) yang dalam praktek
pemberian kredit banyak digunakan.

Selanjutnya ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia
mengatur bahwa selain benda yang sudah dimiliki pada saat dibuatnya jaminan
fidusia, juga benda termasuk piutang yang diperoleh kemudian dapat dibebani dengan
jaminan fidusia. Ini berarti benda dan piutang tersebut demi hukum akan dibebani
dengan jaminan fidusia pada saat benda dan piutang dimaksud menjadi milik pemberi
fidusia. Berkenaan dengan pembebanan jaminan fidusia atas benda yang termasuk
piutang yang diperoleh kemudian itu, Pasal 9 ayat (2) menetapkan bahwa tidak perlu
dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri. Hal ini dimungkinkan karena
dilakukan konstruksi hukum pengalihan hak kepemilikan sekarang untuk nantinya
(nu voor alsdan) terhadap benda dan piutang tersebut. Menurut Fred B.G. Tumbuan,
konstruksi hukum ini akan sangat membantu dan menunjang pembiayaan pengadaan
pembelian persediaan (stock) bahan baku, bahan penolong dan barang jadi.51
Mengenai objek jaminan fidusia ini selanjutnya dapat kita lihat ketentuan
Pasal 10 Undang-Undang Tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi, .Kecuali
diperjanjikan lain: a. jaminan fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, b. jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang
menjadi objek jaminan fidusia diasuransikan.. Ketentuan ini rupanya juga terdapat
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf I Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan
Pasal 297 KUH Dagang berkaitan dengan hipotik.
51 Sukanti Hutagalung, Op.Cit, hal. 687.

Objek jaminan fidusia sebagai yang disimpulkan dari Pasal 1 sub 2 Undang-
Undang Fidusia dan sebagai yang ditentukan dalam Pasal 1 sub 4 dan Pasal 3
Undang-Undang Fidusia, mendapat penjabarannya lebih lanjut dalam Pasal 9
Undang-Undang Fidusia yang mengatakan, bahwa:
Jaminan fidusia dapat diberikan terhadap 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis
benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan
maupun yang diperoleh kemudian.
Dari ketentuan tersebut, objek jaminan fidusia bisa 1 (satu) benda tertentu
atau lebih. Benda jaminan itu bisa merupakan benda yang tertentu atau disebutkan
berdasarkan jenis.
Selanjutnya objek jaminan fidusia meliputi, benda berwujud maupun benda
yang tidak berwujud, yaitu piutang/tagihan dan tagihan itu meliputi baik yang sudah
ada maupun yang akan ada. Berbicara tentang tagihan yang akan ada mengingatkan
kepada akan permasalahan gadai atas tagihan atas nama, yang dalam prakteknya
dilaksanakan dengan cara cessie, tagihan yang bersangkutan kepada kreditur.
Karena cessie merupakan penyerahan tagihan atas nama, agar dengan itu
tagihan menjadi hak dari kreditor/cessionaris, maka fidusia tagihan mempunyai
persamaan dengan cessie tagihan. Kedua-duanya merupakan penyerahan hak milik
yang hanya dimaksudkan sebagai jaminan saja. Oleh karenanya di sini berlaku juga
apa yang sudah dibahas di depan mengenai cessie sebagai jaminan.52
52 J. Satrio, Op.Cit, hal. 45.

Untuk menghindarkan kesulitan dan keruwetan di kemudian hari, dalam Pasal
10 Undang-Undang Fidusia sudah ditetapkan, bahwa jaminan fidusia meliputi semua
hasil dari benda jaminan fidusia dan klaim asuransi.
Karena tidak ada satu pun ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia, yang
mengatakan, bahwa fidusia yang tida didaftarkan adalah tida sah, maka ketentuan
tersebut di atas ditafsirkan, bahwa untuk berlakunya ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang Fidusia maka haruslah dipenuhi syarat, bahwa benda jaminan
fidusia itu didaftarkan.
Dalam perjanjian antara kreditor dengan debitor dapat ditentukan bahwa atas
barang-barang tersebut, kreditor dapat mengambil pelunasan lebih dahulu daripada
kreditor lain (demikian itu intinya perjanjian gadai, hipotik, hak tanggungan dan fidusia).
Menurut J. Satrio, asas persamaan antara sesama kreditor (Pasal 1132 KUH
Perdata) disimpangi, baik oleh Undang-Undang sendiri (prevelege) maupun oleh
perjanjian antara kreditor dan debitor (gadai, hipotik, di luar KUH Perdata : hak
tanggungan dan fidusia).53
Hak jaminan kebendaan adalah hak-hak kreditor untuk didahulukan dalam
pengambilan pelunasan daripada kreditor-kreditor lain, atas hasil penjualan suatu
benda tertentu atau sekelompok benda tertentu, yang secara khusus diperikatkan.
Tampak sekali dalam perumusan tersebut di atas, demikian pula jelas sekali
disebut, bahwa hak preferen tersebut tertuju pada hasil eksekusi/hasil penjualan paksa
53 Ibid, hal. 13.

di muka umum dengan konsekuensinya, masalah prefensi baru tampak di dalam suatu
eksekusi.
Hak jaminan kebendaan adalah hak yang memberikan kepada seorang
kreditor kedudukan yang lebih baik, karena:
- Kreditor didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas
tagihannya atas hasil penjualan benda tertentu atau sekelompok benda tertentu
milik debitor dan/atau
- Ada benda tertentu milik debitor yang dipegang oleh kreditor atau terikat kepada
hak kreditor, yang berharga bagi debitor dan dapat memberikan suatu tekanan
psikologis terhadap kreditor. Di sini adanya semacam tekanan psikologis kepada
debitor untuk melunasi hutang-hutangnya adalah karena benda yang dipakai
sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga baginya. Sifat
manusia untuk berusaha mempertahankan apa yang berharga dan telah dianggap
atau diakui telah menjadi miliknya, menjadi dasar hukum jaminan.
Menurut J. Satrio, hak jaminan kebendaan, sesuai dengan sifat-sifat hak
kebendaan, memberikan warna tertentu yang khas, yaitu :
1. Mempunyai hubungan langsung dengan/atas benda tertentu milik debitor
2. Dapat dipertahankan maupun ditujukan kepada siapa saja (semua orang)
3. Mempunyai sifat droit de suite, artinya hak tersebut mengikuti bendanya di
tangan siapapun berada

4. Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
5. Dapat dipindahtangankan/dialihkan kepada orang lain.54
Atas dasar ciri-ciri tersebut, maka benda jaminan, pada hak jaminan
kebendaan, harus benda yang dapat dialihkan dan mempunyai nilai jual (ekonomis).
Sedangkan hak jaminan perorangan adalah hak yang memberikan kepada
kreditor suatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari seorang debitor
yang dapat ditagih. Adapun maksud perkataan lebih baik di atas adalah lebih baik
daripada kreditor yang tidak mempunyai hak jaminan (khusus), atau lebih baik
dari jaminan umum.
Adanya lebih dari seorang debitor, bisa karena ada debitor serta tanggungmenanggung
atau karena adanya orang pihak ketiga yang mengikatkan dirinya
sebagai borg.
Hak jaminan tampak sekali mempunyai arti penting, kalau kekayaan yang
dimiliki debitur tidak mencukupi guna melunasi semua hutangnya, atau dengan
perkataan lain kalau pasivanya melebihi aktivanya. Kalau kekayaan debitor cukup
untuk menutupi semua hutangnya, maka berdasarkan Pasal 1131 semua kreditor akan
menerima pelunasan, karena pada prinsipnya semua kekayaan debitor dapat diambil
untuk pelunasan hutang. Paling-paling dalam hal seperti itu ada kreditor yang lebih
mudah dalam mengambil pelunasannya, tetapi semuanya mempunyai kesempatan
untuk terpenuhi.
54 Ibid.

Lagi pula masalah hak-hak jaminan baru muncul kalau ada lebih dari seorang
kreditor yang melaksanakan eksekusi. Kalau hanya ada seorang kreditor saja, maka ia
dapat dengan tenang mulai dengan melaksanakan eksekusi atas barang yang kesatu,
kemudian barang yang kedua, ketiga dan selanjutnya sampai piutangnya terlunasi
semua atau barang debitor habis terjual.
Kalau ada lebih dari 1 (satu) orang kreditor, sebab kreditor yang lain dapat
melawan (verzetten) terhadap pengambilan uang hasil penjualan (Pasal 461 R.v) atau
kreditor yang lain tersebut juga dapat meminta putusan hakim, agar ia pun diberikan
wewenang untuk melaksanakan eksekusi atas harta kekayaan debitor dan dengan
keputusan hakim dapat turut menikmati hasil penjualan yang dilakukan atas inisiatif
kreditor pertama (Pasal 201, Pasal 202, Pasal 203, dan Pasal 204 HIR). Adanya
kreditor lain yang turut menuntut eksekusi dapat mengakibatkan hakim membuat
suatu daftar piutang dan menentukan urutan-urutan tingkat kreditor (rangregeling)
untuk pembagian hasil penjualan (Pasal 204 HIR, Pasal 484, Pasal 485 dan Pasal 486
R.v).
Mengacu pada pengertian yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1992 maka jika membicarakan mengenai subjek jaminan fidusia
kita harus melihat pengertian dari pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi
fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang perseorangan atau

korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan
fidusia.
Pihak pemberi fidusia dalam praktik pemberian kredit tidak selalu bertindak
selaku debitor artinya antara pemberi fidusia dengan pihak debitor berlainan. Disini
terjadi satu pihak menyerahkan benda yang dimilikinya untuk menjamin pihak
lainnya dalam perikatan utang-piutang yang dibuat oleh pihak lain tersebut.
Sebaliknya penerima fidusia akan selalu bertindak selaku kreditor dalam hubungan
perikatan utang piutang yang dibuat.
Pasal 8 Undang-Undang Fidusia dengan tegas mengatakan, bahwa fidusia bisa
diberikan kepada lebih dari 1 (satu) orang penerima fidusia. Maksudnya adalah,
bahwa benda jaminan fidusia yang sama diberikan sebagai jaminan kepada lebih dari
1 (satu) orang kreditor. Karena penerima fidusia adalah kreditor yang mempunyai
piutang (Pasal 1 sub 6 Undang-Undang Fidusia), maka dapat dikatakan, bahwa
fidusia dapat dipakai untuk menjamin lebih dari 1 (satu) orang kreditor.
Menurut J. Satrio, kalau penjaminan kepada lebih dari satu kreditor
dituangkan dalam 1 (satu) akta penjaminan, tidak ada masalah, tetapi kalau hal itu
dituangkan dalam lebih dari 1 (satu) akta penjaminan, maka kita akan terbentur
kepada Pasal 17 Undang-Undang Fidusia.55
55 Ibid.

Dari penjelasan atas Pasal 8 Undang-Undang Fidusia, dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud oleh Pasal 8 Undang-Undang Fidusia adalah penjaminan yang
dituangkan dalam 1 (satu) akta penjaminan. Hal itu disimpulkan dari kata-kata .kredit
konsortium.. Bahwa jaminan itu bisa diberikan juga kepada kuasa atau wakil dari
penerima fidusia kiranya tidak perlu disebut. Yang mana kuasa dan wakil bertindak
untuk dan atas nama prinsipal/yang diwakili. Yang penting adalah kuasa/wakil itu
memenuhi semua syarat hukum untuk bertindak sebagai kuasa/wakil.
Dengan adanya daftar urut-urutan tingkatan kreditor untuk pembagian hasil
penjualan, maka kedudukan para kreditor diatur menurut kedudukan hukum hak
tagihan mereka. Piutang yang didahulukan (tagihan yang prefrent) mendapat
pelunasan lebih dahulu dari hasil eksekusi, sedang sisanya untuk para kreditor
konkuren, yang berarti bahwa kalau sisanya tidak mencukupi, para kreditor
konkuren tidak akan mendapatkan pelunasan sepenuhnya atau tidak sama sekali.
Diantara kreditor preferent juga diatur tingkatannya; antara sesama kreditor
preferent berlaku pembagian pond.s-pond.s (Pasal 1136 KUH Perdata).56
Adanya tingkat-tingkatan kreditor yang merupakan perkecualian atas asas
persamaan di antara para kreditor, yang terkenal dengan sebutan paritas creditorium
(Pasal 1132 KUH Perdata) di mana kreditor yang 1 (satu) dianggap berkedudukan
lebih tinggi dari yang lain, merupakan gejala umum yang terdapat dalam banyak
sistem hukum.
56 Ibid.

Pasal 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia memberikan batas ruang lingkup
berlakunya UU No. 42 Tahun 1999 yaitu berlaku terhadap setiap perjanjian yang
bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia, yang dipertegas kembali
oleh rumusan yang dimuat dalam Pasal 3 UU No. 42 Tahun 1999 dengan tegas
menyatakan bahwa UU No. 42 Tahun 1999 ini tidak berlaku terhadap :
a. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang
peraturang perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas bendabenda
tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain
yang tidak dapat dibebani hak tanggungan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia.
b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) M3
atau lebih.
c. Hipotek atas pesawat terbang; dan
d. Gadai.
Dari definisi fidusia yang diberikan UU No. 42 Tahun 1999 dapat kita katakan
bahwa dalam Jaminan Fidusia itu terjadi pengalihan hak kepemilikan. Pengalihan itu
terjadi atas dasar kepercayaan dengan janji benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tetap dalam penguasaan pemilik benda. Namun demikian pengalihan hak kepemilikan
atas suatu benda tidak dapat dipersamakan dengan pengalihan hak kepemilikan

seperti yang diatur dalam Pasal 584 jo. Pasal 612 ayat (1) KUH Perdata. Dalam Pasal
584 KUH Perdata dinyatakan bahwa :
.hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain,
melainkan dengan pengakuan (kepemilikan), karena perlekatan, karena
daluwarsa, karena perwarisan-perwarisan, baik menurut undang-undang,
maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukkan atau penyerahan
berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik,
dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu..57
Sedangkan bunyi Pasal 612 ayat (2) adalah sebagai berikut :
.Penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan
dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama
pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana
kebendaan itu berada..58
Dalam jaminan fidusia pengalihan hak kepemilikan dimaksudkan sematamata
sebagai jaminan bagi pelunasan utang, bukan untuk seterusnya dimiliki oleh
penerima fidusia. Ini merupakan inti dari pengertian jaminan fidusia yang dimaksud
Pasal 33 UU No. 42 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa :
.Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk
memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila debitur cidera
janji, akan batal demi hukum..
Sebelum lahirnya UU No. 42 Tahun 1999 telah ada Yurisprudensi yang
sejalan dengan Pasal 33 tersebut di atas antara lain Keputusan Mahkamah Agung
Nomor 1500/K/Sip/1978 yang mengadili perkara Bank Negara Indonesia melawan
Fa. Megaria yang menetapkan bahwa kedudukan kreditur pemegang fidusia bukan
57 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbook), diterjemahkan oleh Subekti
dan Tjitrosudibio, Cetakan 20, Jakarta : Pradnya Paramita, 1995, Pasal 584.
58 Ibid., Pasal 612 ayat (1).

sebagai pemilik seperti halnya dalam jual beli.59 Ini berarti penyerahan hak milik
kepada kreditor dalam fidusia bukanlah suatu penyerahan hak milik dalam arti
sesungguhnya seperti halnya dalam jual beli, sehingga kewenangan kreditor hanyalah
setaraf dengan kewenangan yang dimiliki seseorang yang berhak atas barang-barang
jaminan.
2. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kebendaan
A. Hak Kebendaan Dalam Jaminan Fidusia
Hak jaminan kebendaan adalah hak yang dimiliki pihak kreditor penerima
jaminan kebendaan untuk didahulukan dalam pengambilan pelunasan, dibandingkan
kreditor lainnya yang bukan penerima jaminan kebendaan, atas hasil penjualan suatu
benda tertentu atau sekelompok benda tertentu yang secara khusus diperikatkan.60
Ditinjau dari lahirnya hak jaminan khusus yaitu dikarenakan undang-undang
(privilege) dan karena perjanjian maka hak jaminan fidusia adalah hak jaminan
kebendaan yang lahir karena perjanjian. Rumusan hak jaminan kebendaan di atas
menimbulkan ciri preferensi. Hak preferen dalam hal ini tertuju pada hasil eksekusi
benda agunan baik dengan pelelangan umum melalui Kantor Lelang Negara ataupun
di bawah tangan oleh pemilik/pemberi fidusia. Membicarakan hak preferen dalam hal
ini berarti membicarakan hasil eksekusi penjualan benda agunan.
59 Wijaya, Op.Cit, hal. 136.
60 J. Satrio, Op.Cit, hal. 17.

Berkaitan rumusan fidusia sebagai perbuatan hukum pengalihan hak
kepemilikan disatu sisi dan fidusia sebagai lembaga jaminan di sisi lain
maka tentang hak preferen dalam jaminan kebendaan ini, Bachtiar Sibarani
mengemukakan :
Undang-Undang fidusia menentukan bahwa apabila debitor cidera
janji maka yang dieksekusia (dilaksanakan) adalah sertifikat jaminan
fidusiayang yang berkepala .Demi Keadilan Yang Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. yang mempunyai kekuatan eksekutorial
sama dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pelaksanaannya dapat melalui pelelangan umum (oleh Kantor Lelang Negara)
atau di bawah tangan (oleh pemilik/pemberi fidusia). Artinya dijual. Jadi
sekali lagi bukan kepemilikannya yang dieksekusi menjadi riil milik
kreditor. Hal ini berarti bukan fidusianya yang dieksekusi tetapi
pengikatan/pembebanannya yang merupakan kesatuan dengan perjanjian
pokoknya yakni pinjam uang dengan jaminan barang bergerak yang ada
dalam penguasaan pemilik.61
Karena hak jaminan kebendaan menimbulkan hak preferen atas hasil
penjualan barang agunan bagi kreditornya, maka perlu diperhatikan ketentuan
eksekusi yang mengaturnya. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia menyatakan bahwa apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji,
eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan
cara :
a. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, yaitu pelaksanaan suatu
alas hak eksekusi yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang sita
tanpa perantaraan hakim;
61 Sukanti Hutagalung, Op.Cit, hal. 737-738.

b. Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima
fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan; dan
c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi
dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga yang
tertinggi yang menguntungkan para pihak. Penjualan ini dilakukan setelah
lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan
penerima fidusia kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sedikitnya dalam dua surat kabar yang berbeda di daerah yang bersangkutan.
Selain itu hak jaminan kebendaan yang sangat berhubungan erat dengan
eksekusi jaminan ternyata juga akan membawa kita mengkaitkannya dengan
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi benda jaminan.
Malahan dalam hukum eksekusilah hak-hak jaminan membuktikan perannya.
Sehingga tidak berlebihan kita mengatakan jika membicarakan hak-hak jaminan
maka tidak bisa terlepas dengan pembicaraan mengenai Hukum Acara Perdata
khususnya ketentuan mengenai hak jaminan.62
B. Jaminan Fidusia Merupakan Hak Atas Benda Bukan Tanah
Dalam menganalisis jaminan fidusia sebagai jaminan atas benda bukan tanah
dilakukan dengan pendekatan sistem hukum pertanahan yang mengacu pada UUPA.
UUPA sebagai peletak dasar hukum jaminan kebendaan nasional telah
memerintahkan kepada pembuat undang-undang untuk menciptakan hak tanggungan,
62 J. Satrio, Op.Cit, hal. 16.

harapan tersebut telah terwujud dengan diundangkannya UU No. 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan.
Dengan berlakunya UUPA telah terjadi perubahan yang mendasar mengenai
hukum benda nasional dan memiliki arti penting bagi hukum jaminan kebendaan
antara lain bagi hak tanggungan dan jaminan fidusia. Jika belum terbentuk hukum
benda nasional, permasalahan hukum jaminan kebendaan adalah merupakan sub
sistem dari hukum benda nasional.
Menciptakan hukum benda nasional yang baru,63 berarti harus menggali
sumber dari kepribadian hukum bangsa sendiri yakni sebelum hukum adat yang
dimodifikasi dan responsif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan
masa yang akan datang.
Pada prinsipnya, dalam hukum adat tidak terdapat pengaturan secara khusus
mengenai benda. Para ahli hukum hanya menjelaskan hukum adat tentang benda
antara lain hukum tanah, hukum transaksi yang berkaitan dengan tanah dan hukum
perhutangan.64 Oleh karena itu, dalam penyusunan hukum benda yang dipergunakan
adalah prinsip hukum adat mengenai tanah, yang dikombinasikan dengan hukum
benda dalam KUH Perdata dan NNBW serta hukum benda dari sistem hukum Anglo
Saxon. UUPA secara eksplisit menyatakan menganut hukum adat, artinya hukum
tanah nasional berlandaskan pada prinsip hukum adat yakni asas pemisahan
horisontal. Asas mempertahankan kepribadian bangsa lewat hukum adat ini juga
63 Kata .baru. untuk membedakan dengan hokum benda yang lama buatan kolonial dan
hukum tanah adapt yang masih terikat pada sifat kedaerahan, dalam Tan Kamelo, Op.Cit, hal. 171.
64 Lihat R. Van Dijk; B. Ter Haar; R.Soepomo; Imam Sudiyat; Soekanto, dalam Tan Kamelo,
Ibid.

diikuti oleh prinsip nasionalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 9, 21, 30,
dan 36 UUPA. Sebaliknya, terhadap benda bukan tanah belum ada larangan untuk
menerapkan prinsip nasionalitas.
Bertitik tolak dari konsep pemikiran dalam hukum jaminan fidusia, maka
pembagian benda atas dasar konsep pemikiran tersebut kiranya dapat diadopsi dalam
merumuskan hukum benda nasional yang akan diciptakan, sehingga diharapkan tetap
berpijak pada asas pemisahan horizontal. Dengan demikian, harapannya di kemudian hari
hanya terdapat dua jenis pembagian benda yakni benda tanah dan benda bukan tanah.
Benda tanah dapat dikelompokkan atas benda tanah yang terdaftar dan benda tanah
yang tidak terdaftar. Hukum jaminan atas benda tanah sudah diatur dalam UUHT.
Mengenai hukum benda bukan tanah yang sifatnya netral dapat mengacu pada pola
pemikiran hukum negara lain yang sifatnya universal.65
Benda bukan tanah juga dibagi atas benda bukan tanah terdaftar dan benda
bukan tanah tidak terdaftar. Benda bukan tanah terdaftar dapat berupa benda tidak
bergerak dan benda bergerak. Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda tidak
bergerak misalnya bangunan/rumah yang memiliki bukti kepemilikan berupa
sertifikat. Bukti kepemilikan ini diperlukan sebagai konsekuensi yuridis dari prinsip
pemisahan horizontal. Benda bukan tanah yang terdaftar berupa benda bergerak
misalnya kenderaan bermotor, pesawat udara dengan jenis tertentu, kapal laut yang
65 Djuhaendah Hasan, dalam Tan Kamelo, Ibid., hal. 172.

bobotnya di bawah 20 m3. Cara pembagian yang demikian akan memudahkan
penggunaan benda dalam hukum jaminan.
Penjaminan atas benda bukan tanah dapat dilakukan dengan dua cara, yakni :
1. Menggunakan Lembaga Fidusia
2. Menggunakan Lembaga Gadai
Lembaga jaminan fidusia dibebankan terhadap benda bukan tanah sebagai
jaminan hutang, yang penguasaannya tetap berada di tangan debitor, sedangkan
lembaga gadai dibebankan terhadap benda bukan tanah yang penguasaannya
diserahkan kepada kreditor.
Dengan adanya pola pembagian benda secara demikian itu, berarti tidak
terdapat tumpang tindih antara hukum jaminan yang mengatur tentang tanah dan
hukum jaminan yang mengatur tentang bukan tanah. Hal tersebut juga akan menjadi
koreksi terhadap UU Fidusia, sehingga dapat mengatasi ketidakjelasan objek jaminan
fidusia, yang masih terus dipermasalahkan oleh para praktisi dan akademisi hukum.
3. Pembuatan Akte Jaminan Fidusia Harus Notaril
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, para
ahli hukum masih berbeda pendapat mengenai sifat perjanjian fidusia. Pendapat
pertama mengatakan bahwa perjanjian jaminan fidusia bersifat assessoir dan pendapat
kedua mengatakan perjanjian jaminan fidusia bersifat berdiri sendiri (zelfstanding).
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan menunjukkan bahwa perjanjian

jaminan fidusia merupakan perjanjian yang lahir dan tidak terpisahkan dari perjanjian
kredit bank. Hal ini memberikan bukti bahwa perjanjian jaminan fidusia tidak
mungkin ada tanpa didahului oleh suatu perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok
atau perjanjian induknya.
Dalam praktek di bank sebelum keluarnya Undang-Undang Fidusia,
perjanjian jaminan fidusia dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta
notaris.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pada era sebelum di undangkannya
Undang-Undang Fidusia belum ada kepastian tentang bentuk perjanjian jaminan
fidusia. Hal ini karena tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Namun, sudah menjadi
kebiasaan dikalangan perbankan bahwa perjanjian jaminan fidusia harus dibuat secara
tertulis.
Berbeda keadaannya setelah diundangkannya Undang-Undang Fidusia,
bentuk jaminan fidusia ditentukan secara tegas yakni dibuat dengan akta notaris.66
Salah satu alasan pembuat undang-undang menetapkan akta notaris adalah karena
akta notaris merupakan akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian hukum
yang sempurna.67
66 Undang-Undang Fidusia, Op.Cit., Pasal 5 ayat (1).
67 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.Cit., Pasal 1870 dan Sutarno, Aspek-aspek
Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung : Alfabeta, 2003, hal.103.

Akta otentik mempunyai 3 macam kekuatan, yaitu :68
a. Kekuatan pembuktian formal, yaitu membuktikan bahwa para pihak betulbetul
sudah menerangkan dan menyatakan apa yang ditulis dalam akta.
b. Kekuatan pembuktian material yaitu membuktikan bahwa para pihak betul-betul
bahwa peristiwa/kejadian yang disebutkan dalam akta itu telah terjadi.
c. Kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga, yaitu para pihak pada tanggal
tersebut dalam akta telah menghadap notaris dan melakukan tindakan sebagai
disebut dalam akta.
Penegasan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris oleh
pembuat Undang-Undang Fidusia harus ditafsirkan sebagai norma hukum yang
memaksa (imperatif bukan bersifat fakultatif), artinya apabila perjanjian jaminan
fidusia dilakukan selain dalam bentuk akta notaris, maka secara yuridis perjanjian
jaminan fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Fidusia.69 Hal ini akan semakin jelas jika dikaitkan
dengan proses terjadinya jaminan fidusia ketika dilakukan pendaftaran di Kantor
Pendaftaran Fidusia, yaitu permohonan pendaftaran jaminan fidusia harus dilengkapi
dengan salinan akta notaris tentang pembebanan jaminan fidusia.70 Konsekuensi
68 Kohar A. Notaris dalam Praktek Hukum, Alumni Bandung, 1983, hal. 34-35.
69 Undang-Undang Fidusia, Op.Cit, Pasal 37 ayat (3).
70 Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Pendaftaran Fidusia, Pasal 2 ayat
(4).

yuridis selanjutnya adalah merupakan rangkaian yang sangat penting dan menentukan
yaitu saat kelahiran jaminan fidusia.71
Perlu juga mendapat perhatian, bahwa perjanjian fidusia sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-Undang Fidusia berlaku bukan hanya untuk keperluan yang
berkaitan dengan perjanjian kredit di lingkungan perbankan, tetapi juga mencakup
perjanjian kredit/pinjaman di lingkungan lembaga permbiayaan bisnis lainnya yang
membuat perjanjian jaminan fidusia.
Hal tersebut dapat ditafsirkan melalui pendekatan sistem, yaitu terhadap Pasal
2 Undang-Undang Fidusia harus diartikan sebagai elemen yang mempunyai makna
penting dalam kaitannya dengan Pasal-Pasal lain dari Undang-Undang Fidusia secara
menyeluruh. Bahkan, kaitan Pasal 2 tersebut akan menjadi lebih penting lagi jika
dihubungkan dengan perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian jaminan
fidusia di luar UU Fidusia.
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa keraguan tentang sifat
perjanjian jaminan fidusia tidak pada tempatnya lagi dipermasalahkan karena fakta
yuridis empiris telah mendukung pendapat bahwa perjanjian jaminan fidusia
merupakan perjanjian yang bukan merupakan perjanjian yang bersifat berdiri sendiri
(zelfstanding) dan akta jaminan fidusia harus dibuat secara notariil.
71 Undang-Undang Fidusia, Op.Cit, Pasal 14 ayat (3).

Sedangkan kedudukan hukum akta jaminan fidusia di bawah tangan bila
ditinjau dari aspek undang-undang fidusia, tidak mempunyai akibat yuridis apapun
bagi pihak ketiga, melainkan hanya mengikat pihak pemberi fidusia dan
penerima fidusia saja berdasarkan asas hukum kebebasan berkontrak, dengan
konsekuensi tidak mempunyai kekuatan hukum eksekutorial sekiranya
debitor/pemberi fidusia wanprestasi.
Pembebanan jaminan fidusia dalam aspek operasionalnya dilaksanakan
melalui dua tahap, yaitu tahap pemberian jaminan fidusia dan tahap pendaftaran
jaminan fidusia. Pembebanan jaminan fidusia yang didahului dengan janji untuk
memberikan jaminan fidusia sebagai pelunasan atas hutang tertentu yang dituangkan
dalam akte jaminan fidusia.
Akta jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris, Hal ini sesuai dengan yang
disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia bahwa,
.pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa
indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia.. Dalam akta jaminan fidusia tersebut
selain dicantumkan hari dan tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam)
pembuatan akta tersebut.
UU Fidusia menetapkan bentuk khusus (akta notaris) bagi perjanjian fidusia
adalah bahwa sebagaimana diatur dalam pasal 1870 KUHPerdata, karena akta notaris
merupakan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya di antara para pihak beserta ahli warisnya atau para pengganti
haknya. Mengingat bahwa objek jaminan fidusia pada umumnya adalah barang

bergerak yang tidak terdaftar maka sudah sewajarnyalah bahwa bentuk akta
otentiklah yang dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan
objek jaminan fidusia.72
J.Satrio menyatakan bahwa ketentuan Pasal 5 ayat (1) sulit diterima sebagai
ketentuan hukum yang memaksa karena di dalam Pasal 37 Undang-Undang Jaminan
Fidusia disebutkan bahwa semua fidusia yang telah ada perlu disesuaikan dengan
Undang-Undang Jaminan Fidusia. Sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
memberikan kekuatan pembuktian yang sempurna terhadap para pihak dan ahli waris
maupun orang yang mendapatkan hak darinya (Pasal 1870 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata ).73
Setelah penanda tanganan akta pembebanan jaminan fidusia oleh para pihak
yang berkepentingan. Maka selanjutnya dilakukan pendaftaran akta pembebanan
jaminan fidusia pada kantor Pendaftaran fidusia. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat
(1) Undang-Undang Jaminan Fidusia mengatakan bahwa, . benda yang dibebani
dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan..
Sebenarnya tidak ada ketentuan didalam Undang-Undang Jaminan Fidusia
yang mengatakan, bahwa fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak sah. Hanya
saja untuk memberlakukan ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Jaminan
Fidusia tersebut, maka haruslah dipenuhi syarat benda jaminan fidusia itu
didaftarkan. Sedangkan fidusia yang tidak didaftarkan, tidak bisa menikmati
72 Fred G. Tumbuan , Mencermati pokok-pokok UU fidusia Jakarta, 26-27 November 1999, hal.
11.
73 J. Satrio, Op.Cit. hal. 201-202.

keuntungan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 ayat (3) undang-undang
Jaminan Fidusia.74
Pasal 37 menyatakan apabila dalam jangka waktu enampuluh hari terhitung sejak
berdirinya Kantor Pendaftaran Fidusia, Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tidak
mempunyai hak yang didahulukan (preferen) baik didalam maupun di luar kepailitan
adan atau likuidasi.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Jaminan Fidusia maka akta jaminan
fidusia sekurang-kurangnya memuat yaitu :
1. Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia. Identitas tersebut meliputi
nama lengkap, agama, tempat tinggal dan tempat kedudukan dan tanggal
lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan.
2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia yaitu mengenai macam
perjanjian dan hutang yag dijamin dengan fidusia.
3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Uraian
tersebut cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan benda tersebut dan
dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya. Dalam hal benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia merupakan benda dalam persediaan
(inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak tetap seperti stok
bahan baku, barang jadi atau portofolio perusahaan efek, maka dalam akta
jaminan fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis, merk, kualitas dari
benda tersebut.
4. Nilai Penjaminan
5. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia75
Untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuatlah akta yang
dibuat oleh Notaris dan didaftarkan kekantor pendaftaran Fidusia. Setelah
dilakukan pendaftaran mak kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia
berirah-irah .Demi Keadilan Berdasarkan keTuhanan Yan Maha Esa.. Dengan
74 Ibid, hal. 242-243.
75 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Op.Cit, hal. 135.

demikian memiliki kekuatan eksekutorial langsung apabila debitur melakukan
pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), hal ini sesuai
dengan Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Bagaimana dengan perjanjian Fidusia yang tidak dibuat dengan akta notaris
serta tidak didaftarkan dikantor pendaftaran fidusia atau dengan kata lain dibuat di
bawah tangan. Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai
pembuktian sempurna. Sebaliknya akta otentik adalah akta yang dibuat oleh dan atau
dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh undang-undang dan memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna. Akan tetapi suatu akta dibawah tangan tetap memiliki
kekuatan bukti hukum sepanjang para pihak mengakui keberadaan dan isi akta
tersebut, namun agar memiliki kekuatan yang lebih kuat, akta tersebut tetap harus
dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan menimbulkan akibat hukum. Apabila
kreditur melakukan eksekusi secara sepihak karena menganggap memiliki hak, akan
tetapi dengan tindakan tersebut debitur dapat dikatakan bahwa kreditur bertindak
sewenang-wenang apalagi jika debitur telah melaksanakan sebagian dari
kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
diatas barang tersebut terdiri dari sebagian hak kreditur dan sebagian lagi merupakan
hak debitur, apalagi mengingat bahwa pembiayaan atas obyek jaminan fidusia
didasarkan atas penilaian yang tidak penuh sesuai dengan nilai barang, atau eksekusi
tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum.
Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sesuai

dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti
kerugian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar