Minggu, 20 Maret 2011

Undang-Undang Advokat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a.  bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, tertib, dan
berkeadilan; 
b.  bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh
dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas,  mandiri, dan bertanggung jawab,
untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian
hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan,
dan hak asasi manusia; 
c.  bahwa Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam
menegakkan hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi
terselenggaranya upaya penegakan supremasi hukum; 
d.  bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Advokat yang berlaku
saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat; 
e.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Advokat.

Mengingat :
1.  Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; 
2.  Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor
81); 
3.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaaan Kehakiman  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879); 
4.  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209); 
5.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung   (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3316); 
6.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3327); 
7.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3344); 
8.  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400); 

9.  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3713); 
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia  Tahun 1998 Nomor 135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3778); 
11. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG ADVOKAT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.  Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini. 
2.  Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi
hukum, bantuan hukum,  menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela,
dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. 
3.  Klien adalah orang, badan hukum, atau lembaga lain yang menerima jasa hukum
dari Advokat. 
4.  Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-
Undang ini. 
5.  Pengawasan adalah tindakan teknis dan administratif terhadap Advokat untuk
menjaga agar dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi  dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi Advokat. 
6.  Pembelaan diri adalah hak dan kesempatan yang diberikan kepada Advokat untuk
mengemukakan alasan serta sanggahan terhadap hal-hal yang merugikan dirinya di
dalam menjalankan profesinya ataupun kaitannya dengan organisasi profesi. 
7.  Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat
berdasarkan kesepakatan dengan Klien. 
8.  Advokat Asing adalah advokat berkewarganegaraan asing yang menjalankan
profesinya di wilayah negara Republik Indonesia berdasarkan persyaratan
ketentuan peraturan perundang-undangan. 
9.  Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat  secara cuma-
cuma kepada Klien yang tidak mampu. 
10. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang hukum
dan perundang-undangan. 





BAB II

PENGANGKATAN, SUMPAH, STATUS, PENINDAKAN, DAN
PEMBERHENTIAN ADVOKAT

Bagian Kesatu
Pengangkatan

Pasal 2
(1) Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang
pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat
yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. 
(2) Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(3) Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.

Pasal 3
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.  warga negara Republik Indonesia;
b.  bertempat tinggal di Indonesia;
c.  tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
d.  berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e.  berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
f.  lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;
g.  magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;
h.  tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i.  berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang
tinggi.
(2) Advokat yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada bidang
tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Sumpah

Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut  agamanya atau
berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisili hukumnya.
(2) Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lafalnya sebagai berikut :
“Demi Allah saya bersumpah/saya berjanji :
-  bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai dasar
negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia;
-  bahwa saya untuk memperoleh profesi ini, langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan
barang sesuatu kepada siapapun juga;
-  bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pemberi jasa hukum akan
bertindak jujur, adil, dan bertanggung jawab berdasarkan hukum dan keadilan;
-  bahwa saya dalam melaksanakan tugas profesi di dalam atau di luar pengadilan
tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, pejabat
pengadilan atau pejabat lainnya agar memenangkan atau menguntungkan bagi
perkara Klien yang sedang atau akan saya tangani;

-  bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban
saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai
Advokat;
-  bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa
hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian
daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang Advokat.
(3) Salinan berita acara sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera
Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung,
Menteri, dan Organisasi Advokat.

Bagian Ketiga
Status

Pasal 5
(1) Advokat berstatus sebagai penegak hukum,  bebas dan mandiri yang dijamin oleh
hukum dan peraturan perundang-undangan.
(2) Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Bagian Keempat
Penindakan

Pasal 6
Advokat dapat dikenai tindakan dengan alasan :
a.  mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya;
b.  berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya;
c.  bersikap, bertingkah laku, bertutur kata, atau mengeluarkan pernyataan yang
menunjukkan  sikap tidak hormat terhadap hukum, peraturan perundang-undangan,
atau pengadilan;
d.  berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan
martabat profesinya;
e.  melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan atau perbuatan
tercela;
f.  melanggar sumpah/janji Advokat dan/atau kode etik profesi Advokat.

Pasal 7
(1) Jenis tindakan yang dikenakan terhadap Advokat dapat berupa:
a.  teguran lisan;
b.  teguran tertulis;
c.  pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai 12 (dua  belas)
bulan;
d.  pemberhentian tetap dari profesinya.
(2) Ketentuan tentang jenis dan tingkat perbuatan yang dapat dikenakan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Sebelum Advokat dikenai tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepada
yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.

Pasal 8
(1) Penindakan terhadap Advokat dengan jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,  atau huruf d, dilakukan oleh Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat sesuai dengan kode etik profesi Advokat.
(2) Dalam hal penindakan berupa pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf c atau pemberhentian tetap dalam huruf d, Organisasi Advokat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan putusan penindakan tersebut
kepada Mahkamah Agung.



Bagian Kelima
Pemberhentian

Pasal 9
(1) Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat.
(2) Salinan Surat Keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan lembaga penegak
hukum lainnya.

Pasal 10
(1) Advokat berhenti atau dapat diberhentikan dari profesinya secara tetap karena alasan:
a.  permohonan sendiri;
b.  dijatuhi  pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun atau lebih; atau
c.  berdasarkan keputusan Organisasi Advokat.
(2) Advokat yang diberhentikan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), tidak berhak menjalankan profesi Advokat.

Pasal 11
Dalam hal Advokat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf
b yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Panitera Pengadilan Negeri
menyampaikan salinan putusan tersebut kepada Organisasi Advokat.

BAB III
PENGAWASAN

Pasal 12
(1) Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan agar Advokat dalam
menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi  Advokat dan
peraturan perundang-undangan.  

Pasal 13
(1) Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk
oleh Organisasi Advokat.
(2) Keanggotaan Komisi Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
unsur Advokat senior, para ahli/akademisi, dan masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan diatur lebih lanjut dengan keputusan
Organisasi Advokat. 

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN ADVOKAT

Pasal 14
Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela  perkara yang
menjadi tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15
Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan. 
Pasal 16
Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan
tugas  profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang
pengadilan. 


Pasal 17
Dalam menjalankan profesinya, Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan
dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan
dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 18
(1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang  membedakan perlakuan
terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar
belakang sosial dan budaya.
(2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien
oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.

Pasal 19
(1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari
Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
(2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan
atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan
terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. 

Pasal 20
(1) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan
tugas dan martabat profesinya.
(2) Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa
sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan
dalam menjalankan tugas profesinya.
(3) Advokat yang menjadi pejabat negara, tidak melaksanakan tugas profesi Advokat
selama memangku jabatan tersebut.

BAB V
HONORARIUM

Pasal 21
(1) Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada
Kliennya.
(2) Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

BAB VI
BANTUAN HUKUM CUMA-CUMA

Pasal 22
(1) Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada  pencari
keadilan yang tidak mampu. 
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VII
ADVOKAT ASING

Pasal 23
(1) Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka
kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.
(2) Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga
ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi
Advokat.

(3) Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu
tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta
kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan
penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 24
Advokat asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tunduk kepada kode etik
Advokat Indonesia dan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
ATRIBUT

Pasal 25
Advokat yang menjalankan tugas dalam sidang pengadilan dalam menangani perkara
pidana wajib mengenakan atribut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
KODE ETIK DAN DEWAN KEHORMATAN ADVOKAT

Pasal 26
(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi
Advokat oleh Organisasi Advokat.
(2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi kode etik profesi Advokat dan ketentuan
tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Kode etik profesi Advokat  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi Advokat dilakukan oleh Organisasi
Advokat.
(5) Dewan Kehormatan Organisasi Advokat memeriksa dan mengadili pelanggaran kode
etik profesi Advokat berdasarkan tata cara Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(6) Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung
jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik profesi Advokat mengandung
unsur pidana.
(7) Ketentuan mengenai tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik
profesi Advokat diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dewan Kehormatan Organisasi
Advokat.
Pasal 27
(1) Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di
tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.
(2) Dewan Kehormatan di tingkat Daerah mengadili pada tingkat pertama dan Dewan
Kehormatan di tingkat Pusat mengadili pada tingkat banding dan terakhir.
(3) Keanggotaan Dewan Kehormatan Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas unsur Advokat.
(4) Dalam mengadili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Kehormatan
membentuk majelis yang susunannya terdiri atas unsur Dewan Kehormatan, pakar
atau tenaga ahli di bidang hukum dan tokoh masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan, tugas, dan kewenangan Dewan
Kehormatan Organisasi Advokat diatur dalam Kode Etik.

BAB X
ORGANISASI ADVOKAT

Pasal 28
(1) Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan
mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud
dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat.

(2) Ketentuan mengenai susunan Organisasi Advokat ditetapkan oleh para Advokat
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
(3) Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik,
baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.

Pasal 29
(1) Organisasi Advokat menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi
para anggotanya.
(2) Organisasi Advokat harus memiliki buku daftar anggota.
(3) Salinan buku daftar anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
(4) Setiap 1 (satu) tahun Organisasi Advokat melaporkan pertambahan dan/atau
perubahan jumlah anggotanya kepada Mahkamah Agung dan Menteri.
(5) Organisasi Advokat menetapkan kantor Advokat yang diberi kewajiban menerima
calon Advokat yang akan melakukan magang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) huruf g.
(6) Kantor Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan
pembimbingan, pelatihan, dan kesempatan praktik bagi calon advokat yang
melakukan magang.

Pasal 30
(1) Advokat yang dapat menjalankan pekerjaan profesi Advokat adalah yang diangkat
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 
(2) Setiap Advokat yang diangkat berdasarkan Undang-Undang ini wajib menjadi
anggota Organisasi Advokat.

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 31
Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak
seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 32
(1) Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah
diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Pengangkatan sebagai pengacara praktik yang pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku masih dalam proses penyelesaian, diberlakukan ketentuan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
(3) Untuk sementara tugas dan wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini, dijalankan bersama oleh Ikatan Advokat Indonesia
(IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia
(IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara
Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).
(4) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini,
Organisasi Advokat telah terbentuk.

Pasal 33
Kode etik dan ketentuan tentang Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang telah
ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI),

Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia
(HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia
(AKHI), dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), pada tanggal 23 Mei
2002 dinyatakan mempunyai kekuatan hukum secara mutatis mutandis menurut Undang-
Undang ini sampai ada ketentuan yang baru yang dibuat oleh Organisasi Advokat.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34
Peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Advokat, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan atau belum dibentuk atau diganti dengan peraturan perundang-undangan
yang baru sebagai pelaksanaan Undang-Undang ini.

Pasal 35
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie
(Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan
segala perubahan dan penambahannya; 
2. Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke Ambtenaren dat der
Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 Nomor 8); 
3. Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 Nomor 446
jo. Stb. 1922 Nomor 523); dan 
4. Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 Nomor 522); 
dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 36
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Telah Sah
pada tanggal 5 April 2003


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 49


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2003
TENTANG
ADVOKAT

I.  UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara
tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menuntut
antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum
(equality before the law). Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar juga  menentukan
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas,
mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga
peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa
hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya
keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan,
termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental
mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan
merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi
manusia.
Selain dalam proses peradilan, peran Advokat juga terlihat di jalur profesi di luar
pengadilan. Kebutuhan jasa hukum Advokat di luar proses peradilan pada saat
sekarang semakin meningkat, sejalan dengan semakin berkembangnya kebutuhan
hukum masyarakat terutama dalam memasuki kehidupan yang semakin terbuka
dalam pergaulan antarbangsa. Melalui pemberian jasa konsultasi, negosiasi maupun
dalam pembuatan kontrak-kontrak dagang, profesi Advokat ikut memberi sumbangan
berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaharuan hukum nasional khususnya
di bidang ekonomi dan perdagangan, termasuk dalam penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
Kendati keberadaan dan fungsi Advokat sudah berkembang sebagaimana
dikemukakan, peraturan perundang-undangan yang mengatur institusi Advokat
sampai saat dibentuknya Undang-undang ini masih berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan peninggalan zaman kolonial, seperti ditemukan dalam
Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie (Stb.
1847 : 23 jo. Stb. 1848 : 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan
dan penambahannya kemudian, Bepalingen betreffende het kostuum der Rechterlijke
Ambtenaren dat der Advokaten, procureurs en Deuwaarders (Stb. 1848 : 8),
Bevoegdheid departement hoofd in burgelijke zaken van land (Stb. 1910 : 446 jo. Stb.
1922 : 523), dan Vertegenwoordiging van de land in rechten (K.B.S 1922 : 522).
Untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang  diskriminatif dan yang
sudah tidak sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, serta sekaligus
untuk memberi landasan yang kokoh pelaksanaan tugas pengabdian Advokat dalam
kehidupan masyarakat, maka dibentuk Undang-Undang ini sebagaimana diamanatkan
pula dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999. 
Dalam Undang-undang ini diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting
yang melingkupi profesi Advokat, dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan
dan kemandirian Advokat, seperti dalam pengangkatan, pengawasan, dan penindakan
serta ketentuan bagi pengembangan organisasi Advokat yang kuat di masa
mendatang. Di samping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas

profesi Advokat khususnya dalam peranannya dalam menegakkan keadilan serta
terwujudnya prinsip-prinsip negara hukum pada umumnya.

II.  PASAL DEMI PASAL 
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud  dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan
fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan
tinggi ilmu kepolisian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Indonesia” adalah bahwa pada waktu
seseorang diangkat sebagai advokat, orang tersebut harus bertempat tinggal di
Indonesia. Persyaratan tersebut tidak mengurangi kebebasan seseorang setelah
diangkat sebagai advokat untuk bertempat tinggal dimanapun.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pegawai negeri” dan “pejabat negara”, adalah pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan “pejabat negara”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian.
Dalam Pasal 2 ayat (1) ditentukan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari:
a.  Pegawai Negeri Sipil; 
b.  Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan 
c.  Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. 
Dalam Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa Pejabat Negara terdiri dari:
a.  Presiden dan Wakil Presiden; 
b.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; 
c.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; 
d.  Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung,
serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua Badan Peradilan; 
e.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung; 
f.  Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; 
g.  Menteri, dan jabatan yang setingkat Menteri; 
h.  Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; 
i.  Gubernur dan Wakil Gubernur; 
j.  Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota; dan 
k.  Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. 
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud
dalam huruf c mencakup Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f

Yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi
Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini.
Huruf g
Magang dimaksudkan agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang
mendukung  kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya.
Magang dilakukan sebelum calon Advokat diangkat sebagai Advokat dan dilakukan
di kantor advokat. 
Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa
magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2
(dua) tahun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat
sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan
setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan
Pasal 14.
Ayat (2)
Dalam hal Advokat membuka atau pindah kantor dalam suatu wilayah negara
Republik Indonesia, Advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri,
Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan dalam huruf c ini, berlaku bagi Advokat baik di dalam maupun di luar
Pengadilan. Hal ini, sebagai konsekuensi status advokat sebagai penegak hukum, di
manapun berada harus menunjukkan sikap hormat terhadap hukum, peraturan
perundang-undangan, atau pengadilan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penegak hukum lainnya” adalah Pengadilan Tinggi untuk
semua lingkungan peradilan,  Kejaksaan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan Advokat.
Pasal 10

Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Advokat.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, tanpa rasa
takut, atau perlakuan yang merendahkan harkat martabat profesi. Kebebasan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas
profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam
mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi
tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.
Yang dimaksud dengan “sidang pengadilan” adalah sidang pengadilan dalam setiap
tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan dalam ayat ini tidak mengurangi hak dan hubungan perdata Advokat
tersebut dengan kantornya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan resiko, waktu,
kemampuan, dan kepentingan klien.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “hukum asing” adalah hukum dari negara asalnya dan/atau
hukum internasional di bidang bisnis dan arbitrase.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 24

Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tokoh masyarakat” antara lain ahli agama dan/atau ahli etika.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas. 
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah pengurus partai politik.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36 
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4288

Koripsi melawan Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham atau ajaran yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia dimana bahasa dan budaya menjadi unsur pengikat dalam melakukan interaksi sosial. Unsur pengikat inilah yang melahirkan kesadaran akan nasionalisme komunitas/rakyat Indonesia ketika berhadapan dengan lingkungan luar yang mengganggu.

Dalam sejarah Indonesia khususnya, nasionalisme masih sangat penting akan keberadaannya, Pertama, misalnya, sebagai ideologi pemersatu untuk melawan penjajah Belanda, atau Jepang, atau dalam melawan hegemoni neo-kolonilalisme. Dulu, kalau orang-orang di kepulauan Nusantara ini tersebar terus, tidak ada ideologi yang mempersatukan dan tentu dengan mudah Belanda menguasai kita. Sangat mungkin orang-orang di kepulauan Nusantara justru saling berperang sendiri. Apalagi, ketika politik adu domba Belanda terus menerus memompakan permusuhan dan konflik-konflik. Kedua, sebagai konsekuensinya, ketika orang-orang di kepulauan Nusantara tadi berhasil memerdekakan dirinya, nasionalisme paling tidak sebagai wacana ideologis untuk membangkitkan semangat mengisi kemerdekaan Indonesia. walaupun kadang nasionalisme semacam ini disalahtafsirkan, dengan alasan nasionalisme Indonesia kita menyimpan kecenderungan bermusuhan dengan bangsa lain.

Tapi, sisi positifnya tentu banyak, sebagai bangsa baru yang menemukan dirinya, kita berusaha tetap kompak sehingga banyak konflik yang berpotensi mengancam persatuan Indonesia dapat diatasi atas nama nasionalisme Indonesia. Ketiga, nasionalisme paling tidak dapat dipakai untuk memberikan identitas keindonesiaan, agar Indonesia itu ada di dunia. Akan tetapi, apa yang dicatat dunia dengan nasionalisme Indonesia. Mungkin tidak banyak. Waktu itu, terlepas dari konstruksi orientalisme, orang lebih mengenal Indonesia sebagai bangsa yang cukup ramah, negara terbelakang dan miskin, negara yang memiliki bahasa persatuan Indonesia, yang mengatasi lebih dari 600-an bahasa-bahasa lokal yang hingga hari ini tetap bertahan.

Negara kita Indonesia jauh hari telah mencanangkan berbagai pemahaman Nasionalisme dalam konsep Wawasan Nusantara yang dituangkan dalam satu kesatuan: Ideologi , Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Agama, Pertahanan Keamanan Nasional ). Sebagai konsekuensinya setiap warganegara Indonesia, apalagi ketika ia dicalonkan sebagai pemimpin di dalam struktur kekuasaan yang ada tentu harus memiliki Wawasan Nusantara dimana yang bersangkutan harus punya kewajiban mutlak untuk ikut mempertahankan satu kesatuan wilayah Indonesia dari sabang sampai merauke yang dituangkan dalam konsep IPOLEKSOSBUDAGHANKAMNAS.

Sekarang ini dari hasil pengamatan para ahli tidak dapat dipungkiri, rasa nasionalisme bangsa kita sangatlah menipis, bahkan terancam punah. Yang muncul adalah Ikatan Primordialisme, yang berkiblat pada ikatan kesukuan, kedaerahan, keagamaan dan/atau antar golongan.

Sejarah membuktikan, selama 30 tahun terakhir Indonesia tercengkeram oleh satu model kekuasaan yang otoritarian, yang biasa disebut rezim Orde Baru. Sebagai akibatnya, banyak masalah ketidaksukaan dan ketidakpuasan bergolak di bawah permukaan. Yang paling menonjol saat itu adalah matinya demokrasi, menjamurkan KKN, tidak adanya hukum yang berkeadilan, dan sebagainya. Akibat kondisi terebut, potensi keretakan berubah menjadi bom waktu. Banyak orang mencoba memobilisasi agama, atau etnisitas, atau bahkan mengusung wacana dunia seperti demokrasi dan keadilan universal untuk melakukan konsolidasi resistensi. Dengan tergesa-gesa dan ceroboh, rezim menyelesaikan resistensi itu dengan kekerasan terbuka atau tersembunyi. Kita tahu, pada waktu itu aparat militer sungguh berkuasa dan menakutkan. Apakah militer melakukan itu dengan memegang semangat nasionalisme Indonesia. Namun, strategi yang paling jitu untuk menangkal resistensi itu pemerintah Orde Baru memanfaatkan nasionalisme untuk mengontrol dan menek potensial yang menghancurkan pemerintahan bahkan negara. Dalam hal ini nasionalisme haruslah dibangun sedemikian rupa yang berkiblat pada bagaimana mempertahankan pluralisme (Bhineka Tunggal Ika) agar kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di lokal-lokal dapat dipatahkan.

Nasionalisme Indonesia dikedepankan untuk menahan agar nasionalisme etnis, atau nasionalisme agama, atau nasionalisme geografis tidak berkembang menjadi kekuatan yangal Ika) Negara Indonesia di dalam wawasan nusantara, yang mengakomodir ketergantungan global.

Namun nasionalisme semacam itupun sangat sulit dibangun jika sistem sosial, sistem hukum dan sistem pemerintahan telah terkontaminasi dengan budaya korup yang tidak dapat dicegah. Selama Orde Baru, sistem politik atau struktur kekuasaan telah memungkinkan merajalelanya korupsi besar-besaran di segala bidang.

Korupsi yang “membudaya” ini telah membikin kerusakan-kerusakan parah bahkan sampai kepada budaya prilaku masyarakat lapisan bawah yang memandang korupsi sebagai bagian dari sistem sosial, politik, ekonomi, hukum dan pemerintahan. Sekalipun dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mulai dari UU No.31 tahun 1999 Jo. UU No.20 tahun 2001 yang dalam pertimbangannya telah menegaskan bahwa “akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghabat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi”. Korupsi tidak hanya sekedar merusak keuangan dan perekonomian negara, akan tetapi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang berdaulat.

Menyambut sumpah pemuda 28 Oktober 2010 ini, kita butuh faham nasionalisme yang baru atau faham Nasionalisme yang ke-II, dimana Nasionalisme yang baru ini benar-benar berkiblat pada :

1). faham Bhineka Tunggal Ika, karena tidak mungkin ada persatuan jika masyarakatnya kita tidak mampu menjadi orang yang berbeda dengan orang lain atau tidak mampu mengatasi perbedaannya ;

2). Terbangunnya sikap bersama bagaimana Korupsi Harus diberantas tuntas karena bertentangan dengan pembangunan nasional disegala bidang ; dan

3). Terbangunnya sikap setiap warganegara Indonesia tentang keharusan mempertahankan keutuhan bangsa dan negara Indonesia yang memahami wawasan nusantara sebagai satu kesatuan yang integral dari : Ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, agama, pertahanan dan keamanan nasional.

Nasionalisme tidak akan pernah dimiliki oleh seorang Koruptor, karena Koruptor adalah parasit negara yang menyengsarakan kehidupan rakyat dan membangkrutkan negara menjadi hancur. Dari dahulu kita sudah sama tahu bahwa penyebab utama terjadinya tindak pidana korupsi adalah :

1)Adanya unsur "Rangsangan" hal ini berkaitan dengan rendahnya iman dan taqwa yang dimiliki oleh para penyelenggara negara dan pihak lain yang terlibat meguasai keuangan negara ;

2)Adanya unsur "Kesempatan", hal ini berkaitan dengan rendahnya unsur "Pengawasan" dalam managemen pengelolaan keuangan negara ;

Orang tidak mungkin mau korupsi jika ia tidak terangsang dan tidak ada kesempatan untuk itu. Obsesi korupsi tentu disebabkan :

1. Gaya hidup yang senang pamer ;
2. Merasa banyak uang akan dihargai orang ;
3. Untuk membiayai proyek mencari kekuasaan ;
4. Untuk biaya gengsi sosial yang terlanjur tinggi ;
5. Untuk modal usaha sebagai jaminan hari tua ;
6. Terpaksa untuk membiayai kebutuhan pokok yang mendesak, seperti biaya sekolah anak, biaya pengobatan keluarga yang sakit ;
7.Dll.

Masyarakat Indonesia yang menganut ekonomi pasar dan neo liberalisme tidak dapat menghindari terjangkitnya gaya hidup mewah yang memerlukan biaya yang tinggi, sementara pendapatan dan daya belinya yang rendah, maka tidak dapat menghindari dari rangsangan untuk korupsi, apalagi Iman dan Taqwa sebagian besar masyarakat kita sangat diragukan. Sekarang mau diberantas dari mana wahai petinggi2 para elite pemerintah dan elite politik di negeri ini...???!!

Sabtu, 05 Maret 2011

PENGIKATAN JAMINAN PESAWAT TERBANG



Pengikatan Jaminan Pesawat Terbang sebagai jaminan fasilitas kredit Bank


LATAR BELAKANG

Suatu BANK telah menyalurkan fasilitas kredit kepada debiturnya dengan menerima barang jaminan kredit yang satu diantaranya adalah pesawat terbang. Pengikatan yang dilakukan oleh BANK terhadap 2 (dua) unit pesawat terbang dimaksud adalah secara Fidusia Notariil.

Hal tersebut selanjutnya menjadi temuan Tim Audit Internal BANK ybs dan berdasarkan hasil audit tersebut, Tim Audit memberikan rekomendasi agar pengikatan terhadap pesawat terbang dimaksud dilakukan secara Fidusia dan mendaftarkannya ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

DASAR HUKUM

   1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
   2. UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
   3. UU No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia;

PEMBAHASAN

Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju, lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.

Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.

Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :

·        Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
·        Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
·        Dimiliki oleh instansi pemerintah;
·        Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.

Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Selain tanda pendaftaran Indonesia , sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).

Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

(1)              Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotek.

(2)              Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan.

(3)              Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotek pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik. Lalu timbul pertanyaan bagaimanakah tata cara pendaftaran hipotik pesawat terbang dan helikopter ? lembaga manakah yang berwenang mencatat pendaftaran dan menerbitkan Sertipikat Hipotik atas pesawat terbang dan helikopter ?

Berdasarkan penelitian kami, peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.

Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat terbang dapat diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia ? mengingat pengikatan fidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-benda jaminan yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik ?

Walapun dalam ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia, pada Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah benda yang terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek, namun pasal/klausul tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat terbang, mengingat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotek atas pesawat terbang.

KESIMPULAN, SARAN DAN CATATAN PENULIS

Kesimpulan

Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.

Saran

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas sebagai langkah pengamanan bagi BANK, kami memberikan masukan agar terhadap jaminan berupa pesawat terbang diperlakukan sebagai jaminan tambahan dan bukan sebagai jaminan pokok atas suatu hutang (fasilitas kredit). Namun demikian apabila jaminan pesawat terbang tersebut harus diterima oleh BANK, maka kami menyarankan agar BANK memperkirakan dan meyakinkan bahwa tidak ada kreditur lain yang mempunyai hubungan utang piutang dengan pihak debitur yang menyerahkan pesawat terbang sebagai jaminan kredit.

Catatan

Pemerintah seyogyanya memperhatikan permasalahan ini, karena kebutuhan akan penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia, sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan. Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.

Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera  mendapatkan kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.

… and justice for all …

Penulis  :  Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan


Catatan :

Sebagai tambahan

UU Penerbangan baru UU Penerbangan yang baru (UU No. 1 Tahun 2009) tidak menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang.

Dalam UU Penerbangan 2009 ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82 tetapi memang tidak menyebutkan hipotik. Sepengetahuan saya, dikarenakan belum ada PP berdasarkan UU lama maka pembebanan jaminan atas pesawat terbang dapat dilakukan dengan Fidusia. Supaya tidak tunduk pada hukum hipotik maka yang menjadi obyek fidusia adalah bukan pesawat secara utuh tetapi bagian2 dari pesawat, misalnya mesin, turbin, badan pesawat/kabin, dlsb (walaupun dapat saja meliputi hampir seluruh bagian pesawat). Kayaknya ini akal-akalan tetapi tidak melanggar hukum. Ini merupakan satu-satunya alternatif cara pembebanan untuk “pesawat” apabila memang tidak ada agunan lain. Soal bagaimana eksekusinya, itu persoalan lain.

HIPOTIK ATAS PESAWAT

A. Latar Belakang
Indonesia, sebagai Negara kepulauan, sangat memerlukan sarana transportasi yang cepat, murah, dan aman. Transportasi udara dengan menggunakan pesawat udara adalah merupakan alat transportasi yang tercepat dibandingkan dengan sarana angkutan laut dan angkutan darat. Perkembangan transportasi udara mengalami perkembangan pesat, setelah pemerintah memberikan cukup kebebasan bagi maskapai penerbangan untuk menentukan tarif.
Namun, berkembangnya pertumbuhan bisnis transportasi udara, tidak diiringi dengan sistem hukum yang menopang pertumbuhan bisnis sektor tersebut. Salah satu diantaranya adalah hukum mengenai agunan atas pesawat udara (yaitu: pesawat terbang dan helikopter) yang terkait dengan pembiayaan pengadaan/pembelian pesawat udara. Sebab, jarang sekali atau bahkan hampir tidak pernah terjadi maskapai penerbangan membeli pesawat udara secara tunai seketika dengan menggunakan semata-mata uang/modalnya sendiri. Dengan sistem non tunai atau pinjaman diperlukan agunan yang memberikan kepastian hukum atas pembayaran kembali pinjaman secara tepat waktu dan untuk jumlah seluruhnya. Dengan adanya agunan yang bersifat kebendaan yang memberikan hak utama/prioritas kepada kreditur, maka apabila debitur wanprestasi atau gagal melakukan pembayaran kembali atas pinjamannya kreditur dapat mengeksekusi agunan kebendaan yang telah diberikan debitor tersebut guna pelunasan hutangnya. Oleh karenanya kreditor dapat merasa lebih aman dalam memberikan pembiayaan/kredit terhadap debitor.
B. Pembahasan
Terkait dengan pengaturan pesawat udara sebagai agunan (jaminan) utang, pertama kali aturan yang diperkenalkan adalah melalui Keputusan Menteri Perhubungan No.13/S/1971 (“Kep Menhub No.13/S/1971”).
Selanjutnya, untuk menjelaskan jaminan pesawat udara, diterbitkan Surat Edaran Menhub No.01/ED/1971 (“SE”) yang memberikan penjelasan pasal 11 Kep Menhub No.13/S/1971. SE tersebut diantaranya menjelaskan bahwa mortgage atas pesawat udara tidak mutlak diberikan dan diadakan di Indonesia, melainkan dapat pula dilakukan di luar negeri, asalkan prosedurnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara tersebut dan terdapat suatu ketentuan yang menentukan hukum Negara mana yang akan berlaku. Sebelum mortgage atas pesawat udara dapat dicatatkan pada Departemen Perhubungan. Ditjen Perhubungan Udara, mortgage yang diadakan di luar negeri tersebut harus ditetapkan kembali (di-verifikasi) oleh notaris di Indonesia.
Kep Menhub No.13/S/1971 tak berlaku lagi sejak terbitnya Kep Menhub No.KM 65/2000 yang kemudian dicabut dengan Kep Menhub No.KM 82/2004 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter.
Pasal 7 Kep Menhub No.KM 82/2004 mengatur bahwa dalam hal pesawat terbang dan helikopter dibebani hak kebendaan (hipotik atau mortgage), pihak yang akan mengalihkannya wajib mencatatkan pada Ditjen Perhubungan Udara dengan menyampaikan bukti pengikatan hak kebendaan tersebut.
Sesungguhnya amanat diaturnya hukum tentang agunan atas pesawat udara sudah ada sejak diundangkannya UU No.15 tahun 1992 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) tanggal 25 Mei 1992. Pasal 12 UU Penerbangan mengatur:
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani hipotek;
(2) Pembebanan hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud ayat (1) harus didaftarkan;
(3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Adapun penjelasan dari Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Terhadap hipotek pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini berlaku ketentuan-ketentuan hipotek dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Ketentuan dalam pasal ini tidak menutup pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (2) & Ayat (3).
Hingga saat ini Peraturan Pemerintah sebagai ketentuan pengatur lebih lanjut dari Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas belum pernah dikeluarkan sehingga ketentuan mengenai agunan pesawat udara tersebut diatas tidak dapat dilaksanakan.
Selain dari itu perlu diperhatikan bahwa ada beberapa kendala sehingga pembebanan atas pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 12 UU Penerbangan tersebut diatas sulit untuk bisa dilaksanakan, yaitu:
1. Berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia ketentuan-ketentuan hipotek berlaku untuk tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya (dahulu – sedangkan sekarang atas tanah dan bangunan yang didirikan diatasnya dibebankan dengan Hak Tanggungan). Selanjutnya berdasarkan pasal 314 Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia hipotek berlaku untuk kapal laut berukuran paling sedikit dua puluh meter kubik (20 m3). Baik Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang Indonesia tidak menyebutkan mengenai pesawat terbang dan helikopter.
2. Pendaftaran atau Registrasi khusus untuk pembebanan pesawat terbang dan helikopter baik dalam bentuk hipotek atau hak agunan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku belum tersedia.
Contohnya:
(a) pendaftaran atau registrasi pembebanan hipotek dan atau Hak Tanggungan atas tanah dilakukan di Badan Pertanahan Nasional kabupaten atau kota setempat dimana tanah tersebut berlokasi; dan
(b) pendaftaran atau registrasi pembebanan hipotek atas kapal laut berukuran 20 m3 atau lebih dilakukan oleh pejabat khusus (Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal) yang diangkat oleh Menteri Perhubungan di kantor yang khusus disediakan untuk hal tersebut dilingkungan Departemen Perhubungan Laut. Dengan dilakukannya pendaftaran atau registrasi sesuai prosedur yang ditentukan, Hak Tanggungan dan Hipotek kapal tersebut merupakan suatu hak agunan yang mengikat pihak ketiga dan memberikan kedudukan yang diutamakan (preferen) kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain dari debitor yang mengagunkan tanah atau kapalnya tersebut.
3. Meskipun penjelasan dari Ayat 1 Pasal 12 UU Penerbangan tersebut menyebutkan bahwa tidak tertutup kemungkinan dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter dengan hak jaminan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya dengan jaminan fidusia), didalam prakteknya terjadi perbedaan interpretasi mengenai hal tersebut yang menghambat pelaksanaan pembebanan pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang terutama untuk pembiayaan dalam negeri dengan kreditur bank-bank di Indonesia.
Dengan kondisi-kondisi diatas, sangat jelas bahwa untuk kepastian hukum dapat dilakukannya pembebanan pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang di Indonesia, diperlukan perangkat hukum yang mengatur suatu lembaga pembebanan khusus untuk pesawat terbang dan helikopter sebagai agunan utang.
Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju, lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
• Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
• Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
• Dimiliki oleh instansi pemerintah;
• Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain tanda pendaftaran Indonesia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik.
Peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.
Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat terbang dapat diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia ? mengingat pengikatan fidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-benda jaminan yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik ?
Walapun dalam ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia, pada Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah benda yang terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek, namun pasal/klausul tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat terbang, mengingat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotek atas pesawat terbang.
C. Kesimpulan
Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.
Kebutuhan akan penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia, sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan. Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.
Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera mendapatkan kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.
UU Penerbangan baru UU Penerbangan yang baru (UU No. 1 Tahun 2009) tidak menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang.
Dalam UU Penerbangan 2009 ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82 tetapi memang tidak menyebutkan hipotik. Dikarenakan belum ada PP berdasarkan UU lama maka pembebanan jaminan atas pesawat terbang dapat dilakukan dengan Fidusia. Supaya tidak tunduk pada hukum hipotik maka yang menjadi obyek fidusia adalah bukan pesawat secara utuh tetapi bagian-bagian dari pesawat, misalnya mesin, turbin, badan pesawat/kabin, dlsb (walaupun dapat saja meliputi hampir seluruh bagian pesawat).

fidusia

HUKUM JAMINAN FIDUSIA

Salah satu masalah hukum yang masih belum tuntas penanganannya dan meminta perhatian sampai sekarang adalah bidang hokum jaminan. Hukum jaminan memiliki kaitan yang erat dengan bidang hukum benda dan perbankan. Di bidang perbankan kaitan ini terletak pada fungsi perbankan yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Selain itu, bagi pembangunan ekonomi Negara, kredit merupakan tulang punggung bagi pembangunan bidang ekonomi. Ini berarti perkreditan mempunyai arti penting dalam berbagai aspek pembangunan seperti bidang perdagangan, perindustrian, perumahan, transportasi, dan sebagainya. Perkreditan juga memberikan perlindungan kepada golongan ekonomi lemah dalam pengembangan usahanya. Sektor perkreditan merupakan salah satu sarana pemupukan modal bagi masyarakat bisnis. Bagi kaum pengusaha, mengambil uang (kredit atau pinjaman) sudah merupakan faktor yang tidak papat di pisahkan dari kehidupan bisnis. Memang sangat sulit untuk melepaskan dunia bisnis tanpa pinjaman kredit bank, sebagaimana dikatakan O.K Brahan “Ons huidige economische leven is niet meer denkbaar zonder kredietverlenting”. Bagi perbankkan, setiap pemberian kredit yang disalurkan kepada pengusaha selalu mengandung risiko. Oleh karena itu, perlu unsur pengamanan dalam pengembaliannya. Unsur pengamanan (safety) adalah salah satu prinsip dasar dalam peminjaman kredit selain unsur keserasian (suitability) dan keuntungan (profitability). Bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankkan dilakukan dengan pengikatan jaminan.
Secara garis besar, dikenal dua macam bentuk jaminan yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan yang paling di sukai bank adalah jaminan kebendaan. Salah satu jenis jaminan kebendaan yang dikenal dalam hukum positif adalah Jaminan Fidusia. Sebagai lembaga jaminan atas benda bergerak, jaminan fidusia banyak di pergunakan oleh masyarakat bisnis. Dahulu eksistensi fidusia didasarka kepada yurisprudensi. Sekarang jaminan fidusia sudah di atur dalam undang-undang tersendiri. Dalam perjalanannya sebagai lembaga jaminan yang dibutuhkan masyarakat, fidusia dapat menimbulkan persoalan hukum. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut mengenai lembaga jaminan fidusia menjamin semakin penting. Setidak-tidaknya karena beberapa hal, antara lain ketakjelasan konsep mengenai objek fidusia,masih kaburnya krakter fidusia, belum singkronnya prinsip-prinsip perundang-undangan yang mengatur lembaga jaminan, kesimpang siuran hak kreditur manakala nasabah debitur wanprestasi, kewenangan pemberi fidusia dan perlindungan hukum bagi pihak ketiga , dan jika terjadi likuidasi bank atau kepailitan nasabah debitur.
Ketakjelasan konsep mengenai objek fidusia dapat dilihat dari sejak lahirnya fidusia, sampai di aturnya jaminan fidusia dalam undang-undang. Pada awalnya, lembaga fidusia yang dikenal dalam hukum Romawi dengan nama fidusia cum creditore. Dalam perjanjian fidusia cum creditore, barang-barang debitur diserahkan dalam pemilikan kreditur. Barang-barang yang menjadi objek fidusia cum creditore pada saat itu dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak. Walaupun barang-barang tersebut diserahkan kepada kreditur oleh debitur, kreditur tidak dapat berbuat bebas. Maksud peralihan milik barang adalah untuk memberikan jaminan kepada kreditur atas ketaatan debitur. Apabila debitur telah memenuhi kewajibannya, kreditur menyerahkan kembali barang-barang jaminan kepada debitur. Mahadi mengatakan, menurut hukum romawi, dengan fidusia dimaksudkan peristiwa seorang debitur menyerahkan suatu benda kepada krediturnya dengan mengadakan jual beli pura-pura, dengan maksud menerima benda itu kembali dari kreditur tersebut setelah hutang dibayar, jadi sebangsa gadai.
Ketakjelasana objek fidusia selalu menjadi persoalan baik dikalangan yurisprudensi, dokrin maupun praktik perbankan. Pada putusan Hooge Raad (HR) dalam perkara AW de Haan v. Heineken Bierbrouwerij Maatschappij tanggal 25 Januari 1929 dikenal dengan Bierbrouwerij Arrest.
Secara singkat kasus tersebut, adalah pabrik bir Heineken membeli barang-barang inventaris kepunyaan restoran Societeit Harmoni bernama Bos. Pemilik restoran jatuh pailit. Kurator kepailitan (AW de Haan) menolak menyerahkan barang inventaris kepada Heineken. Selanjutnya, Heineken menuntut AW de Haan dengan meletakan sita revindikasi atas barang inventaris restoran.
Pengadilan Leeuwarden menganggap perjanjian fidusia itu sebagai perjanjian semu (schijnovereenkomst) dengan tujuan untuk menyelubungi perjanjian gadai yang sebenarnya. Perjanjian ini bertentangan dengan pasal 1198 ayat (2) BW Belanda, sehingga tidak diperbolehkan. Sebaliknya, dalam tingkat banding, pengadilan banding (Gerechtshof) beranggapan bahwa dalam perjanjian tersebut tidak terdapat perjanjian semu. Dengan demikian, AW de Haan diperintahkan untuk menyerahkan barang inventaris kepada Heineken. Selanjutnya, AW de Haan mengajukan kasasi. Dalam tingkat kasasi, HR memutuskan bahwa menyetujui pendapat Gerechtshof , dengan pertimbangan sebagai berikut : Pertama, bahwa lingkup dari perjanjian yang diadakan para pihak berisikan inventaris Bos akan menjadi jaminan hutang dan alasan itu telah ditetapkan sehingga alasan itu bukan tidak diperbolehkan. Kedua, perjanjian itu tidak bertentangan dengan aturan gadai sebab para pihak tidak memikat perjanjian gadai. Ketiga, perjanjian ini tidak bertentangan dengan asas kesamaan para kreditur (paritas creditorium), karena perjanjian itu mengenai barang milik Heineken dan bukan milik Bos. Keempat, dalam perjanjian ini tidak terdapat pertentanga dengan kesusilaan.
Dari peristiwa diatas, fidusia diakui sebagai lembaga jaminan dengan objek benda bergerak berupa inventaris perusahaan. Putusan HR tersebut merupakan awal bagi perkembangan hukum fidusia di Belanda. Jadi, lembaga fidusia ini adalah lembaga jaminan yang lahir dari hasil penemuan hukum oleh hakim, sebagai akibat dari sempitnya pengaturan gadai (pand) dalam KUH Perdata. Oleh karena itu, berbeda pengertiannya dengan fidusia cum creditore dalam masyarakat Romawi. Selanjutnya, menyusul putusan HR dalam kasus Hakkerrs van Tilburg Arrest tanggal 21 Juni 1929, N.J. 1929, p. 1096 yang menetapka fidusia atas mobil. Secara singkat kasus tersebut adalah Hakkers, seorang pengusaha penyewaan mobil mewah (Luxe-autoverhuurondernemer) di Denhaag meminjam uang kepada seorang pelepas uang (degeldschieter). Sebagai jaminan diserahkan mobil secara fidusia. Hakkers melalaikan kewajibannya dan pihak pelepas uang menuntut penyerahan mobil tersebut sebagai pemiliknya. Hakker menolak dengan alasan kebatalan pengalihan karena ini merupakan pengadaian tersembunyi (nietigheid van de overdracht omdat deze een verkapte verpanding zou zijn). HR memberikan putusan dengan petimbangan sebagai berikut : Pertama, bahwa ketentuan dalam Bab Kesembilan belas Buku II BW Belanda memang mengatur mengenai perjanjian gadai, tetapi lingkupnya tidaklah menghalangi para pihak untuk, jika mereka menganggap suatu perjanjian gadai tidak cocok bagi hubungan diantara mereka, kemudian membuat suatu perjanjian lain dimana debitur berdasarkan perjanjian itu, sebagai jaminan bagi pembayaran hutang, harus mengalihkan barang bergerak milikinya dengan janji bahwa barang itu tetap berada pada debitur. Kedua, bahwa karena itu perjanjian semacam ini yang telah dibuat para pihak tidak bertentangan secara langsung dengan ketentuan dalam bab tersebut diatas dan juga tidak merupakan penyelundupan terhadap ketentuan tersebut. Ketiga, bahwa karena itu tidak dapat dimengerti, mengapa suatu perjanjian seperti itu tidak memberikan alas hak yang sah bagi pengalih milik (waarom uit anderen hoofde een overeenkomst als voormeld niet zou opleveren een rechtsgeldige title van eigendomsovergang).
Dalam putusan diatas terlihat bahwa objek fidusia masih merupakan benda bergerak (mobil). Dengan putusan-putusan HR tersebut, menurut O.K. Brahn, de kredietverlening met zekerheidstelling door middle van fiduciaire eigendom ging een enorme vlucht nemen. Berdasarkan pendapat ini, terlihat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia mengalami perkembangan yang luar biasa cepat. Hanya saja objeknya masih berkisar pada benda bergerak.
Di Indonesia, peristiwa jaminan fidusia untuk pertama kali diputuskan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) v. Pedro Clignett tanggal 18 Agustus 1932 dengan objek fidusia adalah benda bergerak (mobil). Mernurut Mahadi, alasan pertimbangan yang dipakai MA adalah sama dengan pertimbangan HR di negeri Belanda tahun 1929. Setahun kemudian, Hooggerechtschof dengan arrestnya tanggal 16 Februari 1933 menetapkan bahwa hak grant (grantrecht) dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
Menurut Boedi Harsono, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), hak grant dapat difidusiakan. Pada putusan MA dalam perkara Bank Indonesia Cabang Semarang v. Lo Ding Siang, No. 372/SIP/1970 tanggal 1 September 1971 ditetapkan bahwa perjanjian pemindahan hak milik mutlak sebagai jaminan adalah batal sepanjang mengenai satu percetakan termasuk kekayaan, antara lain mesin cetak dan satu gedung perkantoran termasuk inventaris. Dalam putusan tersebut, MA hanya mengesahkan fidusia atas barang-barang bergerak saja, sedangkan barang-barang lainnya yang tidak dapat digolongkan pada barang-barang bergerak tidak disahkan. Namun, perlu dicatat bahwa MA telah mengakui secara implisit adanya perbedaan antara barang bergerak dan barang tidak bergerak. Dalam putusan MA tersebut tidak terlihat alasan-alasan yang menjadi pertimbangan dalam menentukan sifat-sifat yuridis dari benda yang difidusiakan. Hanya MA menyebutkan jenis barang yang tidak dapat difidusiakan. Dari putusan ini muncul persoalan yuridis terhadap objek fidusia yaitu apakah fidusia hanya dapat dibebankan terhadap barang bergerak. Persoalan yuridis tersebut akan lebih menarik lagi jika dihubungkan dengan suasana berlakunya UUPA yang didasarkan kepada hukum adat. Permasalahannya adalah apakah setelah berlakunya UUPA, masih dikenal pembedaan benda bergerak dan benda tidak bergerak? Mengapa mesin cetak atau inventaris dari gedung perkantoran yang menjadi objek fidusia dibatalkan oleh MA? Apakah jalan pikiran MA msasih berpegang pada KUH Perdata dengan menganggap barang-barang tersebut merupakan barang tidak bergerak. Suati interpretasi yang dapat diberikan adalah mesin cetak atau inventaris gedung adalah benda bergerak, tetapi karena memiliki hubungan yang erat dengan benda tidak bergerak sehingga memperoleh karakter benda tidak bergerak yaitu sebagai benda tambahan (bijzaak) atau benda penolong (hulpzaak).
Yurisprudensi selanjutnya adalah putusan MA dalam perkara Bank Negara Indonesia 1946 v. Fa Megaria, No 1500 K/SIP/1978 tanggal 2 Januari 1980 yang menjadi objek fidusia adalah benda bergerak yaitu besi beton dan semen. Dalam perkembangannya, pendapat MA dalam perkara Bank Negara Indonesia 1946 v. PT. Sriwidjaya Raya Lines, Koromath, dan JTN Sipahutar, No.3216/K/Perd/1984 tanggal 28 Juli 1986 menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada di atasnya yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan.
Bedasarkan putusan-putusan MA tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa objek fidusia adalah benda bergerak dan benda tidak begerak. Benda tidak bergerak yang menjadi objek fidusia adalah tanah hak grant dan tanah belum bersertifikat. Selain itu, MA telah melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) bagi lahirnya fidusia di Indonesia dalam rangka pembinaan hukum jaminan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari putusan MA itu menimbulkan problem hukum dikalangan para ahli hukum.
Dalam bidang perundang-undangan, ketakjelasan objek fidusia dapat dilihat setelah berlakunya UUPA. Menurut UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan hak tanggungan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha. Bagaiman dengan hak-hak atas tanah lainnya seperti hak pakia dan hak sewa. Kedua jenis hak ini memiliki nilai ekonomis untuk dijadikan jaminan hutang. Dalam Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor DIB 3/73/3/73 tanggal 26 Maret 1973 dikatakan bahwa hak pakai tidak dapat dibebankan dengan hipotik (sekarang hak tanggungan). Sebagai jalan keluarnya dipergunakan lembaga fidusia. Demikian juga fidusia dapat dibebankan atas bangunan di atas tanah hak sewa. Dalam praktik, bank selalu memberikan kredit terhadap hak sewa atas kios-kios dari suatu plaza dengan bentuk bangunan fidusia. R.D. Kollewijn yang disitir oleh Sudargo Gautama mengatakan bahwa bangunan/ rumah yang berdiri di atas tanah orang lain dapat diikat dengan fidusia.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 (UURS), objek fidusia adalah rumah susun atau satuan rumah susun yang didirikan di atas tanah hak pakai atau tanah Negara. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 (UUPP). Objek fidusia adalah rumah tidak ditentukan apakah rumah itu didirikan diatas suatu jenis hak atas tanah tertentu. Berbeda halnya dengan UURS yang menegaskan objek jaminan fidusia dengan melihat hak atas tanah, dalam UUPP yang diutamakan sebagai jaminan hutang adalah rumah terlepas dari hak atas tanah. Sejak keluarnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 (UUHT), ketentuan fidusia dalam UURS dicabut dan diganti dengan lembaga hak tanggungan, sedangkan fidusia dalam UUPP tidak dicabut berarti masih berlaku. Demikian pula terhadap tanah belum bersertifikat dan hak pakai yang sebelum berlakunya UUHT menjadi persoalan, sekarang telah dituntaskan melalui hak tanggungan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana dengan putusan MA No. 3216 K/SIP/1984 yang menetapkan tanah belum bersertifikat sebagai objek fidusia. Di sini terjadi kontradiksi antara putusan MA dengan UUHT. Manakah yang harus dijadikan pedoman? Tentunya persoalan ini cukup menarik dan menghendaki pemecahannya melalui teori hukum.
Sekarang jaminan fidusia telah diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 (UUJF), tetapi ketakjelasan objek fidusia tersebut tetap saja dipersoalkan. Dalam UUJF, tidak dinyatakan secara tegas benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan pembebanan fidusia. Hanya saja ditentukan ruang lingkup berlakunya UUJF. Namun, berdasarkan pasal 1 angka 2 UUJF, dapat disimpulkan bahwa objek jaminan fidusia menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak yang dimaksudkan adalah bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak dan tanggungan yaitu bangunan diatas tanah milik orang lain. Dalam Seminar Sosialisasi UUJF, salah satu penyaji makalah dari hakim agung masih mempertanyakan apakah bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan merupakan benda tidak bergerak. Selanjutnya, hakim agung tersebut menunjuk pada putusan MA No. 372 K/SIP/1970 tanggal 1 September 1971, yang amar putusan antara lain untuk menyerahkan gedung kantor kepada penggugat asal (Lo Ding Siang). Pendapat lain mengatakan objek fidusia terlalu luas. Ada pula yang menginginkan bahwa objek fidusia adalah barang bergerak yang tidak terdaftar.
Apabila diperhatikan putusan-putusan pengadilan dan perundang-undangan tersebut diatas, belum terdapat kejelasan dan kepastian mengenai objek fidusia. Persoalan ini terletak kepada kelemahan pengaturan hukum jaminan yang bersifat parsial. Menurut Mariam Darus, pembaharuan hukum jaminan secara parsial mengandung bahaya. Kadar bahaya tersebut terdapat pada sebagian hukum jaminan seperti UUHT dan UUJF, yang tidak berada dalam satu sistem. Selanjutnya, dikatakan bahwa penerapan yang saling tidak terkait akan membuat sistem tersebut menjadi rumit, sulit dimengerti dan akhirnya ditinggalkan orang. Persoalan ketakjelasan objek fidusia dilihat dari segi sistem, disebabkan oleh belum terbentuknya sistem hukum benda nasional sebagai induk dari hukum jaminan. Akibatnya, tidak terdapat kesinkronan atas hukum yang mengatur jaminan fidusia. Permasalahannya, kepada sistem hukum yang mana jaminan fidusia harus tunduk. Apakah kepada sistem hukum benda menurut KUH Perdata atau hukum adat atau ramuan antara keduanya dengan tidak melupakan pengaruh sistem anglo sakson. Hal ini semakin penting jika dikaitkan dengan asas pemisahan horisontal dan asas assensi vertikal. Mahadi mengemukakan bahwa hukum adat adalah salah satu komponen dalam penyusunan hukum perdata nasional. Hukum benda adalah sub sistem dari sistem hukum perdata nasional. Oleh karena itu, penyusunan hukum benda harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum adat. Pentingnya persoalan benda dalam istilah teknis yuridis karena berkaitan dengan penjelasan Pasal 3 dan Pasal 1 angka 4 UUJF.
Suatu sistem hukum jaminan yang baik adalah hukum jaminan yang mengatur asas-asas dan norma-norma hukum yang tidak tumpang tindih (overlapping) satu sama lain. Asas hukum dalam jaminan fidusia harus berjalan secara harmonis dengan asas hukum di bidang hukum jaminan kebendaan lainnya. Ketaksinkronan pengaturan asas hukum dalam jaminan fidusia dengan jamianan kebendaan lainnya akan menyulitkan penegakan hukum jaminan fiduasi tersebut.
Jaminan fiduasi tidak dapat dilepaskan dengan masalah perkreditan. Sebagai jaminan kebendaan, dalam praktik perbankan, fidusia sangat digemari dan popular karena dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini diakui oleh para penulis, antara lain Sri Soedewi Masjchun Sofwan tahun 1974, R. Subekti tahun 1977, dan Erman Rajagukguk tahun 1993.
Berdasarkan hasil laporan penelitian fidusia tahun 1989 diperoleh gambaran bahwa dari 19 bank (8 bank pemerintah dan 11 bank swasta di Medan) yang menjadi responden, keseluruhannya pernah menggunakan fidusia atas benda bergerak. Dilihat dari segi yang menerima kredit (perusahaan, debitur), hasil penelitian dengan 33 responden perusahaan menunjukan bahwa yang meminjam kredit bank dengan menyerahkan benda secara fidusia berjumlah 32,25%. Kenyataan baik secara teoretis maupun empiris bahwa fidusia memiliki arti penting dalam hal menampung keinginan masyarakat akan kebutuhan kredit. Para pemakai fidusia khususnya perusahaan kecil dan menengah seperti pertokoan, pengecer, pengrajin, rumah makan, usaha pertanian, dan sebagainya sangat membantu usaha debitur dan tidak memberatkan. Oleh karena itu, kehadirannya dapat memberikan manfaat ganda. Di satu sisi, pihak penerima kredit masih dapat menguasai barang jaminan untuk keperluan usahanya sehari-hari. Di sisi lain, pihak perbankan lebih praktis mempergunakan prosedur pengikatan fidusia. Bank tidak perlu menyediakan tempat khusus untuk penyimpanan barang jaminan seperti pada lembaga gadai (pand). Dalam perjanjian gadai, barang jaminan harus diserahkan kepada pihak bank, sesuai dengan Pasal 1150 jo 1152 ayat (2) KUH Perdata. Adanya syarat gadai yang demikian cukup memberatkan debitur karena barang jaminan tidak dapat lagi di pergunakan untuk menunjang usaha debitur. Demikian pula bagi bank menimbulkan masalah mengenai tempat penyimpanan khususnya bank-bank yang tidak memiliki gudang yang cukup luas. Akibat pengaturan gadai yang terlalu sempit, fidusia lahir untuk mengisi kekosongan hukum jaminan melalui putusan pengadilan. Lahirnya fidusia adalah karena hakim atas desakan kebutuhan masyarakat melakukan suatu rechtsvinding yaitu menemukan hukum baru. Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa hukum fidusia sebagai hukum hakim.
Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (UUP), Pasal 8 dan penjelasannya dikatakan bahwa pemberian kredit selalu mengandung risiko. Salah satu cara mengatasi risiko adalah. Salah satu cara mengatasi risiko adalah menetapkan jaminan (collateral) dalam analisis pemberian kredit. Sehubungan dengan hal ini Nicholas A. Lash mengatakan bahwa :
“in order to control loan risk, banks often require collateral.
Selanjutnya dikatakan bahwa :
“when entering into a secured transaction, the bank takes a security in assets to secure the obligation to repay the loan”.
Jaminan yang diminta bank dapat berupa jamian pokok dan jaminan tambahan. Jaminan pokok berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit tersebut, sedangkan jaminan tambahan adalah harta kekayaan nasabah debitur. Harta kekayaan dapat berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak, seperti bangunan/ rumah, mobil stok barang dagangan, inventaris perusahaan, mesin-mesin di pabrik, dan sebagainya. Salah satu pengikat jaminan atas harta kekayaan ini adalah jaminan fidusia. Dalam pemberian kredit dengan jaminan fidusia, kewenangan pemberi fidusia harus diteliti secara hati-hati karena dapat menimbulkan persoalan hukum sehubungan dengan asas yang tercantum dalam pasal 1977 KUH Perdata.
Bank sebagai kreditur fidusia memiliki kepentingan atas jaminan fidusia berdasarkan perjanjian jaminan khusus. Perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian yang muncul karena adanya perjanjian kredit bank. Apabila nasabah debitur wanprestasi, bank dapat mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang jaminan fidusia. Dalam praktik ada kecenderungan bahwa objek jaminan fidusia akan dikuasai bank jika nasabah debitur tidak sanggup melunasi utang. Demikian pula kalau terjadi kepailitan dari nasabah debitur, bagaiman status barang jaminan fidusia. Apakah kreditur fidusia diakui sebagai kreditur separatis murni sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UUFJ. Hal ini menghendaki kejelasan sehubungan dengan kedudukan preferensi pemegang fidusia.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masih diperlukan penelitian lebih lanjut baik mengenai konsep dari objek jaminan fidusia, karakter perjanjian fidusia, perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia, dan asas-asas hukum yang dipakai sehingga tidak tumpang tindih dengan lembaga jaminan kebendaan lainnya.
Suatu hal yang baru dalam sejarah lembaga fidusia dan lebih penting lagi untuk diteliti adalah masalah pendaftaran jaminan fidusia. Apakah yang didaftar itu benda jaminan fidusia atau akta jaminan fidusia. Bagaiman akibat hukumnya kalau jaminan fidusia tidak didaftarkan atau bagaimana daya kerja kebendaan dari jaminan fidusia tersebut? Persoalan ini berkaitan dengan perlindungan hukum (rechtsbescherming) bagi pihak ketiga.

B. KERANGKA TEORI DAN KONSEPSI
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.
Robert K. Yin mengatakan:
theory means the design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance source.
Menurut Kerlinger, terori adalah:
a set of interrelated constructs (concepts) definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relation among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena.
Fungsi teori dalam penelitian disertai ini adalah untuk memberikan arahan/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejal yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya, penelitian ini berusaha untuk memahami jaminan fidusia secara yuridis, artinya memahami objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi haidah hukum sebagai yang ditentukan dalam yurisprudensi dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah hukum jaminan , sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum dibidang hukum jaminan fidusia dan jaminan kebendaan lainnya, sistem hukum benda dan perjanjian kredit bank, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penulis buku ini. Teori yang dipakai adalah perubahan masyarakat harus diikuti oleh perubahan hukum. Hukum berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat dibidang hukum jaminan harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara harmonis. Perubahan hukum jaminan fidusia derjadi secara tertib melalui kebiasaan kemudian diakui dalam yurisprudensi dan akhirnya dikukuhkan dalam undang-undang tersendiri.
Teori fidusia yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah perjanjian pengalihan hak kemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan hak kemilikan atas benda yang dialihkan itu tetap berada dalam penguasaan si pemilik benda. Apabila debitur pemberi fidusia ingkar janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia melainkan benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan utang sesuai dengan hak preferensi yang diberikan oleh undang-undang kepada debitur selain itu, bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat assessor dan berkarakter kebendaan.
Dalam menganalisis jaminan fidusia tersebut baik yang terdapat dalam putusan-putusan pengadilan maupun perjanjian fidusia yang terjadi dalam praktik perbankan dan pereturan undang-undang yang mengatur jaminan fidusia, diperlukan pendekatan sistem (approach system). Maksudnya menggunakan pendekatan sistem adalah mengisyaratkan terdapatnya kompleksitas masalah hukum jaminan fidusia yang dihadapi dengan tujuan untuk menghindarkan pandangan yang menyederhanakan persoalan jaminan fidusia sehingga menghasilkan pendapat yang keliru.
Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan landasan, di atas mana dibangun tertib hukum. Berdasarkan teori sistem ini, dapat dirumuskan bahwa sistem hukum jaminan kebebanan adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum jaminan kebendaan itu dibangun. Jadi, dengan adanya ikatan asas-asas hukum tersebut, berarti hukum jaminan kebendaan merupakan sustu sistem hukum.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa asas-asas hukum jaminan harus bersumber dari Pancasila sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut mempunyai tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sfatnya yang abstrak. Selanjutnya, Mariam Darus dalam Workshop Hukum Jaminan Tahun 1993 di Medan, mengemukakan sejumlah asas-asas hukum jaminan yang objeknya benda sebagai berikut:
Pertama, asas hak kebendaan (real right). Sifat hak kebendaan adalah absolute, artinya hak ini dapat dipertahankan pada setiap orang. Pemegang hak benda berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya. Sifat lain dari hak kebendaan adalah droit de suite, artinya hak kebendaan mengikuti bendanya di dalam tangan siapapun dia berada. Di dalam karakter ini terkandung asas hak yang tua didahulukan dari hak yang muda (droit de preference). Jika beberapa kebendaan diletakan di atas suatu benda, berarti kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya. Selain itu, sifat hak kebendaan adalah memberikan wewenang yang kuat kepada pemiliknya, hak itu dapat dinikmati, dialihkan, dijamiankan, disewakan.
Kedua, asas asesor artinya hak jaminan ini bukan merupakan hak yang berdiri sendiri (zelfstandigrecht), tetapi ada dan hapusnya bergantung (accessorium) kepada perjanjian pokok.
Ketiga, hak yang didahulukan artinya hak jaminan merupakan hak yang didahulukan pemenuhannya dari piutang lain.
Keempat, objeknya adalah benda yang tidak bergerak, terdaftar atau tidak terdaftar.
Kelima, asas asesi yaitu perlekatan antara benda yang ada di atas tanah dengan tapak tanahnya.
Keenam, asas pemisahan horisontal yaitu dapat dipisahkan benda yang ada di atas tanah dengan tanah yang merupakan tapaknya.
Ketujuh, asas terbuka artinya ada publikasi sebagai pengumuman agar masyarakat mengetahui adanya beban yang diletakan di atas suatu benda.
Kedelapan, asas spesifikasi/ pertelaan dari benda jaminan,
Kesembilan, asas mudah dieksekusi.
Hukum jaminan fidusia bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan norma-norma hukum yang masing-masing berdiri sendiri melainkan peraturan hukum jaminan fidusia norma hukum lain dari jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan demikian, UUJF sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan tidak boleh bertentang satu dengan yang lainnya. Dengan perkataan lain, norma hukum yang terdapat dalam UUJF adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang berinteraksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan dari undang-undang tersebut. Kesatuan jaminan fidusia sebagai sub sistem hukum jaminan kebendaan harus diterapkan terhadap kompleks fidusia, asas hukum dan pengertian hukumnya.
Pendekatan sistem terhadap pemecahan jaminan fidusia akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari sistem hukum yaitu budaya hukum. Menurut Lawrence M Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari 3 unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).
Pada prinsipnya, sistem hukum jaminan terdiri dari jaminan kebendaan (zakelijkezekerheids) dan jaminan perorangan (persoonlijkerheids). Jaminan kebendaan termasuk jaminan fidusia mempunyai ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahulu di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat serta mengakui benda-benda yang bersangkutan. Karakter kebendaan pada jaminan fidusia dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 2, Pasal 20, Pasal 27 UUJF. Dengan karakter kebendaan yang dimiliki jaminan fidusia, penerima fidusia merupakan kreditur yang preferen dan memiliki sifat zaaksgevolg. Dengan demikianm dapat dipastikan bahwa jaminan fidusia memiliki identitas sebagai lembaga jaminan yang kuat dan akan digemari oleh para pemakainya.
Pemberian jaminan fidusia selalu berupa penyediaan bagian dari harta kekayaan si pemberi fidusia untuk pemenuhan kewajibannya. Artinya, pemberi fidusia telah melepaskan hak kepemilikan secara yuridis untuk sementara waktu. Menurut Subekti, memberikan suatu barang sebagai jaminan kredit berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas barang tersebut. Kekuasaan yang dimaksud bukanlah melepaskan kekuasaan benda secara ekonomis melainkan secara yuridis. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan bahwa benda jaminan masih dapat dipergunakan oleh si pemberi fidusia untuk melanjutkan usaha bisnisnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi jaminan fidusia bertindfak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima jaminan fidusia bertindak sebagai pemilik yuridis.
Benda ynag dijadikan jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik berwujud maupun tidak berwujud, yang terdaftar maupun tidak terdaftar, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan atau hipotik. Berbeda halnya dengan objek fidusia, benda jaminan dalam hak tanggungan adalah hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah negara. Pembebanan hak tanggungan dapat juga dilakukan terhadap hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan milik pemegang hak atas tanah tersebut. Secara teoretis konseptual hak tanggungan hanya dibebankan atas tanah saja, sedangkan benda-benda yang ada di atasnya bukan merupakan benda bagian dari tanah melainkan benda yang memiliki status hukum tersendiri. Ini berarti, UUHT pada prinsipnya menganut asas pemisahan horisontal. Pengecualian atas asas tersebut hanya dimungkinkan apabila bangunan/ rumah yang ada di atas tanah tersebut adalah kepunyaan dari pemilik hak atas tanah. Dalam teori hukumpun dapat dibenarkan bahwa asas itu memiliki sifat pengecualian. Dalam teori hukum tanah yang dianut UUPA, antara tanah dan bangunan/ rumah yang ada diatasnya adalah terpisah satu sama lain. Prinsip ini sesuai dengan asas pemisahan horisontal yang dianut dalam hukum adat, sebagaimana yang dikatakan Sudargo Gautama, cs.:
“according to adat law a clear distinction can be drawn between land and the buildings on the land”. Adat law does not recognize the rule laid down in art 571 of the Indonesian Civil Code”.
Jadi, berdasarkan hukum adat, bangunan/ rumah (building) di atas tanah (the building on the land) terpisah secara tegas dengan tanahnya (land). Hukum adat tidak mengenal pemisah vertikal seperti Pasal 571 KUH Perdata. Ini berarti pula bahwa hukum adat mengenal asas pemisahan horizontal. Berdasarkan asas ini, kedudukan dari bangunan/ rumah di atas orang lain memiliki status hukum tersendiri terlepas dari tanah sebagai benda pokoknya. Menurut Mahadi, bangunan/ rumah tersebut dipandang sebagai barang bergerak. Pendapat Mahadi ini ada benarnya jika dilihat dalam konteks pembedaan benda dalam KUH Perdata yaitu benda tanah disamakan dengan benda tidak bergerak, sedangkan benda bukan tanah dianggap sebagai benda bergerak. Dalm perkembangannya, telah terjadi pergeseran bahwa perbedaan benda terdaftar dan benda tidak terdaftar sudah menjadi kebutuhan dalam lalulintas hukum jaminan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bangunan/ rumah di atas tanah orang lain adalah tergolong dalam benda bukan tanah terdaftar yang memiliki status tersendiri, mempunyai nilai ekonomis yang dapat dialihkan dan dijaminkan sebagai agunan dalam bentuk jaminan fidusia. Konsekuensi dari pemikiran ini adalah semakin pentingnya diatur masalah pendaftaran benda dalam peraturan tersendiri.
Selama ini masalah pendaftaran benda diatur secara sporadis dalam berbagai ketentuan seperti pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1961 yang diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997, pendaftaran kendaraan bermotor, pendaftaran kapal laut, pendaftaran pesawat terbang, dan sebagainya. Bagaimana dengan pendaftaran bangunan/ rumah di atas tanah orang lain ?
Dalam jaminan hipotik, yang menjadi objek adalah kapal adalah kapal yang beratnya paling sedikit 20 meter kubik dan telah didaftar (Pasal 314 KUH Dagang). Hipotik juga dapat dibebankan atas pesawat udara dan helikopter yang telah memiliki tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia.
Dari kedua pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penekanan objek hipotik adalah terletak pada aspek pendaftaran dari kapal, pesawat udara dan helikopter. Ini menunjukan bahwa pendaftaran memberikan fungsi yuridis untuk menetapkan benda-benda tersebut dianggap sebagai benda tidak bergerak dan menjadi hipotik. Bagaimana kalau kapal, pesawat udara dan helikopter itu tidak memiliki tanda pendaftaran. Konsekuensi logis adalah tidak dapat dijadikan objek hipotik. Sebagai alternatif jaminan yang dapat diterapkan adalah lembaga gadai (pand) dan jaminan fidusia.
Apabila yang dipakai adalah gadai atas kapal, pesawat udara dan helicopter, berdasarkan Pasal 1152 ayat (2) KUH Perdata, barang jaminan harus diserahkan kepada kreditur pemegang gadai. Tentunya konstruksi dari perjanjian jaminan gadai tersebut memberatkan debitur. Agar jaminan tetap dapat dikuasai oleh debitur, kapal, pesawat udara dan helikopter yang tidak terdaftar tersebut dibebani dengan jaminan fidusia. Hal ini sejalan dengan objek fidusia yang diatur dalam Pasal 3 UUJF.
Di Negara yang menganut sistem anglo saxon seperti Amerika, Australia, Singapura, Filipina, Malaysia dikenal istilah secured transaction yang selalu dikaitkan dengan transaksi kredit. Pemberian kredit yang diikuti dengan jaminan disebut secured credit. Pihak yang meminjam kredit menyediakan barang jaminan yang disebut property. Kata property memiliki makna yang beraneka ragam, sebagaimana yang dikatakan oleh Jhon D. Donnel, dkk sebagai berikut:
The word property has a variety of meanings. It may refer to an object, such as a building, or it may refer to legal rights connected with an object, such as the lease of building, which gives the tenant the right to occupy and use the building. However, the word property can also refer to legal rights that have economic value but are not connected with an object. A patent is an example of this kind of property.
Dari konsep di atas dapat disimpulkan bahwa property dapat berkenalan dengan objek secara pisik, hak terhadap objek tersebut atau yang mempunyai nilai ekonomi yang tidak berkaitan dengan objeknya.
Menurut Ronald A. Anderson, Ivon Fox, David P. Twomey, istilah property dapat dilihat dari arti yang umum dan arti yuridis yakni:
“In common usage, the term “property” refers to a piece of land or a thing or an object. As a legal concept, however, “property” refers to the rights that an individual may possess in that piece of land or thing or that object.

Property adalah exclusive right to possess, enjoy, and dispose of object or rights having economic value. In the United States the legal concept of property is synonymous with ownership. Property dapat dibedakan atas tanglible or intangible property and real property or personal property.

Yang dimaksud sebagai real property adalah tanah dan benda-benda lain yang ada di dalamnya, bangunan (buildings) dan fixture (inventaris tetap di kantor), sedangkan personal property adalah selain real property. Di Australia personal property dibagi atas dua yaitu: pertama choses (thing in possession), things that have a physical presence, such as a book or a car. Kedua, choses in action, things that do not have a physical presence, such as legal right to sue for a debt. Transaksi jaminan yang dipakai untuk real property adalah mortgage. Mortgage sebagai jaminan selalu dipergunakan terhadap real astate. Bentuk transaksi jaminan yang dipergunakan terhadap personal property adalah chattel mortgage. Chattel mortgage adalah jaminan benda bergerak tanpa penyerahan kekuasaan atas bendanya ke tangan kreditur. Selain itu, dikenal pula bentuk jaminan yang disebut floating charge yakni jaminan dari bahan-bahan, barang setengah jadi dari suatu industry yang diberikan kepada kreditur, sedangkan penguasaan atas barang-barang tersebut tetap berada pada si debitur. Dikatakan “floating” atau mengambang/ mengapung karena benda yang menjadi objek jaminan hutang tidak pernah tetap jumlahnya pada setiap waktu, berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok, mengikuti jumlah transaksi pembelian dan penjualan dari benda tersebut. Hal tersebut merupakan karakter dari floating chrge yakni these assets change from time to time in the ordinary course of the business of the company. Jadi, dalam sistem common law terdapat dua bentuk lembaga jaminan yakni mortgage atas real property dan chattel mortgage atas personal property. Dalam sistem tersebut tidak dikenal pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak, tetapi yang dipakai adalah istilah real property dan personal property. Apabila dikaitkan dengan sistem hukum Eropa kontinental, real property dapat diidentikan dengan benda tidak bergerak sedangkan personal property diidentikan dengan benda bergerak.
Harmonisasi jaminan sebagai suatu studi konvergen terhadap dua sistem hukum jaminan yang berbeda yaitu floating charge yang dikenal dalam sistem common law dan jaminan politik yang berlaku pada sistem civil law telah dilakukan pada civil code Quebec tahun 1994, yang disebut dengan floating hypothec atau hypotheque ouverte.
Mengenai jaminan chattel mortgage, terdapat dua teori yakni, title theory (teori pemilikan) dan lien theory (teori jaminan). Teori pemilikan menganggap bahwa dengan adanya perjanjian chattel mortgage, hak milik atas benda jaminan tersebut telah beralih dari pihak debitur kepada pihak kreditur. Menurut teori jaminan bahwa dengan adanya perjanjian chattel mortgage, hanya menimbulkan suatu hak jaminan suatu pengalihan hak milik dari pihak debitur ke pihak kreditur.
Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang dilahirkan dengan didahului oleh perjanjian kredit bank. Konstuksi ini menunjukan bahwa perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor, yang dianut oleh UUJF. Dengan penegasan karakter assesor dari perjanjian jaminan fidusia, berarti dapat menghilangkan keraguan dari perbedaan pandangan yang selama ini dipermasalahkan oleh hakim dan para ahli hukum.
Sebagai hak kebendaan, jaminan fidusia mempunyai hak didahulukan terhadap kreditur lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan. Hak tersebut tidak hapus walaupun terjadi kepailitan pada debitur. Pemegang fidusia merupakan kreditur separatis sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 56 Undang-undang Kepailitan. Pengakuan hak separitis akan memberikan perlindungan hukum bagi kreditur pemegang fidusia. Yang menjadi persoalan adalah apakah pengakuan yang diberikan itu sudah sempurna diberikan oleh Undang-undang Kepilitan? Hal ini berkaitan dengan adanya penangguhan jangka waktu selama 90 hari terhitung sejak putusan pailit ditetapkan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 56 A Undang-undang Kepailitan. Bahkan, ditentukan selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Ketentuan ini menjadi tidak sinkron dengan prinsip separatis yang dimiliki oleh keditur pemegang jaminan fidusia. Dengan perkataan lain hak separatis telah digerogoti (uitgehold).
Hak kebendaan dari jaminan fidusia baru lahir sejak dilakukan pendaftaran pada kantor pendaftaran fidusia dan sebagai buktinya adalah diterbitkannya sertifikat jaminan fidusia. Konsekuensi yuridis dari tidak didaftarkannya jaminan fidusia bersifat perseorangan (persoonlijke karakter).
Oleh karena itu, proses pembuatan jaminan fidusia harus dilakukan secara sempurna mulai dari tahap perjanjian kredit, pembuatan akta jaminan fidusia oleh notaris dan diikuti dengan pendaftaran akta jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia. Tahapan proses perjanjian jaminan fidusia tersebut memiliki arti yang berbeda sehingga memberi karakter tersendiri dengan segala akibat hukumnya.
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yan gdisebut dengan definisi operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian definisi operasional sebagai berikut:
Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum.
Fidusia adalah pengalihak hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan adat benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan bangunan/ rumah di atas tanah orang lain baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Benda jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.
Benda terdaftar adalah benda yang didaftarkan kepada instansi tertentu yang memiliki bukti sertifikat.
Benda bergerak adalah benda yang karena sifatnya dapat dipindahkan atau karena ditentuakn undang-undang.
Benda tidak bergerak adalah benda yang karena sifatnya tidak dapat dipindahkan atau karena peruntukannya atau karena ditentukan undang-undang.
Benda bukan tanah adalah benda selain tanah baik yang sifatnya bergerak maupun yang tidak bergerak, baik terdaftar maupun tidak terdaftar.
Hutang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam bentuk mata uang rupiah atau mata uang lainya sebagai akibat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia.
Pemberi jaminan fidusia adalah orang atau badan usaha yang memiliki benda jaminan fidusia.
Penerima jaminan fidusia adalah bank atau lembaga pembiayaan lainya yang mempunyai piutang terhadap pemberi jaminan fidusia yang pembayarannya dijamin dengan benda jaminan fidusia dan harta kekayaan lainnya dari pemberi jaminan fidusia.
Debitur adalah orang atau badan usaha yang memiliki hutang kepada bank atau lembaga pembiayaan lainnya karena perjanjian atau undang-undang.
Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang.
Akta jaminan fidusia adalah akta di bawah tangan dan akta notaris yang berisikan pemberian jaminan fidusia kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya.
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang diperjanjikan secara khusus mengenai benda tertentu antara debitur dengan kreditur, yang bersifat mutlak atas bendanya dan mempunyai ciri-ciri kebendaan.
Kreditur preferensi adalah kreditur pemegang jaminan fidusia yang memiliki hak secara didahulukan terhadap kreditur lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Kreditur separatis adalah kreditur yang penagihan piutangnya seolah-olah tidak terjadi kepilitan.
Putusan pengadilan adalah hasil atau kesimpulan terakhir dari suatu pemeriksaan perkara baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi, yang belum dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Termasuk juga kasasi yang sedang dan telah diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara nasabah debitur pemberi fidusia dengan kreditur penerima fidusia yang terjadi dilingkungan perbankkan dan notaris dalam bentuk tertulis.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur.