Minggu, 30 Januari 2011

Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial, budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, maka dilakukan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah satu pilar kekuatan.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak swasta yang mengalami perkembangan adalah dibidang perdagangan otomotif (mobil).
Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatkan perdagangan mobil, yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk memasarkan mobil, sementara konsumen membutuhkan mobil untuk mendukung kecepatan dalam mobilitasnya.
Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan mobil adalah sistem beli sewa (Hire Purchase-Huurkoop), jual beli dengan angsuran ataupun sewa (Renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian mobil yang dibeli sewa.
Lembaga beli sewa dalam bentuk sebagaimana yang dikenal dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih baru. Namun demikian perkembangan beli sewa dalam tahun-tahun terakhir ini semakin memainkan peranan yang penting bagi perkembangan ekonomi nasional pada umumnya.
Beli sewa mula-mula timbul dalam praktek untuk menampung persoalan bagaimana caranya memberikan jalan keluar apabila pihak penjual menghadapi banyak permintaan untuk membeli barang dagangannya tetapi pembeli tidak mampu membayar harganya sekaligus. Penjual bersedia untuk menerima pembayaran harga benda itu secara angsuran, tetapi dia memerlukan jaminan bahwa bendanya (sebelum dibayar lunas) tidak akan dijual kembali oleh pembeli. Sebagai jalan keluarnya ialah dibuat perjanjian, yaitu selama harga belum dibayar lunas, pembeli menjadi penyewa dari benda yang ingin dibelinya itu. Harga sewa sebenarnya adalah angsuran harga benda tersebut. Dengan dijadikan sebagai penyewa, pembeli itu terancam oleh tindak pidana penggelapan apabila dia sampai berani menjual bendanya (Abdulkadir Muhammad, 1992:110).
Dengan perjanjian seperti itu kedua belah pihak tertolong, artinya pihak penjual tetap dapat menjual barangnya, dan pihak pembeli tetap dapat membeli barang karena jumlah angsuran masih ada dalam jangkauannya. Selain itu penjual merasa aman karena bendanya tidak akan dihilangkan oleh pembeli selama harga belum dibayar lunas (dia takut pada ancaman pidana). Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada waktu dibayarnya angsuran yang terakhir, dengan cara pernyataan saja karena sudah berada dalam kekuasaan pembeli dalam kedudukannya sebagai penyewa (Abdulkadir Muhammad, 1992:110).
Sistem beli sewa belum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia, sehingga termasuk dalam kategori perjanjian tak bernama yaitu perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Mengenai perjanjian tak bernama ini diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang menyebutkan perjanjian yang sudah diatur dalam KUH Perdata disebut sebagai perjanjian bernama (Bonoemde) atau (Nominaat Contracten) dan perjanjian yang belum diatur dalam KUH Perdata disebut perjanjian tak bernama (Innominaat) (Salim, 2004:7). Walaupun belum diatur dalam KUH Perdata, perjanjian tak bernama ini timbul dalam praktik perjanjian yang terjadi dalam masyarakat (Salim, 2004:5).
Pada dasarnya adanya praktek perjanjian tak bernama, termasuk di dalamnya perjanjian beli sewa, menurut Hatta (1999:2) disebabkan adanya asas kebebasan berkontrak di dalam sistem hukum perdata Indonesia, yaitu para pihak bebas melakukan perjanjian dalam bentuk apapun sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1320 KUH Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian sedangkan Pasal 1338 ayat (1) mengatur bahwa ”Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Dengan demikian sepanjang perjanjian beli sewa yang dibuat memenuhi syarat sahnya perjanjian yang ditentukan KUH Perdata, maka perjanjian itu mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya.
Dalam prakteknya karena perjanjian beli sewa tidak diatur dalam KUH Perdata, maka para pihak mempedomani ketentuan-ketentuan perjanjian jual beli dan sewa-menyewa sejauh itu dapat diterapkan. Hal ini harus secara tegas dinyatakan dalam perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari (Abdulkadir Muhammad, 1992:117).
Satu-satunya peraturan yang mengatur mengenai beli sewa adalah Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/1980 tentang Perjanjian Kegiatan Usaha Beli Sewa (hire-purchase). Peraturan ini menetapkan bahwa hubungan beli sewa antara pihak-pihak harus diikat dalam suatu perjanjian. Dengan demikian dapat diketahui bahwa untuk melaksanakan perjanjian beli sewa dalam masyarakat harus didahului dengan pembuatan perjanjian beli sewa yang harus mengatur hak, kewajiban dan hubungan hukum antar pihak-pihak yang bersangkutan.
Perlu diperhatikan pula bahwa hanya benda-benda golongan tertentu saja yang dapat dibelisewakan. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/1980, barang-barang yang boleh dibelisewakan adalah barang niaga tahan lama yang baru, dan tidak mengalami perubahan teknis, baik berasal dari produksi sendiri maupun hasil perakitan luar negeri. Pada umumnya benda yang dibelisewakan adalah kendaraan bermotor, barang-barang elektronik, alat-alat rumah tangga, alat-alat berat, dan sebagainya.
Selain Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/1980 tersebut di atas yang dijadikan dasar dalam perjanjian beli sewa adalah asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam Pasal 1320 dan 1338 BW, yurisprudensi yang ada, serta praktik bisnis yang telah berkembang dan lazim digunakan.
Untuk melaksanakan perjanjian beli sewa, pihak pembeli sewa harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Yakob Kadam (2006:4), dalam koran Cendrawasih Pos Papua, mengatakan bahwa pembeli sewa yang mengambil mobil diwajibkan melengkapi surat identitas diri (KTP, Kartu Tanda Keluarga, rekening koran dan slip gaji), kelengkapan itu untuk survei dan transaksi angsuran. Penjual sewa tidak mengeluarkan BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) kepada pembeli sewa kecuali angsuran sudah lunas dan setelah pembayaran lunas maka pembeli sewa akan mendapatkan surat BPKB tersebut.
Jika pembeli sewa tidak melakukan angsuran sama sekali atau terlambat melakukan angsuran maka dalam hal-hal yang demikian ini pembeli sewa melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini membawa akibat yang berat bagi penjual sewa, yaitu mobil yang menjadi objek beli sewa ditarik oleh penjual sewa. Mengenai hal ini sudah ditetapkan sebelumnya di dalam perjanjian beli sewa.
Adanya ketentuan hak penjual sewa untuk menarik barang ini merupakan antisipasi dari wanprestasi yang dilakukan pembeli sewa. Hal ini dikarenakan penjual sewa tidak mau dirugikan dari adanya wanprestasi yang dilakukan pembeli sewa (Syamsudin Meliala, 1985:26). Ketentuan ini adalah wajar apabila diiringi dengan pemenuhan hak pembeli sewa di sisi yang lain, yaitu dalam hal terjadi penarikan mobil pembeli sewa berhak mendapat pengembalian dari biaya sewa yang telah dibayarnya diperhitungkan dari harga jual mobil. Akan tetapi dalam prakteknya penjual sewa tidak pernah memenuhi hak ini. Sementara pembeli sewa tidak dapat menolak jika dilakukan penarikan atas mobilnya, walaupun dia sudah membayar lebih dari separuh angsuran.
Di satu sisi ketentuan penjual sewa boleh menarik kembali barang yang dibeli sewa apabila terjadi wanprestasi, dapat melindungi kepentingan penjual sewa. Akan tetapi di sisi yang lain ketentuan ini dipandang berat sebelah oleh pembeli sewa yang telah membayar dengan tertib dan telah membayar lebih dari setengah jumlah harga keseluruhan beli sewa tetapi mengalami kesulitan pada akhir pelunasan. Bagi pembeli yang demikian, penarikan mobil dapat dirasakan tidak adil karena dia sudah memenuhi lebih dari separo angsuran dengan tertib. Apalagi dalam penarikan mobil ini uang angsuran yang sudah diterima dari pihak pembeli sewa dianggap sebagai pengganti kerugian atau sewa atas pemakaian kendaraan mobil sebelumnya.
Namun menghadapi masalah seperti ini pembeli sewa tidak berdaya, karena penarikan dapat langsung dilakukan tanpa melalui perintah hakim dan pembeli sewa sudah menandatangani perjanjian beli sewa yang menetapkan demikian. Sebagaimana diketahui dalam praktek beli sewa, sistem penarikan barang dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu putusan hakim. Walaupun menurut undang-undang penarikan barang memerlukan waktu yang relatif lama karena harus melalui perintah hakim, namun dalam praktek beli sewa untuk menghindari risiko kerugian lebih besar akibat waktu yang terlalu lama, maka pihak penjual sewa mencantumkan dalam perjanjian beli sewa bahwa penarikan dapat dilakukan tanpa menunggu putusan hakim. Bahkan sering kali penarikan dilakukan dengan menggunakan aparat keamanan untuk mempercepat proses penarikan kendaraan. Tindakan penjual sewa tersebut walaupun dicantumkan dalam perjanjian, dapat diidentifikasi sebagai praktik perampasan. Namun menghadapi semua ini pembeli sewa tidak berdaya karena sudah menandatangani perjanjian beli sewa yang sudah disiapkan oleh penjual sewa. Tanda tangan itu menunjukkan pembeli sewa sudah sepakat dengan ketentuan yang disebut dalam perjanjian. Padahal semua isi perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak oleh pembeli sewa, sehingga cenderung berat sebelah. Dalam hal inilah dikatakan bahwa perlindungan hukum terhadap pembeli sewa di Indonesia masih sangat lemah dirasakan.
Adanya kenyataan tersebut di lapangan, menunjukkan pelanggaran atas asas itikad baik yang dimuat dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menentukan bahwa ”Semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Syamsudin Meliala, 1985:19)”. Pelanggaran yang dimaksud adalah bahwa asas itikad baik menuntut adanya keseimbangan kedudukan antara para pihak, namun pihak penjual sewa dengan segala kelebihannya telah menentukan secara sepihak isi perjanjian yang sifatnya melemahkan kedudukan pembeli sewa. Akhirnya semua itu berakibat tidak terjadinya pemenuhan hak pembeli sewa sebagaimana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar