Jumat, 13 Desember 2013

kejahatan terhadap Kesusilaan dalam Hukum Pidana Islam, KUHP, RKUHP

BAB I
 PENDAHULUAN 


 A. Latar Belakang.
Kejahatan atau tindak pidana selalu ada dan melekat pada masyarakat, salah satu upaya pencegahan dan pengendalian kejahatan ialah dengan memberikan sanksi kepada pelakunya, berupa pemidanaan. ”Tugas sanksi adalah merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang dan merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melangar norma hukum, dengan demikian sanksi dapat sekaligus merupakan alat preventif, dan dalam hal telah terjadi suatu pelanggaran norma ia menjadi alat represif.” Konsep ”Tindak Pidana Kesusilaan” dalam perspektif hukum Islam menentukan dengan sangat sederhana bahwa kejahatan kesusilaan merupakan kejahatan yang sangat peka, sehingga kalau memang terbukti dan diajukan dimuka hakim hukumannya tegas dan jelas. Karena menyangkut harkat dan martabat dan harga diri manusia. Dan banyak ayat menyangkut kesusilaan ini yang patut menjadi perhatian diantaranya adalah : ”Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al Isra : Ayat 32).Sedemikian peringatan tentang perzinaan : tidak disebut jangan berzina, mendekati saja pun sudah termasuk larangan. Mengingat kejinya zina, ancaman hukuman bukan kepalang dilukiskan, diantaranya yaitu : ” Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya” (QS. An Nisaa’: Ayat 15). ” Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (QS. An Nuur : Ayat 2). Sanksi pidana merupakan sanksi yang lebih berat dibandingkan jenis sanksi lain seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata. Penentu sanksi pidana didasarkan pada benar-benar diperlukan adanya alat pemaksa (pamungkas) tertinggi (ultimum remedium) untuk menjamin suatu norma. Oleh karena itu, hukum pidana dapat disebut sebagai benteng dari hukum. “Dalam sistem hukum islam terdapat dua jenis sanksi, yaitu sanksi yang bersifat ukhrawi, yang diterima di akhirat kelah, dan sanksi duniawi yang diterapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. Adapun tujuan hukum pada umumnya adalah menegakan keadilan agar terwujud ketertiban dan ketentraman masyarakat. Oleh karena itu, putusan hakim harus mangandung rasa keadilan agar dipatuhi masyarakat.” Bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang lahir “atas berkat Rahmat Allah Yang Maha kuasa”, pengakuan ini secara resmi dituangkan pada bagian pembukaan (Preambule) UUD 1945 serta lebih jauh lagi dimasukan pada Bab XI tentang Agama khususnya Pasal 29 ayat 1 UUD 1945. Amanat para pendiri Republik Indonesia tersebut sebenarnya adalah merupakan suatu dasar dan penentu atas kelanjutan hidup berbangsa dan bernegara, oleh karenanya falsafah pancasila haruslah dijadikan sebagai nilai-nilai dasar dalam setiap bentuk usaha guna pembangunan pada segala aspeknya yang saat ini sedang kita lakukan, termasuk di dalamnya mengenai pembangunan hukum nasional. Seperti diketahui sampai saat ini hukum positif terdiri dari unsur-unsur ; (1) hukum adat (2) Hukum islam (3) Hukum Barat dan (4) Hukum nasional yang disusun setelah proklamasi kemerdekaan berdasarkan pancasila dan UUD 1945, karena itu hukum positif Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945, maka tugas pertama pembangunan hukum nasional ialah dalam waktu dekat mencabut atau menggantikan peraturan hukum yang berasal dari kolonial itu dan yang masih berlaku di Indonesia melalui Pasal II Aturan peralihan UUD 1945 dengan peraturan nasional, dan menciptakan hukum baru yang secara utuh bersumber pada pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan tuntutan pembangunan serta mampu bertanggungjawab atas perkembangan masyarakat baik ditingkat nasonal maupun global. Pandangan dan konsep nilai bangsa Indonesia tentu sangat berbeda dengan konsep nilai bangsa asing. Hal demikian yang menjadi salah satu latar belakang mengapa KUHP (WvS) yang merupakan warisan bangsa kolonial dan masih berlaku sampai sekarang perlu diperbaharui. Menurut Sudarto : “Dinegara kita pandangan dan konsep nilai berdasarkan pancasila, sedangkan pandangan tentang hukum pidana erat sekali hubungannya dengan pandangan yang umum tentang hukum, tentang negara dan masyarakat dan tentang kriminalitas (kejahatan)”. Adapun salah satu kajian alternatif yang mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum pidana nasional saat ini ialah kajian sistem hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dikatakan demikian karena seiring dinyatakan bahwa sistem hukum nasional disamping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembangan di dalam masyarakat. “Nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama”. Hukum Islam sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berpotensi memeberikan sumbangan bagi usaha pembahuan hukum pidana yang tengah diupayakan bangsa Indonesia. Menurut Ichtiyanto, sebenarnya hukum islam ada di dalam hukum nasional. Dalam teori “Eksistensi”-nya ia menyatakan bahwa : 1) Hukum Islam adalah bagian dari hukum nasional Indonesia ; 2) Hukum Indonesia bersifat mandiri dalam arti, kekuatan dan wibawanya diakui oleh hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional ; 3) Norma hukum islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum dan unsur-unsur utama hukum nasional Indonesia.” 
 B. Rumusan Masalah.
 1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pidana kesusilaan di Indonesia saat ini (di dalam KUHP dan Undang undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi), serta dalam Hukum Pidana Islam dan RKUHP ?
 2. Bagimanakah Perbedaan Penerapan sanksi pemidanaan terhadap Kesusilaan menurut KUHP dan Undang undang Nomor 44 tahun 2008, serta dalam Hukum Pidana Islam dan RKUHP ?
 3. Bagaimanakah Kontribusi Hukum Islam terhadap Hukum Pidana mengenai kesusilaan di Indonesia saat ini serta dalam RKUHP ? 
 BAB II PEMBAHASAN 
 A. Rumusan tindak pidana kesusilaan di Indonesia saat ini. 
Hukum pidana pada hakikatnya berisi norma-norma dan ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan diharuskan disertai pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Pelanggaran atas ketentuan hukum pidana biasanya disebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana dan banyak istilah lainya, yang terhadap pelakunya dapat dikenai sanksi sebagaimana sudah ditetapkan dalam undang-undang. Ketentuan hukum mengenai pidana kesusilaan di Indonesia saat ini setidaknya terdapat 2 (dua) ketentuan organik yang mengaturnya, antara lain di dalam KUHP (WvS) serta Undang undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hanya saja baik di dalam KUHP (WvS) maupun Undang undang Nomor 44 Tahun 2008, Nomenklatur (pemakaian istilah atau penamaan) tentang ”tindak pidana kesusilaan” tidak dikenal akan tetapi hanya dikenal sebagai tindak pidana terhadap kesopanan, namun demikian esensi dari istilah ”kesopanan” dalam KUHP tersebut adalah mengandung makna yang sama dengan ”tindak pidana kesusilaan” dalam penulisan ini. Di dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, pengaturan mengenai ”tindak pidana kesopanan” di atur pada Buku Kedua Bab XIV (tentang kejahatan) dan Buku Ketiga Bab VI (tentang Pelanggaran). Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan kesopanan disini adalah dalam arti kesusilaan (Zeden, eerbaarheid) atau perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin, misalnya bersetubuh, meraba buah dada wanita, meraba kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya. Konsep tindak pidana pada Bab XIV Buku Kedua dan Bab VI Buku Ketiga KUHP (WvS) tersebut, menurut Wirjono Prodjodikoro dibagi dalam dua jenis tindak pidana yakni : 1. Tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid). Untuk kejahatan melanggar kesusilaan terdapat pada pasal 281 sampai dengan 299, sedangkan untuk pelanggaran golongan pertama (kesusilaan) dirumuskan dalam pasal 532 sampai pasal 535. 2. Tindak pidana melanggar kesopanan (zeden) yang bukan kesusilaan, artinya tidak berhubungan dengan masalah seksual, untuk kejahatan kesopanan ini dirumuskan dalam jenis pelanggaran terhadap kesopanan (di luar hal yang berhubungan dengan masalah seksual) dirumuskan dalam pasal 236 sampai dengan 547. Untuk menutupi beberapa kekurangan dalam KUHP (WvS), lalu kemudian terbit Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang pada intinya mengatur mengenai larangan eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum. Delik kesusilaan (zedelijkheid) dalam Bab XIV tentang Kejahatan meliputi perbuatan-perbuatan : 1. Melanggar kesusilaan (Pasal 281). 2. Menyiarkan, mempertunjukkan, dan seterusnya, tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan (Pasal 282). 3. Menawarkan, memberikan, dst., tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan (Pasal 283). 4. Zina (Pasal 284). 5. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan (Pasal 285). 6. Bersetubuh dengan seorang wanita dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286). 7. Bersetubuh dengan wanita yang umurnya belum 15 tahun (Pasal 287). 8. Bersetubuh dengan wanita di dalam perkawinan yang belum mampu dikawin (Pasal 288). 9. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa melakukan perbuatan cabul (Pasal 289). 10. Melakukan perbuatan cabul dengan orang pingsan, belum berumur 18 tahun (Pasal 290). 11. Melakukan perbuatan cabul dengan orang sama jenis, yang belum cukup umur (Pasal 291). 12. Dengan memberi atau menjanjikan, menggerakkan seseorang belum cukup umur dan baik tingkah lakunya untuk melakukan perbuatan cabul (Pasal 293). 13. Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur (Pasal 294). 14. Menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, atau anak angkatnya yang belum cukup umur (Pasal 295). 15. Menghubungkan, memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296). 16. Perdagangan wanita dan anak laki-laki belum cukup umur (Pasal 297). 17. Mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati yang dapat menggugurkan hamilnya (Pasal 299). Sedangkan Delik kesusilaan (zedelijkheid) dalam Bab VI Buku Ketiga KUHP (WvS) meliputi perbuatan-perbuatan : 1. Menyanyikan lagu-lagu, mengadakan pidato, mengadakan tulisan atau gambaran yang melanggar kesusilaan di muka umum (Pasal 532). 2. Mempertunjukkan, menempelkan tulisan, gambaran atau benda yang mampu membangkitkan nafsu birahi para pemuda (Pasal 533). 3. Terang-terangan mempertunjukkan sarana untuk mencegah hamil (Pasal 534). 4. Terang-terangan mempertunjukkan sarana untuk menggugur-kan kandungan (Pasal 535). B. Rumusan Tindak Pidana Kesusilaan Dalam RKUHP. Dalam RUU KUHP Tahun 2012 tidak lagi membedakan antara "kejahatan" dan "pelanggaran" sebagaimana selama ini dibedakan menurut KUHP yang berlaku. RUU KUHP hanya terdiri atas dua buku, yaitu Buku I mengenai Ketentuan Umum dan Buku II mengenai Tindak Pidana. Sebagai konsekuensi logis dari tidak adanya pembedaan tersebut adalah tidak lagi ada kualifikasi "kejahatan kesusilaan" dan "pelanggaran kesusilaan". Tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP diatur pada Bab XVI Pasal 467 s/d Pasal 503 RUU KUHP. Tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP merupakan gabungan dari "kejahatan" dan "pelanggaran” kesusilaan. Artinya, baik materi/substansi pasal-pasal yang merumuskan kejahatan kesusilaan maupun pelanggaran kesusilaan diadopsi menjadi materi/substansi tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP. Secara garis besar tindak pidana kesusilaan dalam RUU KUHP meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut : 1. Perbuatan yang berhubungan dengan kesusilaan di Muka Umum (Pasal 467). 2. Perbuatan yang berhubungan dengan Pornografi (Pasal 468 – Pasal 479). 3. Menawarkan dan sebagainya tulisan, gambar, benda, atau rekaman untuk mencegah atau menggugurkan kandungan (Pasal 480 - Pasal 482). 4. Tentang Zina dan perbuatan cabul (Pasal 483 – Pasal 487). 5. Tentang perkosaan (Pasal 488). 6. Tentang pencabulan (Pasal 489 – Pasal 497). 7. Tentang pengobatan yang dapat mengakibatkan gugurnya kandungan (Pasal 498). 8. Tentang melakukan persetubuhan terhadap hewan (Pasal 501 ayat 1 huruf c). Dalam RUU KUHP terdapat beberapa perkembangan atau perluasan. Perkembangan yang dimaksud adalah adanya beberapa perbuatan yang dalam RUU KUHP (ius constituendum) diancam pidana, padahal dalam KUHP yang berlaku saat ini (WvS) merupakan perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana (ius con-stitutum). Serta dalam RUU KUHP juga terdapat perluasan mengenai perumusan tindak pidana, dimana semula diatur dalam KUHP (WvS) lalu diadopsi dalam RUU KUHP untuk kemudian diadakan perluasan perumusan atas tindak pidana tersebut. Adapun perluasan-perluasan yang berbeda antara KUHP saat ini (WvS) dengan RUU KUHP tentang tindak pidana kesusilaan antara lain sebagai berikut : 1. Yang dapat di pidana atas perbuatan ”Zina” antara Pasal 284 KUHP (WvS) dengan Pasal 483 RUU KUHP pada dasarnya adalah sama yakni ”apabila salah satu pihak (pria atau wanita) telah terikat dalam hubungan perkawinan”. Hanya saja di dalam RUU KUHP terdapat penambahan yakni : walaupun, baik laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah apabila melakukan persetubuhan juga dapat dipidana (Pasal 483, ayat (1), huruf e, RUU KUHP 2012). 2. Definisi ”persetubuhan dengan anak” dalam KUHP (WvS) adalah 15 tahun (Pasal 287 ayat (1), akan tetapi dalam RUU KUHP adalah usia 2 Tahun (Pasal 484 RUU KUHP). 3. Dalam KUHP yang berlaku saat ini (WvS) tidak diatur mengenai ”kumpul kebo” (Samen Leven), akan tetapi dalam RUU KUHP dapat di pidanakan (Pasal 485 RUU KUHP). 4. Dalam KUHP yang berlaku saat ini (WvS) tidak diatur mengenai ”melacurkan diri”, akan tetapi dalam RUU KUHP perbuatan tersebut dilarang (Pasal 486 RUU KUHP). C. Rumusan Tindak Pidana Kesusilaan Dalam Hukum Pidana Islam. Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abdal Qodir Awdah bahwa jinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara'. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir. Haliman dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta. Tindak pidana yang berkaitan dengan hak Allah adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misal perampokan, pencurian, perzinaan, pemberontakan. Tindak pidana yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala sesuatu yang mengancam kemaslahatan bagi seorang manusia. Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat. Delik perzinaan ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah (ghairu muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali. Sementara bagi pezina muhsan dikenakan sanksi rajam. Rajam dari segi bahasa berarti melempari batu. rajam adalah melempari pezina muhsan sampai menemui ajalnya. Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus kali adalah firman Allah dalam QS. An Nuur, ayat 2 : “ Artinya : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”. Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi : خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ ” Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam”. Ancaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan Islam zina merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping itu pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran Allah untuk menikah. Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukum rajam, sekalipun bersumber pada khabar ahad. Sementara golongan Khawarij, Mu’tazilah dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan, sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk). Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam adalah : 1. Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nas. 2. Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka, kalau hukum rajam dianggap sebagai hukuman mati, apa ada hukuman separoh mati. Demikian juga ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua kali lipat Apakah ada dua kali hukuman mati. Secara jelas ayat yang menolak adalah QS. An Nisaa’, ayat25: …فَإِذَا اُحْـصِنَّ فَإِنْ أَتَــيْنَا بِــفَاحِـشَةٍ فَـعَلَيْـهِنَّ نِـصْفُ مَــا عَلَى الْمُحْصَـنَـاتِ مِنَ الْعَــذَابِ… … jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji (zina), maka hukumannya adalah separoh dari wanita merdeka … Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua, maka hukum yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika pelakunya budak, maka berdasarkan ketentuan QS. An Nisaa’ ayat 25 adalah separoh, yakni lima puluh kali. 3. Hukum dera yang tertera dalam QS. An Nuur ayat 2 berlaku umum, yakni pezina muhsan dan ghairu muhsan. Sementara hadis Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah. Masih dalam aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana dikutip oleh Fazlur Rahman, menyatakan bahwa hukum rajam dengan argumnetasi seluruh materi yang bersifat tradisional bersifat non reiable, di samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah orang-orang Yahudi. Sementara Anwar Haryono menyatakan, bahwa hukum rajam pertama kali diterapkan dalam sejarah Islam terhadap orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat. Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa saja yang berzina dirajam. Demikian halnya dengan pendapat Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum rajam ada dan dipraktekan dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum diturunkannya QS. An Nuur ayat (2). Maka hukum yang muhkam Alangkah bijaksananya kalau kita mengatakan hukum had itu tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat, rukun dan tanpa adanya unsur subhat. sampai sekarang adalah hukum dera bagi pezina. Tidak ada maksud mengklaim kebenaran pada salah satu pihak yang pro dan kontra tentang sanksi bagi pezina (dera atau rajam). Ada baiknya merujuk pada teks dengan mempertimbangkan realitas masyarakat kontemporer, seperti Indonesia yang plural. Artinya harus bertolak dari kenyataan bahwa hukum rajam bukan hukum yang hidup dalam sistem negara Islam manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas dari adanya perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan konstruksi masyarakat muslim pada saat hukum rajam diterapkan. Perubahan masyarakat pada gilirannya merubah rasa hukum masyarakat, sehingga masyarakat enggan melaksanakan hukum rajam, di sisi lain pezina harus dihukum berdasarkan ketentuan al-Qur`an. Di sini perlu dipahami, bahwa perintah Rasul untuk menghukum rajam bagi pezina harus diperhitungkan latar belakang historisnya: 1. Hukum rajam pertama kali diterapkan kepada orang Yahudi, dasar hukumnya adalah kitab mereka yakni Taurat. 2. Diterapkannya hukum rajam pada masa Nabi adalah ketika surat an-Nur ayat (2) belum diturunkan. Sedang hukum yang berlaku setelah diturunkannya surat an-Nur ayat (2) adalah hukum cambuk (dera) 100 kali. 3. Rasululah menghukum rajam di kala itu bukan sebagai hukuman had, melainkan hukuman ta’zir. Hukum rajam atau dera seratus kali bagi pezina bukanlah suatu kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur dengan teorinya halah al-had al-a’la, (batas maksimal ketentuan hukum Allah), bahwa hukum rajam (dera) bisa dipahami sebagai hukum tertinggi dan adanya upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut dapat dibenarkan. Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui oleh orang lain, Islam memberikan peluang terhadapnya untuk bertobat. Sebagaimana Nabi menjadikan sarana dialog dalam kasus Ma’iz bin Malik, yang mengaku berzina dan minta disucikan kepada Nabi. Nabi berpaling dan bertanya berulang-ulang agar pengakuan dicabut dan segera bertaubat. Dari berbagai pendapat tentang eksistensi hukum rajam, dapat disimpulkan bahwa hukum rajam adalah alternatif hukuman yang terberat dalam Islam dan bersifat insidentil. Artinya penerapannya lebih bersifat kasuistik. Karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan matang kemaslahatan individu maupun masyarakat. 
 D. Kontribusi Hukum Pidana Islam Terhadap Hukum Pidana Nasional. 
Menurut hukum islam disyaratkannya hukuman adalah untuk memperbaiki perilaku manusia, memelihara mereka dari segala bentuk kemafsadatan (kerusakan), mengindai mereka dari kesesatan, mengajak mereka untuk mentaaati seluruh perintah Allah SWT dan Rasul-nya, dan meredam seluruh bentuk maksiat. Dalam hukum islam dikenal beberapa sanksi berkenaan dengan pertanggungjawaban perbuatan, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah memaafkan tanpa menuntut diat sama sekali, dan merupakan perbuatan mulia serta sangat disukai oleh ALLAH SWT. Pemaafan tersebut diperbolehkan pada semua tindak pidana kisas/diat dan takzir yang merupakan hak adamu, sedangkan pada tindak pidana hudud merupakan hak ALLAH SWT. Konsep pemaafan dalam hukum islam sebetulnya hampir sama dengan ”asas rechterlijk pardon” yang termuat dalam pasal 55 ayat 2 Rancangan KUHP 2012, yang antara lain di sebutkan : “ Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan memepertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Selanjutnya penjelasan dari pasal 52 RKUHP menyebutkan : “ Ketentuan ini dikenal dengan asas rechterlijke pardon yang memeberi kewenangan kepada hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan tindak pidana yang bersifat ringan (tidak serius). pemberian maaf ini dicantumkan dalam putusan hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang di dakwakan kepadanya”. Menurut Syathibi sebenarnya setiap hukum syara tidak pernah sunyi dari hak allah, yakni dari segi ibadahnya, sebagaimana juga adanya hak bagi manusia, karena cepat atau lambat sesungguhnya syariat itu diadakan dengan mengandung pengertian untuk kemaslahatan manusia (hamba Allah). Jadi jelas bahwa islam sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan hal demikian juga tercermin dalam sistem pemidanaan menurut hukum islam. Didalam Ensiklopedia Hukum Islam disebutkan bahwa diantara ciri-ciri hukum islam adalah hukum islam sangat memperhatikan segi kemanusiaan seseorang, baik mengenai jiwa, akal, maupun akidahnya, baik selaku perorangan maupun anggota masyarakat; mengenai anak dan isteri maupun harta kekayaannya. manusialah yang menjadi sumber bagi segala hukum yang digariskan dalam al-quran. hukum islam memberikan penghormatan kepada manusia karena kemanusiaanya. Hukum islam tidak membenarkan seorang melecehkan harga diri, mengancam atau menumpahkan darah orang lain. Disampng itu hukum islam juga tidak mendasarkan perintahnya pada pemaksaan yang dapat menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi geraknya. 
BAB III PENUTUP 
 Kontribusi hukum pidana islam terhadap KUHP dan RKUHP dapat di lihat dalam kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang secara kesusilaan dianggap menyimpang dan di kenakan sanksi pidana terhadap para pelaku kejahatan terhadap kesusilaan. Dalam hukum pidana islam dikenal dengan prinsip memaafkan atau dengan kata lain apabila korban memaafkan maka kejahatan tersebut secara otomatis hilang dan tidak perlu dipertanggungjawabkan kepada korban oleh pelaku, konsep ini di adopsi oleh hukum pidana indonesia khusunya dalam rancangan RKUHP yang disebut dengan rehtilejk Pardon, atau dapat dijumpai dalam pasal 55 ayat 2 RKUHP. Klasifikasi tindak pidana dalam hukum Islam dibagi atas : Hudud Qisas / Diyat Ta’zir Tindak pidana Hudud Adalah setiap tindak pidana yang sanksinya ditentukan oleh al-quran maupun hadis nabi. Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat dengan kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak Allah Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan Langsung oleh Allah SWT. Ini berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas ditentukan dan Allah SWT tidak mengenal tingkatan serta harus dilaksanakan.