Rabu, 16 Februari 2011

Realita Kejahatan

Di pasca modern ini fenomena kehidupan manusia tampaknya kian mengarah pada semangat anti terhadap otoritas hukum. Hal ini ditandai dengan kian maraknya bentuk-bentuk kejahatan dan pelanggaraan dalam masyarakat. Hampir setiap hari kita mendengar atau melihat sendiri kasus-kasus seperti; pembunuhan, korupsi, pencurian, perjudian, pornografi, ‘free sex’, aborsi, kasus narkoba, dan pelanggaran lalu lintas. Bahkan beberapa jenis kejahatan sudah menjadi hal yang biasa (membudaya) pada sebagian masyarakat kita. Sadar atau tidak, semangat jaman ini rupanya telah mulai menggerogoti kekuatan hukum sebagai salah satu otoritas penertib, pengatur, dan sarana pencapaian keadilan masyarakat.

Beberapa pasal dalam KUHP pun seolah-olah tak lagi berfungsi karena apa yang semestinya dilarang oleh hukum sudah menjadi hal yang biasa. Taruhlah misalnya pasal 533 poin 1 KUHP (pelanggaran kesusilaan) dikatakan: “Diancam dengan kurungan paling lama dua bulan barang siapa di tempat untuk lalu lintas umum, dengan terang-terangan mempertunjukkan atau menempelkan tulisan dengan judul, kulit, atau isi yang dibikin terbaca, maupun gambaran atau benda, yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda”.

Tetapi coba kita perhatikan isi spanduk-spanduk yang terpampang di berbagai gedung bioskop di sudut-sudut kota. Selain gambarnya yang jelas seronok juga judul-judulnya yang jelas sudah melanggar susila. Ini adalah sekedar contoh dari sekian banyak perilaku warga yang sebenarnya dilarang oleh hukum. Belum lagi perilaku menyimpang yang belum dirumuskan dalam Undang-undang.

Walaupun banyak perilaku menyimpang yang sulit dijangkau oleh aturan hukum namun menurut ukuran otoritas lain (nilai-nilai keagamaan dan budaya) sudah merupakan hal yang jahat. Kasus narkoba sangat sulit diusut sampai ke pelaku kelas ringan yang mengkonsumsi secara sembunyi-sembunyi. Demikian juga masalah aborsi dan judi hanya kelas kakap atau kelas berat saja yang memungkinkan diperhadapkan dengan proses hukum (kalau ketahuan).

Ibarat gunung es, kejahatan yang dijangkau oleh hukum hanya puncak dari berbagai bentuk perilaku jahat (ringan maupun tersembunyi) dalam masyarakat. Kasus VCD Porno dua mahasiswa di Bandung dianggap merupakan salah satu puncak dari kian merebaknya pornografi yang tak terjangkau oleh hukum akhir-akhir ini. Hukum hanya bisa menerobos perilaku jahat yang tampak, sedangkan gejala yang tidak ketahuan sebenarnya justru lebih banyak dan lebih berbahaya.

Bahayanya ialah terjadinya akumulasi ketidaktaatan hukum dalam masyarakat hingga hukum seolah-olah tak berdaya. Warga akan cenderung menegakkan kebenarannya sendiri-sendiri (individualistik) tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Lebih ekstrim lagi, bisa terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Akan banyak muncul peristiwa main hakim sendiri, seperti membakar pencuri hidup-hidup, pembunuhan ramai-ramai oleh warga terhadap oknum yang disangka sebagai dukun santet, dan sebagainya. Bisa dipastikan bahwa kian banyaknya kasus yang ketahuan (tertangkap) merupakan pertanda perilaku negatip atau anti otoritas di masyarakat sudah kian meningkat. Dimana faktor materialisme dan konsumerisme bertindak sebagai katalisator.

Seandainya hukum mampu menjangkau perilaku-perilaku jahat warga yang sebenarnya tetap dikategorikan sebagai kejahatan maka rumah tahanan dan penjara-penjara pun akan penuh. Oleh karena itu, hukum selama ini memang sudah sangat kompromistis. Kompromistis karena ketidakberdayaan penegak hukum itu sendiri dan kondisi warga yang memang cenderung bersemangat anti otoritas hukum, sebagai salah satu semangat di era post modernisme ini. Bukan lagi sekedar anti terhadap otoritas hukum melainkan juga anti atas otoritas lain yang semestinya lebih tinggi, yaitu otoritas Tuhan (nilai-nilai keagamaan). Disamping itu terjadi pula penentangan atas nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Ini berarti struktur peradaban kita semakin tidak jelas dan disertai dengan kian hilangnya “rasa malu” pada sebagian warga.

Nilai kerugian akibat tindakan menyimpang warga itu memang sangat bervariasi. Ada yang sampai merugikan negara (misalnya korupsi), ada yang hanya merugikan kelompok tertentu, keluarga, teman atau merugikan dirinya sendiri. Akan tetapi, walaupun nilai kerugiannya beda tetapi hakekat penyimpangannya sebenarnya sama. Semangat korupsi tidak ada bedanya dengan semangat mencuri sebuah permen. Semangat membunuh manusia dewasa dengan aborsi sama saja. Semangat kekerasan atau “violence” tidak ada bedanya dengan semangat sosialisasi kekerasan di TV atau bioskop. Semangat perzinahan dengan pornografi sama saja. Bedanya ialah dari sisi penegakan hukum terhadapnya. Ada yang melanggar dari sisi norma keluarga atau norma sosial, norma agama, hingga melanggar norma hukum negara.

Lebih jauh dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, semangat anti otoritas yang dikelompokkan sebagai pelanggaran atas hukum negara (perilaku terjangkau hukum) dan sekaligus dipastikan telah melanggar nilai-nilai keagamaan dan nilai-nilai sosial. Kedua, semangat anti otoritas yang dikategorikan sebagai pelanggaran atas larangan agama dan sekaligus anti nilai-nilai sosial, namun belum tentu terjangkau oleh aturan hukum negara. Ketiga, semangat anti otoritas atas nilai-nilai sosial yang sekaligus bisa dikategorikan sebagai anti otoritas ajaran Tuhan, namun belum tentu terjangkau oleh hukum negara.

Seperti telah disinggung di atas, bahwa seandainya semua perilaku buruk warga itu bisa dijangkau oleh hukum maka penjara-penjara tidak akan muat menampung mereka. Polisi pun akan repot dibuatnya. Lalu, bagaimana cara menanggulangi semangat anti otoritas ini? Memang, secara teologis dalam Alkitab sudah jelas dikatakan bahwa semua manusia telah berdosa (Roma 3). Natur berdosa itu sudah ada sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Dosa itu telah menjalar ke seluruh umat manusia sepanjang sejarahnya. Oleh karena itulah, menurut kriminolog Prof. Noach, tidak mungkin kejahatan itu bisa dihilangkan dari masyarakat, yang mungkin adalah mengurangi atau membatasinya. Caranya ada yang bersifat represif (sanksi hukum) dan ada yang bersifat preventif.

Dalam rangka upaya represif aparat hukum memang diharapkan untuk lebih bertindak tegas terhadap segala pelanggaran hukum oleh warga, termasuk pelanggaran oleh aparat sendiri. Pelaku pornografi harus segera ditindak tegas guna mencegah terjadinya kejahatan seksual. Pemerintah juga perlu mengambil tindakan tegas kepada media hiburan yang menyuguhkan tema-tema kekerasan pada anak-anak.

Khusus dalam upaya preventif-lah peran agama dan pendidikan merupakan dua pilar yang sangat penting. Selain fungsi agama yang mempertobatkan manusia, agama juga memiliki posisi strategis dalam upaya meluruskan semangat yang menyimpang dalam masyarakat. Agama dan pendidikan harus mampu mengantisipasi benih-benih kejahatan dalam warga agar tidak berkembang menjadi suatu kejahatan nyata yang melanggar hukum negara. Dua pilar ini yang sebenarnya paling bertanggungjawab atas terhindarnya warga dari perbuatan tercela yang melanggar hukum.

Apabila nilai-nilai religiusitas, pendidikan dan nilai sosial budaya mampu menyadarkan masyarakat tentang makna hidup yang tidak hanya bergantung pada materi maka teori Thomas Aquino yang mengatakan, bahwa kemiskinan memberikan kesempatan untuk berbuat jahat, tidak selamanya lagi berlaku. Selain itu perlu pula diperhatikan bahwa lingkungan sosial yang tidak baik bisa membuat seseorang menjadi jahat, sedangkan lingkungan yang baik akan berakibat sebaliknya. Dalam hal ini, tugas kita bersama untuk mewujudkan suatu lingkungan sosial yang baik. Sekian.
Komentar-komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar