SISTEM PEMIDANAAN BERBASIS
RESTORATIVE JUSTICE
Oleh:
Dadang Sumarna
Mahasiswa Pasca Sarjana UMJ
KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP
yang bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang
pada prakteknya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sekarang.
KUHP yang merupakan warisan KUHP Kerajaan Belanda diberlakukan di Indonesia
dengan beberapa penyesuaian, bahkan Prof. Soedarto menyatakan bahwa teks resmi
KUHP hingga saat ini masih dalam bahasa Belanda.
Pasca kemerdekaan, baik pada masa demokrasi terpimpin
maupun Orde Baru, KUHP warisan Belanda ini masih tetap berlaku termasuk pula hatzaai
artikelen (pasal-pasal penyebar kebencian) terhadap pimpinan politik,
pejabat atau golongan etnis.
Kenyataan inilah
yang menyebabkan kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana (penal
reform) di Indonesia. Kebutuhan untuk melakukan pembaharuan hukum pidana
sejalan dengan hasil dari Kongres PBB tahun 1976 tentang pencegahan kejahatan dan
perlakuan kepada pelaku kejahatan. Dalam kongres tersebut dinyatakan bahwa hukum
pidana yang ada selama ini di berbagai negara yang sering berasal dari hukum asing
dari zaman kolonial yang pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete
and unjustice) serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded
and unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan
sosial masa kini.
Kondisi perubahan
hukum yang adil dan sesuai dengan kenyataan yang berakar dari nilainilai yang
ada dalam masyarakat kemudian secara tegas juga dinyatakan dalam konsideran
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menyatakan bahwa materi
hukum pidana nasional harus disesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan
perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Sementara
tujuan penyusunan hukum pidana dinyatakan sebagai perwujudan upaya pembaharuan
hukum nasional Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Penjelasan Umum RKUHP
juga menyatakan bahwa Penyusunan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan
segala perubahannya merupakan salah satu usaha dalam rangka pembangunan hukum
nasional. Usaha tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat
mendukung pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan
pembangunan serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam
masyarakat.
Berdasarkan atas landasan yang terkandung dalam konsideran
RKUHP tersebut, reformulasi atas pengaturan hukum pidana yang dilakukan
meliputi penentuan tindak pidana (kriminalisasi) yang sangat jauh berbeda
dengan KUHP sekarang. Tercatat ada 743 pasal dalam RKUHP dimana 513 di
antaranya adalah pasal mengenai tindak pidana, selebihnya adalah pasal yang
berkaitan dengan ketentuan umum. Jumlah rancangan pasal yang sedemikian besar
terutama berkaitan dengan banyaknya pasal tentang tindak pidana dalam RKUHP ini
menimbulkan berbagai reaksi dan sorotan yang mengkritisi bahwa RKUHP ini
mempunyai gejala over criminalization.
Sorotan lainnya adalah berkaitan dengan pola pemidanaan dan
penetapan sanksi pidana yang masih menempatkan pidana mati sebagai pidana yang
terberat. Kritik atas masih dipertahankannya pidana mati bagi pelaku ini
didasarkan atas pelanggaran terhadap konstitusi dimana dalam UUD Amandemen
Kedua, secara tegas dinyatakan tentang jaminan atas hak hidup dan hak ini
adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaaan apapun (non derogable
rights). Selain itu, mempertahankan hukuman mati juga bertentangan dengan
beberapa prinsip dan standar internasional dalam mengenai pemidanaan. PBB juga
telah mengeluarkan beberapa dokumen penting berkaitan dengan pemidanaan. Standard
Minimum Rules for the Treatment of Prisoner tahun 1957 dan Konvenan Sipil
Politik pada tahun 1966 menyatakan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah untuk
merehabilitasi pelaku kejahatan. PBB juga menyoroti tentang pentingnya
perhatian kepada korban kejahatan dengan dikeluarkannya Declaration of Basic
Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Majelis
Umum PBB. Dengan rumusan yang demikian, sorotan khusus berkenaan dengan pola
pemidanaan dan penentuan sanksi dalam RKHUP ini perlu dilakukan karena
pemidanaan ini dapat memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang
seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana. Pembaharuan hukum
pidana, dalam hal ini berkaitan dengan sistem sanksi dalam RKUHP, harus
dilandasi dengan re-orientasi atas tujuan pemidanaan. Hal ini penting untuk
melihat apa maksud dan capaian yang hendak diharapkan atas sebuah proses
pembaharuan dalam hukum pidana. Mengetahui maksud dan capaian tentang tujuan
pemidanaan akan menunjukkan paradigma negara atas perlindungan dan jaminan
keadilan dan perlindungan hak asasi terhadap warga negaranya sebagaimana
dicantumkan dalam konsiderannya. Namun tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk
sanksi dalam RKUHP perlu dilakukan peninjauan untuk melihat sejauh mana
landasan tujuan pemidanaan dan bentuk-bentuk sanksi yang ditetapkan, karena
penetapan sanksi dalam peraturan perundang-undangan adalah sangat penting dan
strategis untuk mencapai tujuan dari kebijakan hukum pidana (penal policy).
Selama ini belum ada rumusan tentang tujuan pemidanaan
dalam hukum positif Indonesia. Sebagai akibat tidak adanya rumusan pemidanaan
ini menyebabkan banyak sekali rumusan jenis dan bentuk sanksi pidana yang tidak
konsisten dan tumpang tindih. RKUHP yang telah disusun ini nampaknya akan
mengalami problem yang sama dimana kecenderungan adanya pencampuran konsep
pemidanaan dan penetapan sanksi. Persoalan penetapan sanksi (bentuk-bentuk
pidana) dalam RKUHP Indonesia, dalam sejarahnya, mengalami beberapa kali
perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep RKUHP yang dalam
beberapa konsepnya mempunyai persamaan namun juga terdapat beberapa perbedaan.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan
sanksi dalam RKUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Adanya
perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang
terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu
disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi
pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi
perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan
untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.
Kebijakan menetapkan sanksi pidana apa yang dianggap paling
baik untuk mencapai tujuan, setidaktidaknya mendekati tujuan, tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pemilihan berbagai alternatif sanksi. Masalah
pemilihan berbagai alternatif untuk memperoleh pidana mana yang dianggap paling
baik, paling tepat, paling patut paling berhasil atau efektif merupakan masalah
yang tidak mudah. Dilihat dari sudut politik kriminil, maka tidak terkendalikannya
perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, justru dapat disebabkan oleh
tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan.
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika
dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan
mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang tujuan
pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya
pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan
dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini.
Rancangan KHUP menganut sistem pemidanaan dua jalur (double
track system) dimana di samping pelaku tindak pidana dapat dijatuhi sanksi
pidana (criminal punishment), dapat juga dikenakan berbagai tindakan (treatment).
Selain itu, dalam jenis-jenis pemidanaan dalam RKUHP ini juga bertambah dengan
adanya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial yang merupakan bagian dari
pidana pokok, jenis tindak pidana yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam
KUHP Indonesia. Namun di tengah beberapa perubahan yang mendasar tersebut,
ternyata dalam RKUHP masih mengatur beberapa ketentuan yang selama ini menjadi
kontroversi, misalnya ketentuan tentang hukuman mati. Di samping itu, RKUHP
juga memasukkan beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pemidanaan (denda)
adat yang mempunyai rumusan tidak rinci dan sangat tergantung pada putusan
hakim. RKUHP sejak awal terlihat tidak cukup konsisten dalam menentukan tujuan
pemidanaan dan penetapan sanksi-sanksinya.
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran
yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : a) Pada hakekatnya
undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana
dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan
sarana untuk mencapai tujuan, b) Dilihat secara fungsional operasional,
pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya
sengaja direncanakan melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan
antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka
dirumuskan tujuan pemidanaan, c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan
sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan
filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.
Setiap
masyarakat mengembangkan mekanismenya sendiri-sendiri guna mengontrol perilaku
anggota-anggotanya yang melakukan atau yang dianggap melakukan perilaku yang
menyimpang. Khususnya bila penyimpangan tersebut dianggap intensional, tidak
dapat diterima dan mengakibatkan kerugian serius (berupa timbulnya korban atau
biaya dalam arti luas), muncullah konsep penghukuman (punishment). Pada
awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributive dan
merupakan reaksi langsung atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang. Paradigma retributive ini terlihat dalam semangat mengganjar
secara setimpal berkaitan dengan perbuatan dan atau efek dari perbuatan yang
telah dilakukan. Paradigma penghukuman belakangan muncul dengan semangat agar
orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan kata lain, penghukuman
dilakukan dengan semangkat menangkal (deterrence).
Perkembangan
pemahaman mengenai kegunaan penghukuman sebagai instrumen dalam rangka metode
pengubahan tingkah laku terlihat melalui munculnya paradigma rehabilitative.
Paradigma tersebut melihat bahwa seseorang yang melanggar atau menyimpang dari
aturan yang ada pada dasarnya adalah orang yang rusak, sakit, kekurangan,
bermasalah atau memiliki ketidakmampuan sehingga melakukan perilaku tersebut.
Oleh karena itu, melalui penghukuman atasnya, orang tersebut pada dasarnya
hendak diperbaiki atau disembuhkan dari kekurangannya. Seiring dengan perubahan
paradigma tersebut, bentuk-bentuk penghukuman pun berkembang, bervariasi dan,
konon, semakin manusiawi.
- Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan
Secara singkat, “sistem pemidanaan” dapat diartikan
sebagai “sistem pemberian atau
penjatuhan pidana”. Sistem pemberian/penjatuhan pidana (sistem pemidanaan)
itu dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, Dari sudut fungsional (dari sudut
bekerjanya/berfungsinya/proses-nya), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
Keseluruhan sistem (aturan perundang-undangan) untuk
fungsionali-sasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana, Keseluruhan sistem
(aturan perundang-undangan) yang mengatur bagaimana hukum pidana ditegakkan atau dioperasionalkan
secara konkret sehingga seseorang
dijatuhi sanksi (hukum)
pidana. Dengan pengertian demikian, maka sistem pemidanaan identik dengan sistem
penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub-sistem Hukum Pidana
Materiel/Substantif, sub-sistem Hukum Pidana Formal dan sub-sistem Hukum
Pelaksanaan Pidana. Ketiga sub-sistem
itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum
pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu
sub-sistem itu. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut
dengan “sistem pemidanaan fungsional”
atau “sistem pemidanaan dalam arti luas”.
Dari sudut
norma-substantif (hanya dilihat dari
norma-norma hukum pidana substantif), sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai
Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pe-midanaan atau
Keseluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk
pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian, maka
keseluruhan peraturan perundang-undangan (“statutory
rules”) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan
sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan umum” (“general rules”) dan “aturan khusus” (“special rules”). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan
aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di
luar KUHP.
- Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam
Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskan-nya hal
ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
1.
Sistem hukum pidana merupakan
satu kesatuan sistem yang ber-tujuan (“purposive
system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;
2.
“Tujuan pidana” merupakan
bagian integral (sub-sistem) dari ke-seluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum
pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem “tindak pidana”,
“pertang-gungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;
3.
Perumusan tujuan dan pedoman
pemidanaan dimaksudkan se-bagai fungsi pengendali/kontrol/pengarah dan
sekaligus mem-berikan dasar/landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan
justifi-kasi pemidanaan;
4.
Dilihat secara
fungsional/operasional, sistem pemidanaan meru-pakan suatu rangkaian proses
melalui tahap “formulasi” (kebi-jakan legislatif), tahap “aplikasi” (kebijakan
judisial/judikatif), dan tahap “eksekusi” (kebijakan administratif/eksekutif);
oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu
sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumus-an tujuan dan
pedoman pemidanaan.
Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan :
Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep,
dila-tarbelakangi oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut
:
a.
ide keseimbangan monodualistik
antara kepentingan masyara-kat (umum) dan kepentingan individu;
b.
ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defen-ce”;
c.
ide keseimbangan antara pidana
yang berorientasi pada pelaku/ “offender”
(individualisasi pidana) dan “victim”
(korban);
d.
ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punish-ment dengan tindakan/treatment/measures);
e.
ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to
imprisonment)”.
f.
Ide elastisitas/fleksibilitas
pemidanaan (“elasticity/flexibility of
sentencing”);
g.
Ide
modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (“modification
of sanction”; the alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining
of punishment”);
h.
Ide subsidiaritas di dalam
memilih jenis pidana;
i.
Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);
j.
Ide mendahulukan/mengutamakan
keadilan dari kepastian hu-kum;
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep
ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada
dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :
1.
adanya pasal yang
menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas) yang
diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict
liability” dan “vicarious liability”
(Pasal 35);
2.
adanya batas usia
pertanggungajawaban pidana anak (“the age
of criminal responsibility”); Pasal 46.
3.
adanya bab khusus
tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);
4.
adanya kewenangan hakim
untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan
perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;
5.
adanya pidana mati
bersyarat (Pasal 86);
6.
dimungkinkannya
terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal 67 jo. 69);
7.
adanya pidana kerja
sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pe-menuhan kewajiban adat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64);
8.
adanya pidana minimal
khusus yang disertai juga dengan aturan/pe-doman pemidanaannya atau
penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121, 130, 137);
9.
dimungkinkannya
penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);
10.
dimungkinkannya pidana
tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2);
11.
dimungkinkannya hakim
menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam perumusan delik yang
hanya diancam dengan pida-na tunggal
(Pasal 56-57);
12.
dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif wa-laupun ancaman pidana dirumuskan
secara alternatif (Pasal 58);
13.
dimungkinkannya hakim
memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa menjatuhkan
pidana/tindakan apapun kepada terdak-wa,
sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52
ayat 2).
14.
adanya kewenangan hakim
untuk tetap mempertanggungjawabkan/ memidana si pelaku walaupun ada alasan
penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya
keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas “culpa
in causa” atau asas “actio
libera in causa”); Pasal 54
15.
dimungkinkannya
perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, wa-laupun sudah berkekuatan tetap
(Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);
Aliran-Aliran Dalam
Hukum Pidana
Salah satu masalah pokok hukum pidana adalah mengenai
konsep tujuan pemidanaan dan untuk mengetahui secara komprehensif mengenai
tujuan pemidanaan ini harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana.
Aliran-aliran tersebut adalah aliran klasik, aliran modern (aliran positif) dan
aliran neo klasik. Perbedaaan aliran klasik, modern dan neo klasik atas
karakteristik masing-masing erat sekali hubungannya dengan keadaan pada zaman
pertumbuhan aliran-aliran tersebut. Aliran klasik yang muncul pada abad ke-18
merupakan respon dari ancietn regime di Perancis dan Inggris yang banyak
menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum dan ketidakadilan. Aliran
ini berfaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will)
manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah
hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya
hanya menganut single track system berupa sanksi tunggal, yaitu sanksi
pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan represif terhadap tindak pidana
karena tema aliran klasik ini, sebagaimana dinyatakan oleh Beccarian adalah
doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan. Sebagai konsekuensinya, hukum
harus dirumuskan dengan jelas dan tidak memberikan kemungkinan bagi hakim untuk
melakukan penafsiran. Hakim hanya merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan
salah atau tidaknya seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang
menjadi kaku dan terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
a. Definisi hukum dari kejahatan;
b. Pidana haru sesuai dengan kejahatannya;
c. Doktrin kebebasan berkehendak;
d. Pidana mati untuk beberapa tindak pidana;
e. Tidak ada riset empiris; dan
f. Pidana yang
ditentukan secara pasti.
Aliran Modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19
yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin
kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia dipandang
tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak
lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau
dipertanggungjawabkan dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan
berdasarkan kesalahan yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya
individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku.
Aliran ini menyatakan bahwa sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan
yang diancam pidana oleh undang-undang, penilaian hakim yang didasarkan pada
konteks hukum yang murni atau
sanksi pidana
itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum
pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik
yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc Ancel, salah satu tokoh
aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan
masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan ke dalam perumusan
undang-undang.
Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai berikut :
a. Menolak definisi hukum dari kejahatan;
b. Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak pidana;
c. Doktrin determinisme;
d. Penghapusan pidana mati;
e. Riset empiris; dan
f. Pidana yang tidak ditentukan secara pasti.
Aliran neo klasik yang juga berkembang pada abad ke-19
mempunyai basis yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada
kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan bahwa pidana yang
dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan
yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik ini didasarkan
pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana minimum dan maksimum
dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle of
extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak kebijakan
peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini mulai
mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak
pidana.
Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
a. Modifikasi dari
doktrin kebebasan berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi,
ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain;
b. Diterima
berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan;
c. Modifikasi dari doktrin pertanggungjawaban
untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan adanya
pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti penyakit
jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan
kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan
d. Masuknya
kesaksian ahli di dalam acara peradilan guna menentukan derajat
pertanggungjawaban.
G. Tujuan Pemidanaan
Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup
dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk
melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang
layak dari proses pidana adalah pencegahan tingkah laku yang anti sosial.
Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan
memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum
pidana. Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan
berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan
yang berkisar pada perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat
dari beberapa pandangan.
Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan
konseptual yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama
lain, yakni pandangan retributif (retributive view) dan pandangan utilitarian
(utilitarian view). Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan
sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga
masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan
terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya
masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).
Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau
kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin
dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan
dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak
lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan
melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan
(forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan
pemidanaan menjadi 3 kelompok yakni : a) Teori absolut (retributif); b) Teori
teleologis; dan c) Teori retributifteleologis.
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada
perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini
mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga
sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
Teori teleologis (tujuan) memandang bahwa pemidanaan bukan
sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi
ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan
kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.
Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan
pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip
teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak
ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan
dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah.
Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral
tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian
hari. Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan
artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi
sekaligus retribution yang bersifat utilitarian dimana pencegahan
dan sekaligus rehabilitasi yang kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus
dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Karena tujuannya bersifat integratif,
maka perangkat tujuan pemidanaan adalah : a) Pencegahan umum dan khusus; b)
Perlindungan masyarakat; c) Memelihara solidaritas masyarakat dan d)
Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka yang merupakan titik berat
sifatnya
kasusistis.
Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami
pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan
rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan
rehabilitasi tidak dapat berjalan. Pada tahun 1970-an telah terdengar
tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak
diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. Terhadap tekanan atas tujuan
rehabilitasi lahir “Model Keadilan” sebagai justifikasi modern untuk pemidanaan
yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan yang dikenal juga dengan
pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model)
yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention)
dan retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap
bahwa pelanggar akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka
mengingat kejahatan-kejahatan yang telah dilakukannya, sanksi yang tepat akan
mencegah para kriminal melakukan tindakan-tindakan kejahatan lagi dan mencegah
orang-orang lain melakukan kejahatan. Dengan skema just desert ini,
pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima penghukuman yang sama, dan
pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan hukuman yang lebih keras
daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Terdapat dua hal yang menjadi
kritik dari teori just desert ini, yaitu: Pertama, karena desert
theories menempatkan secara utama menekankan pada keterkaitan antara
hukuman yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan
kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan-perbedaan yang relevan
lainnya antara para pelaku, seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak
penghukuman kepada pelaku dan keluarganya dan dengan demikian seringkali
memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara
keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedomanpedoman pembeda dari
kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikologi dari penghukuman dan
pihak yang menghukum.
Di samping just desert model juga terdapat model
lain yaitu restorative justice model yang seringkali dihadapkan pada retributive
justice model. Van Ness menyatakan bahwa landasan restorative juctice
theory dapat diringkaskan dalam beberapa karakteristik :
a. Crime is primarily conflict between
individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders
themself; only secondary is it lawbreaking.
b. The overarching aim of the criminal justice
process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by
crimes.
c. The criminal justice process should
facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It
should not be dominated by goverment to the exclusion of others.
Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa restorative
justice model mempunyai beberapa karakteristik yaitu :
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran
seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah
pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
c. Sifat
normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para
pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan
hak, dinilai atas dasar hasil;
f. Sasaran
perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam
proses restoratif;
h. Peran
korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian
hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung
jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan
sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang
terbaik;
j. Tindak
pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
k. Stigma
dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Restorative justice model diajukan oleh kaum abolisionis yang melakukan penolakan
terhadap sarana koersif yang berupa sarana penal dan diganti dengan sarana
reparatif. Paham abolisionis menganggap sistem peradilan pidana mengandung
masalah atau cacat struktural sehingga secara relatistis harus dirubah
dasar-dasar sruktur dari sistem tersebut. Dalam konteks sistem sanksi pidana,
nilai-nilai yang melandasi paham abolisionis masih masuk akal untuk mencari
alternatif sanksi yang lebih layak dan efektif daripada lembaga seperti
penjara.
Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol,
sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah
dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam
membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif
memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk
menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara
substansial berkurang dalam memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative
justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan
pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat
merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka mereka.
Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling
terkenal pengaruh – korban, pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka -- dan
memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice
juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak
dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk
mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan
formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative
justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of
control.
Pengertian Restorative
Justice
"Restorative justice" sebagai
salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan
masih sulit diterapkan. Di Indonesia banyak hukum adat yang bisa menjadi
restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui negara atau tidak
dikodifikasikan dalam hukum nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik
yang muncul di masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.
Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem
peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan
konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak
dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap saja menjadi korban, pelaku
yang dipenjara juga memunculkan persoalan baru bagi keluarga dan sebagainya.
Ciri yang menonjol dari restorative justice,
kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial dan
bukan sekadar pelanggaran hukum pidana. Kejahatan dipandang sebagai tindakan
yang merugikan orang dan merusak hubungan sosial. Berbeda dengan hukum pidana yang
telah menarik kejahatan sebagai masalah negara. Hanya negara yang berhak
menghukum, meskipun sebenarnya komunitas adat bisa saja memberikan sanksi.
Sistem pemenjaraan sebagai pelampiasan
kebencian masyarakat yang diterima dan dijalankan negara. Munculnya ide
restorative justice karena proses pidana belum memberikan keadilan pada korban.
Usaha ke arah restorative justice sebenarnya sudah ada di lembaga
pemasyarakatan, meskipun masih belum menonjol. Penerapan itu misalnya,
menempatkan masa pembinaan sebagai ajang menyetarakan kembali hubungan
narapidana dan korban.
Model
hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan
yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang
tujuan pemberian hukuman adalah penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian
derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari
sejauh mana narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi,
pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).
Selain
pemenjaraan yang membawa akibat bagi keluarga napi, sistem yang berlaku
sekarang dinilai tidak melegakan atau menyembuhkan korban. Apalagi, proses
hukumnya memakan waktu lama. Sebaliknya, pemidanaan restoratif melibatkan
korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping
itu, menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan perbuatannya. Pada korban, penekanannya adalah
pemulihan kerugian aset, derita fisik, keamanan, harkat dan kepuasan atau rasa
keadilan. Bagi pelaku dan masyarakat, tujuannya adalah pemberian malu agar
pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya, dan masyarakat pun menerimanya.
Dengan model restoratif, pelaku tidak perlu masuk penjara kalau kepentingan dan
kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan,
sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.
Namun,
penerapannya tidak mudah. Kalau hanya diterapkan di lingkungan Lapas, hasilnya
tidak akan maksimal. Model restoratif harus dilaksanakan mulai dari kepolisian,
saat pertama kali perkara dalam proses penyidikan. Di kejaksaan dan pengadilan
pun demikian harus dilaksanakan. Satu hal lagi yang sulit adalah memulihkan
derita korban, baik fisik maupun psikis. Kerugian materiil mungkin bisa
digantikan pelaku. Tetapi bagaimana dengan derita psikis, misalnya akibat
pemerkosaan?
Penghukuman pidana pada dasarnya adalah
suatu bentuk penebusan kesalahan yang pernah dilakukan oleh seseorang. Ia
seperti tindakan membayar hutang kepada pemberi hutang. Oleh karena itu ketika
seseorang narapidana telah selesai menjalani hukuman, ia harus diperlakukan
sebagai orang yang merdeka seperti pembayar hutang yang telah melunasi
hutangnya. Apabila mantan napi tidak diperlakukan secara adil sebagai warga
masyarakat biasa yang telah menebus kesalahan, maka akibat yang paling buruk
adalah mereka akan dapat mengulangi kembali tindakan pelanggaran hukumnya.
Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
pelanggar hukum sesungguhnya mempunyai beberapa ciri, bukan ciri tunggal
penjahat. Penjahat dalam hal ini bukan kategori hukum, tetapi kategori sosial
yaitu orang yang pola tingkah lakunya cenderung melanggar hukum pidana. Pelanggaran
hukum pidana telah menjadi pilihan utama dalam bertingkah laku.
Peradilan
jaman sekarang tidak membuktikan bahwa seseorang menjadi jera dan menyelesaikan
masalah. Secara konseptual, keadilan alternatif ini adalah keadilan yang bisa
melihat keadilan secara menyeluruh dan lebih sensitif. Keadilan secara
menyeluruh ini juga mencakup kemungkinan perbaikan yang dilakukan oleh pihak terhukum
kepada korban. Dengan adanya kesempatan itu, konsep keadilan lebih bisa
diterima semua pihak. Tidak seperti sekarang, di mana seseorang bisa saja
melakukan balas dendam pada terhukum setelah korban keluar dari penjara, atau
si korban merasa trauma berlebihan karena pahitnya perasaan ”kotor” yang timbul
setelah diperkosa.
Wajah
lain dari hukum dan proses hukum yang formal tadi adalah terdapatnya fakta
bahwa keadilan formal tadi, sekurang-kurangnya di Indonesia, ternyata mahal,
berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan, yang lebih parah
lagi, penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari
berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik
adalah, mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua
jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai
berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalahnya.
Proses restorative justice pada
dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan
upaya pengalihan dari proses peradilan pidana ke luar proses formal untuk
diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya
bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum pendudukan Belanda, bangsa kita
sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat. Hukum adat tidak membedakan
penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata, semua perkara dapat
diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan
atau pemulihan keadaan.
Sasaran akhir konsep peradilan restorative
ini mengharapkan berkurangnya jumlah tahanan di dalam penjara; menghapuskan
stigma/cap dan mengembalikan pelaku kejahatan menjadi manusia normal; pelaku
kejahatan dapat menyadari kesalahannya, sehingga tidak mengulangi perbuatannya
serta mengurangi beban kerja polisi, jaksa, rutan, pengadilan, dan lapas;
menghemat keuangan negara tidak menimbulkan rasa dendam karena pelaku telah
dimaafkan oleh korban, korban cepat mendapatkan ganti kerugian; memberdayakan
masyarakat dalam mengatasi kejahatan dan; pengintegrasian kembali pelaku
kejahatan dalam masyarakat.
Istilah
“penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan
beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus
sengketa, konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang
melakukan diskresi / pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak
tertentu, dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku / pelanggar agar
mengakomodasi kerugian korban. Istilah umum yang populer adalah dilakukannya
“perdamaian” dalam perkara pelanggaran hukum pidana.
Keuntungan
dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan” dalam menyelesaikan
kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian pada umumnya diserahkan
kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga amat menonjol adalah
biaya yang murah. Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat
menawarkan kompensasi yang dirundingkan / disepakati dengan pihak korban.
Dengan demikian, keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para
pihak sendiri, yaitu pihak korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa
dan putusan hakim.
Sebelumnya
perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana
di luar pengadilan pidana sebagai berikut :
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan,
baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai
ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3. Pelanggaran hukum pidana tersebut
termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan
pidana denda.
4.
pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum
administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut
termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan
wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang
dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai
dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut
termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui
lembaga adat.
Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat menjadi sumber penyalahgunaan wewenang
dari para penegak hukum, khususnya apabila diskresi dibelokkan menjadi
”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat dipersepsi sebagai melunaknya
hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar aturan.
Terkait
dengan kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court Dispute
Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam salah
satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi, sebagai salah
satu bentuk ADR, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata
maupun pidana. Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini
relevan untuk dikaitkan dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya
menyangkut perkara pidana yang ringan.
Pada
penyidikan tindak pidana di tingkat kepolisian, adanya “penyelesaian di luar
pengadilan” seringkali menimbulkan kecurigaan atas kewenangan penyidik
kepolisian dalam menyelesaikan perkara. Adanya kesepakatan antara korban /
pelapor dengan pelaku / terlapor dalam proses penyidikan kepolisian sering
dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum tersebut. Niat
baik dari penyidik kepolisian yang menangani perkara dengan adanya
“penyelesaian di luar pengadilan”, dikenal dalam proses penyidikan kepolisian
maupun kejaksaan dengan istilan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)
seringkali dianggap sebagai “komoditi”. Sindiran sinis sering terucap, berapa
uang yang diminta penyidik, atau berapa uang yang diberikan pihak yang
bersengketa atau berselisih (pelapor dengan terlapor).
Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan
KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam
paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili
menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan
penegakan hukum. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan
kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak
hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana
adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan
tetap sering terjadi kontroversi.
Tujuan Pemidanaan Sebagai Perlindungan
Masyarakat
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tujuan pemidanaan
salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence) dengan
rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Penerapan tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, RKUHP
mengatur tentang adanya penentuan pidana minimum dan maksimum dalam delik-delik
tertentu. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam
penjelasan RKUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus
dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok
untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih
mengefektifkan pengaruh prevensi
umum, khususnya
bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat.
Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum
khusus.
Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu
pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat
merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana
yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana
minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan
yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus.
Pembinaan
Individu Pelaku Tindak Pidana
Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan
kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana.
Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap
dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan
narapidana dan tujuan pemidanaan.
Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih berat dari
putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan perubahan atau
penyesuaian dapat berupa : a) pencabutan atau penghentian sisa pidana atau
tindakan; atau b) penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya. Penjelasan
ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan pemidanaan adalah berorientasi
untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang
memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau
penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh
selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang
diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah : a)
kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana; dan b) perubahan yang akan
menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa pemidanaan kepada
pelaku bertujuan untuk mencapai perbaikan kepada pelaku sebagai tujuan
pemidanaan adalah ketentuan Pasal 60 yang menyatakan bahwa jika suatu tindak
pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif, maka penjatuhan pidana
pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah
sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan. Ketentuan ini juga
sejalan dengan adanya ketentuan mengenai pengurangan hukuman pada masa
penangkapan dan penahanan yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa pengurangan
masa pidana bertujuan untuk menimbulkan pengaruh psikologis yang baik terhadap
terpidana dalam menjalani pembinaan selanjutnya.
Tujuan Pemidanaan Sebagai Pembinaan Pelaku
dan Menuju ke Sanksi yang Alternatif
Salah satu perkembangan dalam RKUHP berkaitan dengan
penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan adalah perlakukan (treatment)
yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan
Pasal 41 RKUHP75 atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku
bersama-sama dengan pidana pokoknya. Jenis-jenis tindakan yang dikenakan kepada
pelaku yang memenuhi ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 berupa :
a. Perawatan di rumah sakit jiwa;
b. Penyerahan kepada pemerintah; atau
c. Penyerahan kepada seseorang.
Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana
pokok terdiri atas :
a) Pencabutan surat izin mengemudi;
b) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
c) Perbaikan akibat tindak pidana;
d) Latihan kerja;
e) Rehabilitasi; dan/atau
f) Perawatan di lembaga.
Penjelasan Pasal 101 menyatakan bahwa Kitab Undang-undang
Hukum Pidana ini menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan (double track
system), yaitu di samping pembuat tindak pidana dapat dijatuhi
pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Penetapan sanksi berupa
tindakan ini harus sesuai dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.
Ketentuan Pasal 102 menyatakan bahwa dalam menjatuhkan putusan yang berupa
pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54 dan Pasal 55. Pengenaan tindakan ini bukan didasarkan atas ancaman
yang terdapat dalam tindak pidananya, karena memang dalam tidak ada tindak
pidana yang diancamkan dengan pengenaan tindakan, tetapi didasarkan pada
kondisi di
pelaku. Terdapat
dua kelompok pelaku yang dapat dikenakan tindakan, yaitu bagi orang yang tidak
mampu bertanggung jawab atau kurang mampu bertanggung jawab dan orang yang
mampu bertanggung jawab dan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada
masyarakat.
Sistem pemidanaan dua jalur (double track system)
secara teoritis telah dianut dalam KUHP, namun sanksi tindakan hanya
diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan anak di bawah
umur sebagaimana dirumuskan dalam KUHP Pasal 44 dan Pasal 45. Dalam
perkembangannya, perundang-undangan di luar KUHP telah menerima konsep
perluasan pengenaan jenis sanksi tindakan yang juga dapat diancamkan terhadap
orang yang tidak mampu bertanggung jawab dan korporasi sebagai pelaku tindak
pidana, misalnya pada UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.78 Jenis tindakan dalam pola
pemidanaan dalam beberapa regulasi di Indonesia ini hanya dianggap sebagai
sanksi yang bersifat komplementer atau pelengkap dan tidak ada bedanya dengan
jenis sanksi pidana tambahan yang bersifat fakultatif. Meskipun juga telah ada sanksi tindakan yang
bersifat mandiri atau sebagai sanksi alternatif, misalnya dalam UU No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, namun tidak ada penjelasan yang memadai mengenai
argumentasi atau landasan pengenaan sanksi tindakan yang bersifat mandiri
tersebut.
Sanksi tindakan sebagaimana dirumuskan dalam RKUHP telihat
bahwa merupakan sanksi yang bersifat mandiri untuk tindakan sudah menujuk
secara jelas tentang pihak yang dapat dikenai sanksi tindakan tersebut, yakni
setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa,
penyakit jiwa atau retardasi mental. Sementara sanksi tindakan berupa : a)
pencabutan surat izin mengemudi; b) perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana; c) perbaikan akibat tindak pidana; d) latihan kerja; e)
rehabilitasi; dan/atau f) perawatan di lembaga bukan merupakan sanksi yang
mandiri karena hanya bisa dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokoknya.
Beberapa tindakan yang dirumuskan juga ditujukan untuk memperbaiki atau
merehabilitasi pelaku, di antaranya tindakan berupa perawatan di rumah sakit
jiwa, tindakan berupa latihan kerja dan tindakan berupa rehabilitasi.
Tindakan-tindakan ini juga diberikan pengaturan yang menunjukkan kebutuhan bagi
pelaku yang dikenai pidana, misalnya untuk tindakan berupa latihan kerja yang
harus mempertimbangkan tentang kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana,
kemampuan pembuat tindak pidana, dan jenis latihan kerja dimana dalam
menentukan jenis latihan kerja ini wajib diperhatikan latihan kerja atau
pengalaman kerja yang pernah dilakukan, dan tempat tinggal pembuat tindak
pidana.
Perumusan dan penegasan tentang sistem penggunaan double
track system dengan mengatur secara khusus tentang sanksi tindakan
menunjukkan bahwa pandangan baru yang diadopsi untuk menuju ke sistem
pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan. Pengaturan dalam RKUHP ini
relatif lebih maju karena sanksi tindakan bukan hanya diberikan kepada
pihak-pihak yang tidak mampu bertanggung jawab dan mengalami gangguan jiwa
sebagaimana dianut dalam paham klasik, tetapi juga bagi pihak yang mampu
bertanggung jawab. Penetapan sanksi berupa tindakan ini juga merupakan bentuk
penegasan tentang berbagai alternatif penentuan sanksi dengan diberikannya hak
kepada pengadilan untuk mengadakan kebijaksanaan dalam penjatuhan sanksi. Hal
ini sejalan dengan hukum pidana modern tentang individualisasi pidana dimana
mensyaratkan adanya keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi
apa (pidana atau tindakan) yang patut (proper) untuk individu yang
bersangkutan, meskipun juga harus dalam batas-batas yang ditentukan dengan
undang-undang sebagaimana disyaratkan bahwa penjatuhan sanksi harus
mempertimbangkan ketentuan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.
Kesimpulan
Secara umum, pengaturan tentang pemidanaan dalam RKUHP
telah mengalami kemajuan dimana tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan sudah
dirumuskan secara jelas dan rinci sebagai bagian untuk menentukan batas
pemidanaan (the limit of sentencing) dan penentuan bobot pemidanaan (the
level of sentencing). Ketentuan dalam pemidanaan ini kemudian dipertegas
dengan penentuan jenis-jenis sanksi yang memberikan alternatif bagi pengadilan
untuk menentukan sanksi yang patut bagi pelaku berdasarkan tingkat kejahatan,
kondisi pelaku dan keadaaan-keadaaan lainnya sehingga tidak ada penyamarataan (indiscriminately)
atas penjatuhan pidana. Pidana penjara atau pencabutan kemerdekaan, meskipun
masih sulit dihapuskan, juga mulai menjadi jenis sanksi yang dalam penerapannya
lebih selektif. Namun masih diaturnya hukuman mati, yang banyak tersebar dalam
beberapa delik, menjadi bagian yang lebih mengancam tujuan pemidanaan yang
telah dirumuskan meskipun dinyatakan sebagai salah satu sanksi pidana yang
khusus. Sementara itu sanksi berupa tindakan, diatur lebih maju atau lebih baik
dari pengaturan tentang berbagai sanksi tindakan yang saat ini diatur dalam
hukum positif Indonesia, baik dalam KUHP maupun undangundang lainnya.
Tujuan pemidanaan
yang terdapat dalam RKUHP berorientasi untuk perlindungan masyarakat dan
melakukan pembinaan kepada pelaku. Hal ini tercermin dari 4 tujuan pemidanaan
yang lebih banyak menitikberatkan pada bagaimana mengembalikan pelaku menjadi
pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain
agar tidak melakukan tindak pidana. Tujuan pemidanaan yang bermaksud untuk
merehabilitir pelaku ini dikuatkan dengan ketentuan bahwa tujuan pemidanaan
bukan dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia.
Dalam Hal penetapan jenis sanksi pidana, RKUHP menambahkan
beberapa jenis pidana baru, yakni pidana pengawasan dan pidana kerja sosial.
Penetapan hukuman mati, meskipun ditempatkan pidana yang bersifat khusus dan
dalam penerapannya dilakukan secara selektif, merupakan pidana yang tetap tidak
sesuai dengan tujuan pemidanaan sebagai landasan untuk menetapkan sanksi
pidana. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati. Beberapa ketentuan tentang pelaksanaan hukuman mati, termasuk
adanya kesadaran bahwa hukuman mati merupakan hukuman yang sangat berat dan tidak
akan dapat melakukan koreksi jika terjadi kekeliruan, menunjukkan bahwa ada
keragu-raguan untuk menerapkan hukuman mati.
Rekomendasi
Ketentuan mengenai sanksi ganti kerugian kepada korban
harus diatur secara lebih jelas untuk memberikan jaminan bahwa korban akan
mendapatkan hak-hak ganti rugi tersebut. Pengaturan ini juga menuntut adanya
perubahan prosedur tentang ganti rugi ini, terutama soal pengajuan hak-hak
ganti rugi kepada korban tersebut. Mengenai besaran ganti kerugian kepada
korban juga harus dirumuskan sebagaimana dalam pidana denda dan bukan
semata-mata diserahkan kepada hakim untuk menentukan besaran ganti kerugian
kepada korban. Hukuman mati selayaknya dihapuskan karena jenis hukuman mati ini
tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal
Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative
Justice Philosophy to Practice, edited by Heather Strang and John
Braithwaite, The Australian National University, Asghate Publising Ltd, 2000.
hlm, 14.
Prof
Adrianus Meliala, PhD: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa
Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di
Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan Departemen
Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency for
International Development.
--------------------------------:
Antara Menghukum Atau Mempermalukan: Suatu Upaya Memodifikasi Perilaku.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta. Tanpa
tahun.
--------------------------------:
Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi Dan Potensinya Di Indonesia.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta. Tanpa
tahun.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan
dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Baksi, 1998, hlm. 113-114.
---------------------------------, Bunga Rampai
Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm.
152-153.
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, 1985, hlm. 27.
Daniel S. Lev, Hukum Kolonial dan Asal-usul Pembentukan
Negara Indonesia, dalam Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan
Perubahan, LP3ES, 1990, hlm. 467.
Daniel W. Van Ness, Restorative justice and
International Human Rights, Restorative Justice: International Perspektive,
edited by Burt Galaway and Joe Hudson, Kugler Publications, Amsterdam, The
Netherland. hlm. 23.
Edi Setiadi; Kontroversi Pelaksanaan
KUHAP, Harian Pikiran Rakyat, 8 Pebruari 2003.
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction,
Stanford University Press, California, 1968, hlm. 9.
Ifdhal Kasim, Over Criminalization Mengintai dalam RUU
KUHP.
M. Solehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT
Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 131.
Mohammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai
Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, 2005, hlm. 107-113.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan
Pidana, PT ALUMNI, Bandung, 1998, hlm. 95.
----------------------------, Lembaga Pidana Bersyarat,
Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 29-32.
-----------------------------, Kapita Selekta Hukum
Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm.
127-129.
------------------------------, Kapita Seleksi Hukum
Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1996, hlm. 125.
Micahel Tonry, Sentencing Matters, Oxford University
Press, New York, 1996, hlm. 15.
Prof
Dr Muhammad Mustofa, MA: Disampaikan dalam Lokakarya Menghukum Tanpa
Memenjarakan: Mengaktualisasikan Gagasan "Restorative Justice" di
Indonesia, di Depok, Kamis (26/2/2004). Diskusi yang diselenggarakan
Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI dan Australia Agency
for International Development.
PAF Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia, Armico,
Bandung, 1984, hlm. 69.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Prespektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 101.
Soedarto, Suatu Dilema dalam Sistem Pidana Indonesia,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro,
Semarang, 21 Desember 1974, hlm. 3.
Soehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, 2003, hlm.
61.
---------------------------, Sistem Sanksi dalam Hukum
Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Raja
Grafindo Persada, 2003, hlm. 62.
Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues,
West Publising Company, New York, 1987, hlm. 352.
Fifth UN Congress on Prevention of Crime and the Treatment
of Offenders, New York,
Departement of Economic and Social Affairs, United Nation, 1976, hlm. 38.
Delapan konsep RKUHP ini dimulai sejak Konsep Rancangan
Buku I KUHP tahun 1968, tahun 1971,
Konsep Tim Harris, Basaroeddin dan Situmorang tahun 1981
yang isinya sama dengan konsep tahun 1968 dan 1971,
Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yang diketuai Prof. Soedarto,
Konsep RKUHP tahun 1982/1983, Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami
perbaikan, Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim
sampai dengan 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987,
Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yang diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.