Rabu, 26 Januari 2011

Perdagangan anak(trafficking ) kurang lebih dapat diartikan sebagai “segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen, transportasi, baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan,
pengiriman, dan penerimaan orang (dalam hal ini anak) dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau pelibatan hutang, untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapat baya ran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas dimana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang itu pertama kali terjadi”. Melihat besaran masalah yang sedemikian luas, bahkan nyaris tidak terukur, ten tunya langkah perlindungannya pun meliputi segala bentuk pencegahan, penanganan,dan rehabilitasi bagi mereka yang menjadi korban. Yang kesemuanya dapat dilakukan dengan tepat jika kita tahu persis akar permasalahannya, baik dari sisi supply maupun dari sisi demand  Bila dilihat secara aturan legal, terdapat banyak ‘jaminan’ perlindungan bagi anak dari perdagangan. Selain dalam Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terdapat sedikitnya 4 instrumen internasional lain yang mengatur t
entang trafficking atau perdagangan anak (dan perempuan), dan 4 instrumen nasional yaitu UU Kesejahteraan Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan UU Hukum Pidana. Tetapi sekali lagi, terutama
menyangkut instrumen nasional, persoalannya adalah seputar substansi, interpretasi, dan implementasi. Ditambah, hambatan yang dihadapi dalam menangani trafficking bukan hanya budaya hukum kita yang sangat tidak mendukung, tetapi juga sistem sosial dan sistem kultur kita yang masih sangat diskriminatif ter hadap anak (dan perempuan) Memang ada perlindungan yang cukup relevan dengan kejahatan ini, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 297dan Undang-Undang Perlindungan anak Tahun 2002. Akan tetapi, kedua UU itu tidak punya definisi yang tepat sehingga tidak dapat menjaring kasus- kasus yang dikategorikan sebagai perdagangan orang.Kedua UU itu juga tidak memuat isu kejahatan terorganisasi, apalagi mekanisme pembuktiannya,dan tidak memberikan perlindungan kepada saksi korban. Karena itu, Rencana Undang- Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seharusnya menjadi prioritas. RUU itu merupakan inisiatif pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan tahun 2002.Pada tahun itu Presiden Megawati Soekarnoputri juga mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan anak . Sayangnya, hal yang sangat penting ini lenyap ditelan hiruk- pikuk RUU Antipornografi dan Pornoaksi yang memecah belah perempuan. Dan seharusnya pemerintah menghapus tentang perdangan anak dan menindak tegas para pelakunya kerena telah menelantarkan anak dan anak - anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi. Dan perdangan anak juga melanggar hak asasi anak dia antaranya UNDANG– UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMER 39 TAHUN 1999TENTANG HAK ASASI MANUSIAPasal 521. setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat,dan negara Pasal 58 1. stiap anak berak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bntuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, prlakuan buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar